Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Tradisi Maulid di Pulau Bawean
Rahmatal Lil Marketin bin Koka

Tradisi Maulid di Pulau Bawean
Rahmatal Lil Marketin bin Koka

Posted by Media Bawean on Rabu, 05 Februari 2014

Media Bawean, 5 Februari 2014

PERAYAAN MAULID VERSI BAWEAN 
Antara Tradisi dan Keharusan 
Oleh : Sugriyanto 
(Dosen STAIHA- BAWEAN GRESIK) 

Maulid yang di-Bawean-kan menjadi “molod” (red: bukan colok atau mulut) merupakan suatu bentuk kegiatan perayaan rutinitas tahunan yang bertujuan memperingati hari kelahiran Nabi bergelar Sayyidul Basyar (penghulu para nabi) yakni Nabi Muhammad SAW. Kegemparan dan kegegeran dalam memepringati kelahiran Nabi -penumpah dan pelimpah syafaat ini- mendapat tempat teratas di hati masyarakat Pulau Bawean. Tiada terukur dengan apapun semangat dan kerelaan masyarakatnya yang merayakan dengan caranya yang banyak menyita biaya per-”angkatan” atau per-’bherkatan” (red: hidangan atau sesajen jumbo) dengan segala asesoris dan dandanan yang unik dan eksotik.Tentu hidangan dan sesajen itu bukan untuk dipersembahkan kepada roh atau demit, melainkan untuk di-gasak atau disantap bersama keluarga dalam luapan hari kegembiraan yang tiada tara atas lahirnya asma kemuliaan yang namanya dipersandingkan dengan asma Allah SWT. dalam kalimat tauhid di tiang arsy yakni Muhammad Rasulullah SAW.

Sekadar memberikan jalan pemikiran dalam meretas tarekh Islam untuk memperluas khazanah pengetahuan perlu kiranya dilontarkan sebuah tulisan yang dikutip dari Bahtsul Masail majalah Aula yang diasuh oleh KH Abdurrahman Navis Lc, M.HI “bahwa Rasulullah SAW tidak pernah melakukan seremoni peringatan hari lahirnya. Belum pernah dijumpai sebuah hadits atau nash yang menerangkan bahwa pada setiap tanggal 12 Rabiul Awal (Sebagian ahli sejarah mengatakan 9 Rabiul Awal), Rasulullah SAW mengadakan upacara peringatan hari kelahirannya. Bahkan ketika beliau sudah wafat, belum pernah para sahabat, tabi’in tabi’in merayakannya.” (Aula ,Pebruari 2011 hal.43). Namun, dalam majalah yang sama menurut Imam As-Suyuthi, tercatat raja pertama yang memperingati hari kelahiran Rasulullah SAW dengan perayaan yang meriah luar biasa adalah Raja Al-Mudhaffar Abu Said Kukburi ibn Zainuddin Ali bin Baktakin (lahir 549 H- wafat 603 H). Tidak kurang dari 300.000 dinar beliau keluarkan dengan ikhlas dalam bersedekah untuk peringatan maulid tersebut.

