Media Bawean, 2 Agustus 2013
Penulis adalah warga perantau Bawean di Jakarta.
Tahun ini penulis tidak pulang kampung karena tidak punya bekal (cuti) yang cukup.
Musim pulang kampung telah tiba. Sebentar lagi bulan puasa Ramadhan berakhir. Lalu, berganti dengan kedatangan hari Raya Idul Fitri (Lebaran). Ini adalah momen sangat istimewa bagi umat Islam di seluruh dunia. Dalam agama, ini adalah hari kemenangan dalam ‘peperangan satu bulan’ melawan hawa nafsu dan keberhasilan setiap muslim menjadi ‘kembali suci’. Wajar saja jika momen ini dihayati dan diungkapkan sebagai hari paling ‘membahagiakan’ yang wajib dirayakan bersama.
Suasana batin ‘telah kembali suci’ dan hasrat berbagi kebahagiaan inilah yang menjadi magnet bagi ritual tahunan pulang kampung (orang Melayu menyebutnya dengan balik kampung, orang Jawa dengan mudik (muledhisik), atau orang Inggris dengan home coming). Dari sisi ekonomi, jika puasa-lebaran membuat tekanan inflasi menjadi relatif tinggi, pulang kampung justru turut berperan mendorong ‘redistribusi’ kekayaaan jutaan ringgit/milyaran rupiah dari kota ke kampung. Makanya, pulang kampung patut untuk selalu didorong dan difasilitasi oleh pemerintah.
Sebagai orang Bawean di perantauan, ada banyak memori kolektif yang terpatri mendalam yang menjadikannya magnet abadi untuk pulang kampung; walaupun tidak mesti saya lakukan juga setiap tahun.
Magnet pertama;
Dulu di masa kecil, bersama teman-teman kampung lainnya, kedatangan bulan puasa dipersiapkan dengan pembuatan alat-alat ‘permainan’ yang kebanyakan berbahan dasar bambu; mulai dari yang paling sederhana seperti bikin kentongan (untuk patrol keliling waktu sahur), obor (cholok) untuk penerangan dan meriam bambu (pedhil bhung-bhung) untuk memeriahkan malam hari, hingga yang paling rumit seperti bikin rumah-rumahan di atas pohon untuk ‘tidur panjang tanpa gangguan’ di siang hari dan markas operasi di malam hari.
Semua kegiatan ini dilakukan tentunya tak lupa ikut tadarrusan di masjid-masjid dan langgar-langgar. Kegiatan malam hari terasa bebas walaupun gelap gulita karena percaya bahwa setan-setan yang biasanya menghantui sedang di’rantai.’
Di samping karena kegiatan-kegiatan khasnya, bulan puasa juga sangat semarak dengan kembali ramainya kampung. Pertemuan kembali dengan mereka yang pulang kampung dari merantau ke Malaysia/Singapura, menjadi pelaut di kapal-kapal antar bangsa, menjadi pelajar/santri ke Jawa memberikan tambahan kesyahduan tersendiri. Apalagi kalau yang pulang kampung itu adalah saudara atau teman sendiri.
Magnet kedua;
Mendekati lebaran, taraf ‘kegembiraan’ biasanya meningkat. Tidak saja karena sudah beli pakaian baru (biasanya terdiri dari baju, sarung, pecidan sandal), tetapi juga antusias mempersiapkan malam takbiran. Dengan memanggul senjata cholok di tangan, puluhan hingga ratusan laskar takbiran bergerak (long-marching) melintasi jalan-jalan dalam kampung. Belakangan ditambah dengan chorong merk TOA dan amplifier atau bahkan dengan naik mobil colt bak terbuka, beberapa laskar bergerak melintasi desa-desa tetangga. Demikian juga, dengan perlengkapan yang hampir sama, beberapa laskar takbiran dari desa tetangga juga melintas kampung. Dengan takbir bersaut-sautan di masjid dan langgar, suasana kemenangan terasa semarak sepanjang malam.
Magnet ketiga;
Hari lebaran, di pagi buta, keramaian kampung sudah mulai terasa. Dengan diiringi gema takbir, ibu-ibu (dibantu ayah dan yang lain) nampak sibuk dengan berbagai persiapan; mulai dengan membangunkan semua anggota keluarga untuk sholat subuh, memastikan pakaian baru buat masing-masing, memasak, hingga menata kue-kue dan hidangan lain untuk tamu lebaran nanti. Dengan pakaian baru, menjalankan sholat idul fitri di pagi hari memberikan ‘kesan heroik’ tersendiri. Betapa tidak, wangi ‘pabrik cina’ pada pakaian dan sandal baru menambah perasaan gagah saat melangkahkan kaki menuju masjid.
Tiba di masjid, kesan heroik mulai berubah agak ‘sentimentil’; walaupun tidak semua orang akan setuju, di momen takbiran menjelang sholat hari raya inilah muncul getaran‘emosional’ khas hari Lebaran. Sambil bertakbir, kenangan tentang orang-orang tercinta yang sudah tidak lagi bersama kita menyeruak. Perasaan ini akan terus berlanjut seusai sholat dan mencapai puncaknya saat ritual maaf-maafan dengan orang tua dan para tetua di keluarga terdekat. Tidak jarang momen ini membawa pada linangan air mata.
Magnet keempat;
Hari kedua hingga ketujuh lebaran adalah momen tamasya. Mengunjungi obyek-obyek wisata alam seperti telaga Kastoba, pantai Pasir Putih, Mayangkara, air terjun (Ghrujukan), Sumber air panas, Pulau Ghili hingga keliling Pulau Bawean atau ‘middher' adalah agenda favorit khususnya bagi kaum muda (atau yang masih berjiwa muda). Memakai moda transportasi seperti mobil, motor, sepeda kaok/lereng, kalothok, hingga berjalan kaki warga Bawean tumpah ke jalan.
Walaupun obyek-obyet wisata yang ada begitu-begitu saja sejak jaman Jepang, warga tetap antusias mengunjunginya. Ada sensasi tersendiri tidak saja ketika sampai tujuan, tetapi juga dalam perjalanan. Dengan pasang dandanan ala ‘aktor’ dan ‘aktris/artis’ ternama, kaum muda bergerak di sepanjang jalan utama pulau. Tidak sedikit dari mereka yang berkonvoi dengan dipandu sebuah mobil full music dan berpengeras suara. Ini adalah ekspresi kebersamaan dan kegembiraan kolektif antara warga ‘penetap’ dan ‘si pulang kampung,’ setelah paling tidak satu tahun masing-masing ‘tidak bertemu’ dan ‘bekerja keras.’Tindakan ini mungkin juga merupakan ungkapan ‘berbagi’ kesuksesan oleh para perantau agar mendapatkan sekedar perhatian atau apresiasi atas eksistensi-diri dan kampungnya.
Paling tidak keempat magnet inilah yang membuat para perantau Bawean tak kuasa untuk tidak pulang kampung setiap tahun. Anda tentu bisa membuat daftar magnet lebih banyak lagi. Dengan demikian, pulang kampung akan terus menarik karena kombinasi antara kerinduan pada memori indah masa lalu, perintah agama untuk merayakan kemenangan dan kembali suci, hasrat berkumpul/ bertemu sanak saudara, serta dorongan berbagi kesuksesan dari perantauan. Magnet besar pulang kampung setiap lebaran tidak hanya monopoli warga Bawean, tetapi juga dialami masyarakat muslim di Indonesia, dan bahkan amat mungkin di manca negara.
Selamat pulangk ampung/Mudik, Have a nice hom