Media Bawean, 23 Januari 2014
Oleh : : Hassan Luthfi (warga Bawean, menetap di Yogyakarta)
Sebagian besar orang tua di Bawean dahulu dalam menyekolahkan anak-anaknya
cenderung berorientasi disekitar sekolah-sekolah pesantren tradisional. Dambaan agar kelak menjadi sosok pribadi yang agamis merupakan personifikasi masyarakat Bawean pada saat itu. Pertanyaan atau himbauan yang acapkali dijadikan tolak ukur pada
kesuksesan seorang anak masih teramat dogmatis, berkisar tentang berapa kali
hatam Al Qur’an dan la berempa taon se mondhuk. Bersekolah ke SMP atau SMU Negeri pada waktu itu masih dianggap terlalu sekuler, hal ini disebabkan oleh kultur masyarakat Bawean yang pada umumnya sangat sensitif terhadap sesuatu yang baru, atau dengan kata lain terlalu xenophobia (benci terhadap sesuatu yang belum dikenal).
Seiring dengan pesatnya modernisasi serta semakin mudahnya akses informasi dari dunia luar belakangan ini, kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan formal mulai nampak lebih meningkat dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya. Indikasi ini dapat dilihat dari metode orang tua kini dalam menyekolahkan
anak-anaknya yang tidak begitu kaku dan konservatif lagi. Pertanyaan dan sharing antar orang tua sekarang sudah beralih ke tentang mutu sekolah dan prestasi anak di pendididkan formal.
Pada hakikatnya bersekolah ke pesantren ataupun sekolah-sekolah umum memiliki tujuan
yang sama, berharap kelak menjadi insan yang sukses. Adapun yang membedakan
adalah persepsi dari kata sukses itu sendiri yang bersifat relatif, tergantung
dari sudut mana kita menilaiannya. Pada zaman kuda gigit besi, seseorang akan dikategorikan sukses apabila sudah menguasai ilmu agama, pandai mengaji dan ditambah lagi kuat bekerja. Sementara di Bawean sekarang ini parameter kesuksesaan sudah
semakin bias dan bahkan semakin mengerucut ke materi. Seseorang dianggap sukses
hanya dilihat dari rumah megahnya, mobil mewahnya dan seberapa banyak perhiasan
emas yang dipakainya pada saat a maor.
Ketika opini masyarakat tentang sebuah kesuksesan hanya terdoktrin kepada hal-hal yang
berbau materi, maka tanpa disadari telah berefek pada masifnya penyebaran benih-benih
konsumerisme ke berbagai sendi kehidupan. Budaya-budaya di Pulau Bawean yang
pada awalnya memiliki maksud dan tujuan yang baik, belakangan ini semakin banyak yang memudar nilai-nilai positifnya. Salah satu contoh pada budaya yang disebut a
tolong ka onjhengan, pada awalnya budaya ini bertujuan meringankan
beban sanak saudara atau kerabat yang mengadakan hajatan dengan memberi bantuan
berupa uang atau sembako. Kini budaya tersebut telah terkontaminasi
berubah menjadi ajang sambil memamerkan perhiasan.
Persaingan hidup dan gengsi yang tinggi telah merusak sebagian tatanan kehidupan dalam
masyarakat. Berpola hidup sederhana bukan lagi karena mengikuti ajaran agama,
tetapi karena ketidakmampuan. Hidup sederhana sudah dianggap inferior, sehingga
hampir setiap orang berlomba dengan berbagai cara agar dikategorikan sebagai
kaum borjuis. Dengan gaya hidup yang tidak sehat seperti demikian itu, pada
akhirnya seorang maling atau koruptor yang memiliki harta berlimpah
juga dianggap sebagai orang sukses, karena pedoman dalam benak sebagian besar
masyarakat hanya pada kekayaan.
Sejatinya menjadi orang sukses dan kaya itu tidak ada yang salah. Rasulullah SAW. juga pernah bersabda bahwa kemiskinan itu akan mendekatkan diri kepada
kekufuran. Persoalannya
adalah ketika proses untuk mencapai kesuksesan itu dilakukan dengan cara-cara
yang memalukan. sehingga segala prestasi, jabatan atau hartanya yang selama ini
merupakan kebanggaan menjadi tidak bermakna. Kesuksesan itu seyogyanya harus
memiliki nilai manfaat, bukan yang merugikan bagi orang lain.
Menurut analisa
Dr.Haward Gardner (seorang pakar psikologi), yang menerjemahkan sukses sebagai
keberhasilan seseorang dalam menemukan potensi keunggulan dirinya untuk menjadi
yang terbaik dibidangnya dan berguna bagi diri sendiri serta orang lain.
Dengan sedikit
mengomparasikan definisi sukses dari berbagai opini diatas, sekiranya dapat
merubah mindset atau pandangan kita dalam menginterpretasikan sebuah
kesuksesan.
Bukan lagi sekedar melihat dari kaca mata kuda seperti
selama ini, yang mana
telah terjebak ke jalan pragmatis dengan melanggar norma dan etika dalam
mengejar sebuah kesuksesan. Bila kita mampu memaknai sukses dengan cara tidak
membabi buta, tentunya ajaran agama yang melarang berbuat riak dan
sum’ah tidak akan kontradiksi lagi dengan gestur
keseharian dalam masyarakat. Melainkan akan mampu menciptakan lingkungan
masyarakat yang selalu bersikap asketis (suatu sikap yang memperaktekkan
kesederhanaan, kejujuran dan kerelaan berkorban). Sebagaimana pula yang
dinasehatkan oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib bahwa “Bentuk terbaik pengabdian
seorang hamba kepada Allah SWT. adalah dengan tidak memamerkannya”.
Lingkungan
sekitar dan gaya hidup orang tua merupakan pengaruh yang paling dominan dalam
membentuk kepribadian seorang anak.
Bila
para orang tua belum mampu menunjukkan tauladan yang benar, setinggi apapun
prestasi seorang anak dan sebagus apapun kwalitas tempat dia bersekolah, belum
tentu akan menghasilkan generasi sukses yang memiliki integritas dan
jauh dari jiwa
koruptif. Bersamaan dengan bulan Maulid yang biasanya diperingati begitu heroik
dengan dalih demi cinta kepada Rasulullah saw, semestinya paradigma
tentang kesuksesan yang selama ini terkesan semakin
jauh dari ajarannya dapat diluruskan. Tanpa bisa dimulai dari sekarang, harapan
agar Pulau Bawean diisi oleh generasi yang bisa membawa perubahan ke arah yang
lebih baik, mungkin masih sebatas “Building
Castle in the Air” (lamunan).