Sedikitpun penulis tak hendak menggiring perayaan maulid ini ke dalam ranah ubudiah. Dengan dalih, bila kegiatan perayaan maulid ini terus ditarik-tarik kekanca perbid’ahan dikawatirkan menjadi sebuah persoalan yang terus menjadi bahan empuk kontro versi hingga terjadi pemubaziran waktu,tenaga, pikiran dan segalanya. Ketertarikan penulis dalam perayaan maulid Nabi ini dari sisi ibadah sosial kemasyarakatan semata. Bila sejenak set back untuk menengok perjalan sejarah dan peradaban Islam, perayaan ini bukan mengekor laksana perayaan Natal yang dirayakan oleh kaum Nasrani dan kaum lain sebelumnya, melainkan suatu bentuk kesadaran akan pentingnya semangat juang dan kekompakan umat Islam hingga zaman yang tidak tak berbatas. Ingat, seorang panglima perang yang gagah perkasa yakni Salahuddin Al- Ayyubi sebagai Sang Penakluk Yerussalem (Baca: Palestina) mampu memenangkan perang salib yang penuh dengan kedahsyatan itu tidak lain dan tidak bukan karena kekompakan. Umat Islam itu menjadi larut dan terlena dalam euforia kemenangan seperti bercerai- berai tidak terurus saja. Usaha untuk mengembalikan jiwa juang dan kekompakan umat Islam, Salahudin Al-ayyubi mencoba menggagas ulang sebuah perayaan yakni Maulid Nabi Muhammad SAW. Salah satu kegiatan perayaan pada Maulid perdana itu ter-follow-up sebuah lomba atau sayembara penulisan syair atau puisi yang dimenangkan oleh Jakfar Al-Barzanji yang karyanya terus mengabadi sepanjang zaman yakni berupa kitab Al-Barzanji yang kerap kali dibawakan pada acara-acara ritual keagamaan termasuk Maulid Nabi dalam bingkai “Dikker” ala Bawean. Isinya berupa sejarah atau tarekh Nabi sejak lahir hingga wafat dengan segala pujian dan sanjungan atas kemuliaan akhlak dan budi pekertinya sebagai hamba Allah pembawa rahmat bagi sekalian alam. (baca: alam dunia dan akhirat), yang transendental.

Sungguh disayangkan bila umat Islam di dunia, khususnya umat Islam di Pulau Bawean bila niatan merayakan Maulid Nabi sekadar ikut-ikutan karena sebagai tradisi yang turun –temurun tanpa mengetahui latar belakang secara keilmuan lewat sebuah tulisan atau bahan bacaan. Akibatnya sebuah tradisi yang menjadi keharusan akan pudar dan luntur ditelan atau digigit oleh taring kemajuan zaman. Apalagi secara umum bangsa Indonesia saat ini tengah menggembar-gemborkan pentingnya nilai-nilai karakter bangsa yang mampu membedakan karakter sendiri dengan karakter bangsa lain. Cukup relevan dan menjadi harga mati untuk mengembalikan salah satu tradisi yang unik penuh daya tarik yang eksotik yakni Maulid Versi Bawean dengan segala pernak-pernik rupa kemunculannya untuk dilembagakan dalam Badan Konservasi Budaya Nusantara. Kenyataan dan idealisme warga Bawean dalam menyikapi urgennya mempertahankan tradisi tidak sekokoh warga Bali dan Minangkabau pada umumnya. Betapa tidak, sudah berkali-kali rupa “angkatan” atau “bherkat” maulid mengalami metamorfosis yang keluar dari pakemnya. Mulai “angkatan” atau “bherkat” pelak (baca: Jawa-cuwek) dan sareng-sareng (wadah mirip parabola mini terbuat dari anyaman bambu), Tengghu (talam atau baki kuningan), bekol (baca: Wakul-Jawa) dan ceppo (baca: cepu-Jawa) , timba atau baldi, serta perabot rumah tangga mutakhir sesuka hawa nafsunya. Mungkin, masa yang akan datang “bherkat” sebagai wujud sesajen kemeriahannya akan terus mengikuti gerusan zaman dan kemajuan yang akan mengaburkan dan meniadakan sama sekalii nilai kemenarikan dari perayaan Maulid versi Bawean ini.

Belajar dari sebuah tulisan seorang Begawan Sejarah Kebudayaan Indonesia yakni DR. R. Soekmono dalam bukunya yang berjudul Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, dalam buku tersebut diterangkan “bahwa kebudayaan itu, bagaimana juga sifat serta kuatnya pengaruh dari luar yang meresapinya , tidak akan mati selama masyarakat pendukungnya semula masih tetap berlanjut.”(Soekmono:1990:124), Sementara masyarakat Bawean dengan mudahnya melakukan pembiaran lewat jiwa kepasrahannya (baca : keputus-asaan dalam menjaga dan meneruskan warisan leluhurnya) karena sudah dianggap mengikuti zamannya (trendnya). Hal ini tidak akan pernah terlepas dari petatah petitih dari para sesepuh dan para dai serta kyai yang kurang memberi penguatan pentingnya melestarikan tradisi dengan segala perspektifnya dari seluruh dimensi kehidupan perayaan maulid ini. Gampangannya, bila preode pelak, sareng-sareng, dan tenggu dianggap merepotkan dan primitif, bisa diambil jalan tengah yakni tetapkan pada pereode bekol atau cepo yang isinya berupa nasi, lauk-pauk, telur 12 butir dicocok, makanan tradisional khas Bawean semisal rangginang dan sejenisnya ditambah buah pada musimnya plus dengan tongghul bunga kedut. Bila hal ini mereingkarnasi akan memberikan dampak peningkatan terhadap taraf perekonomian masyarakat kecil di bawah. Pemilik tanaman batang bambu (red: Ore-Bawean) akan melakukan pembudidayaan sebagai persiapan bahan yang dibutuhkan dalam pembuatan bakul atau cepu setiap tahunnya.

Bagi rakyat ekonomi kecil di bawah akan menunggu kesempatan dalam kegiatan penggawean rutin tahunan dengan segala keperluan maulid, mulai pembuatan cocok telur, tongghul, menghias bakul dengan upah yang lumayan akan lebih mendorong dalam usaha peningkatan ekonomi kerakyatan. Jika demikian faktanya keberadaan perayaan maulid benar-benar menjadi rahmatal lil alamin khususnya bagi rakyat miskin bukan sebaliknya menjadi rahmatal lil marketin yang menguntungkan pemodal besar pemilik market karena isi ‘angkatan’ atau ‘bherkat’ dalam perayaan maulid modern ini berupa barang-barang market yang bermuatan import. Perhatikan saja isi diantaranya berupa koka-koka dan sebangsanya. Hingga barang-barang yang tak wajar turut disajikan pula. Orang luar atau warga asing yang hendak melancong ke Pulau Bawean kurang berminat atau tertarik untuk menyaksikan perhelatan tradisi yang sudah dimodifikasi menjadi maulid modern. Di Jogjakarta dalam acara “Sekaten” hingga saat ini apem menjadi rebutan. Bahkan di beberapa pondok pesantren di tanah jawa cukup pelak atau cuwek sebagai hidangannya tetap bertahan hingga saat ini. Kenapa mereka bisa mempertahankannya? Perlu kiranya warga Pulau Bawean untuk duduk semeja kembali berembug dalam menjaga dan melestarikan budaya yang dianggap baik serta memiliki nilai jual ke luar.

Latar belakang yang cukup mendasar sebagai alasan kuat untuk terus merayakan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW tentu tidak pernah terlepas dari sebuah keterangan bahwa Rasulullah SAW pernah berdoa tentang tiga perkara . Pertama, umat Islam tidak dimusnahkan dari muka bumi dan Allah SWT. menerimanya. Kedua, umat Islam tidak mati kelaparan dan doa tersebut dikabulkan oleh Allah SWT. Dan yang ketiga, adalah umat Islam jangan sampai terpecah belah. Tetapi, doa terakhir ini tidak dikabulkan. Justru itulah usaha yang digagas oleh Raja Al-Mudaffar dan Panglima Perang Salahuddin Al-Ayyubi cukup relevan dan memang menjadi suatu keharusan sebagai frame mempersatukan umat Islam dalam wadah kekompakan untuk terus merayakan peringatan Maulid Nabi tanpa melihat sisi kelompok atau golongan. Bahkan dengan tegas Sultan Salahuddin Al-Ayyubi mengatakan dalam bukunya Abdul Latif Talib berjudul “Salahuddin Al-ayyubi Sang Penakluk Yerussalem” dengan tegas bahwa “jika umat Islam bersatu, kita akan kuat dan musuh tidak akan berbuat dzalim. Tetapi jika sebaliknya, umat Islam terpecah belah , mereka ibarat buih (red: busa di lautan bukan bisu) yang banyak tetapi lemah.”(2008:320).

Memasuki ujung atau penghabisan bulan Rabiul Awal tahun 1435 H tulisan sederhana ini perlu dijadikan tongkat estafet pengetahuan sebagai wujud keperdulian dan usaha memelihara perasaan “eman budaya atau tradisi” yang akan lenyap ditelan masa.Secara filosofi “angkatan” atau “bherkat” dengan segala “papasangan”-nya berupa makanan tradisional, telur, lauk pauk-ayam dengan masak merahnya khas Bawean, beraneka buah hasil panen lokal, serta tongghul (baca: Tunggul-Jawa) menancap kuat di tengah bakul penuh dengan makna. Semisal makanan tradisonal yang selalu disertakan berupa rengginang atau “rangghinang” yang secara etimologis berasal dari bahasa Arab rai yang artinya “ngerokso” atau “meraksa” atau mengurus dan kata dinan berarti agama. Pemasangan jenis makanan khas itu perlambang usaha mengurus kelangsungan agama. Tusuk telur berbaris melingkar di tepi bakul sejumlah 12 (dua belas) melambangkan tanggal kelahiran Nabi Muhammad sebagai penopang ingatan terhadap hari kelahiran beliau SAW. Tunggul atau :”tongghul” tegak di tengah melambangkan perlunya kehadiran pemimpin yang dicontohkan Rasullah SAW sebagai sosok keteladanan di tengah-tengah masyarakat. Secara tidak langsung simbol-simbol itu sebagai wujud pemaknaan dalam sebuah perayaan yang benar-benar bukan sekadar “show of force” kebanggaan semata. Dengan kata lain, merayakan peringatan Naulid Nabi tidak ubahnya sebuah usaha untuk memelihara agama dari percerai beraian.

Tulisan sederhana ini pun sengaja belum diberi illustrasi rupa “bherkat” atau “angkatan” karena tulisan ini sebagai sebuah asbtraksi dari sebuah buku yang masih dalam proses penyelesaian dengan judul yang sama dengan di atas. Ibarat hendak masuk ke dalam sebuah ruangan baru menengok lewat jendela segala seluk-beluk kisah per-“molod”-an di Pulau Bawean. Belum pernah terdengar kabar seumur-umur warga bawean mengalami kebangkrutan atau ketekkoran akibat merayakan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW dengan “bherkat” atau “angkatan” besar-besaran. Sekitar puluhan ribu kepala keluarga di Pulau Bawean dengan budget setiap ‘angkatan’ atau ‘bherkat’ di atas 1 juta rupiah dalam area perayaan yang multi level mulai masjid jamik, kampung, sekolah, madratsah, dinia, dan ranting-ranting di bawahnya mengalami sirkulasi atau peredaran uang mencapai lebih trilyunan rupiah. Kebesaran hati dalam perayaan Maulid Nabi ini justru menjadi pemicu wujud rasa syukur kepada Allah SWT atas diutusnya Nabi Muhammad SAW ke dunia. Bagaimana pun bumi dengan segala isinya tercipta dari Nur Muhammad. Hanya manusia picik dan kurang wawasan dalam membaca yang selalu membenturkan tradisi dengan pandangan keagamaan yang terkadang belum menemukan titik urgensinya terhadap kelangsungan agama itu sendiri, langsung melontarkan vonis sampai men-justice miring terhadap perayaan tersebut.

Paling akhir, rahasia yang perlu disingkap pula tentang peristiwa kelahiran Nabi Muhammad SAW. yang diketahui oleh seorang budak bernama Suwaibatul Aslamiyah yang mengkabarkan kepada majikannya yang bernama Abu Lahab (Red: Paman Nabi) yang tersenyum mendengar kabar itu oleh Allah SWT. diringankan siksanya di neraka setiap hari Senin sebagai hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Karena tersenyum alias mesem saja saat mendengar kabar dari Suwaibatul Aslamiyah atas kelahiran keponakannya sendiri dan luapan itu diteruskan oleh Abu Lahab dengan membebaskan Suwaibatul Aslamiyah sebagai budaknya mendapat ganjaran sebesar itu. Bagaimana lagi dengan umat Islam di dunia khususnya warga Pulau Bawean yang senyum sumringah dan berbunga-bunga hati menyambut dan merayakan peringatan Maulid Nabi tentu akan bersama Rasulullah Muhammad SAW. di akhirat kelak memperoleh syafaatnya. Semoga.Amin.....

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean