Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Jangan Kau Gadaikan Suaramu

Jangan Kau Gadaikan Suaramu

Posted by Media Bawean on Jumat, 04 April 2014

Media Bawean, 4 April 2014

Oleh : Eklis Dinika 
(Dosen STAIHA Bawean)

Problema risywah telah menjamur di berbagai Negara, sehingga tidak lagi menjadi hal yang tabu bagi masyarakat dunia. Hal ini terjadi dikarenakan dengan berbagai sebab, ada yang melakukannya karena malas berurusan dan menunggu terlalu lama, dan ada pula yang karena terpaksa harus melakukannya, jika tidak maka haknya tersebut lama baru didapat. Risywah yang merupakan pekerjaan dholim akan selalu ditemukan masyarakat dari urusan yang terkecil sampai yang terbesar.

Problema ini akan terus menjalar dan menjadi panjang dikarenakan orang yang memberi risywah merasa mudah dalam mendapatkan haknya, sehingga setiap ingin mendapatkan haknya pada sebuah intansi akan melakukan hal yang sama. Begitu juga buat orang yang menerima risywah akan merasakan keenakan disamping mendapatkan gaji tetap dan tidak menambah pekerjaan, hanya tinggal mempercepat pekerjaan. Jika realita ini terus berjalan maka hukum hanya tinggal sebagai ‘pajangan’ saja. Setiap pemerintah dalam suatu negara mengetauhi hal itu, namun peringatan hanya sebagai peraturan yang bersifat temporal ketika terjadi kritikan baru berjalan.

Lagi-lagi pekerjaan dholim ini akan terus menjamur dalam kehidupan, berubah menjadi budaya ‘kotor’ yang selalu terdapat dalam setiap urusan yang dikerjakan masyarakat. Yang akhirnya kelak budaya risywah tersebut tidak lagi dilakukan secara sembunyi-sembunyi bahkan sudah terang-terangan. Akankah budaya ‘kotor’ ini dibiarkan begitu saja?

Apalagi diera pemilu seperti sekarang ini, berbagai cara dan upaya dilakukan untuk memeperoleh kemenangan sehingga duduk menjadi seorang penguasa yang pada akhirnya memegang tampuk pemerintahan yang menjadi tujuannya. Tapi…apakah kita harus menggunakan cara-cara yang tidak sesuai dengan ajaran Islam? Seperti memberi mereka uang, jilbab, mukenah, sarung dan sejenisnya untuk meminta dukungan ? Jawabnya tentu saja, T I D A K, bukan?.

لعنة الله على الراشي والمرتشي
Rasulullah bersabda; Allah melaknat orang yang melakukan risywah dan menerima risywah. (HR.Ibnu Majah)

Sauban berkata; Rasulullah melaknat penyuap, penerima risywah dan perantara, yaitu orang yang menghubungkan keduanya. (HR. Ahmad)

Hadits Rasul tersebut menunjukkan bahwa yang pertama kali dilaknat Allah sebelum penerima risywah (murtasyi) adalah pemberi risywah (râsyi). Hal ini membuktikan bahwa pertanggungjawaban yang terbesar terletak pada pemberi risywah (râsyi), sekalipun dari segi mendapat laknat Allah sama. Karena itu tidak dapat mengecualikan pemberi risywah (râsyi) dalam hal dosa.

Kata (risywah) secara leksikal mengacu pada kata rasya-yarsyu-risywatan yang bermakna al-ju’l yang berarti upah, hadiah, pemberian atau komisi. Sedangkan penyuapan risywah secara terminologis adalah tindakan memberikan harta dan yang semisalnya untuk membatalkan hak milik pihak lain atau mendapatkan atas hak milik pihak lain.

Definisi lain tentang risywah sebagai sesuatu yang diberikan seseorang kepada hakim atau lainnya agar orang tersebut mendapatkan kepastian hukum atau sesuatu yang diinginkannya. Maka dari itu bagi orang-orang yang beriman, hendaknya taat dan tunduk dengan apa-apa yang telah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, jangan lagi mencari pembenaran-pembenaran untuk mengikuti hawa nafsunya.

Allah berfirman :

 وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينً ا

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab : 36)

Berikut diantara alasan para ulama Azhar menolak dibolehkannya praktek riswah:

1. Dua masdar hukum islam; Al-Quran dan Sunnah telah mengharamkan secara jelas dan tegas akan praktek riswah (suap) tanpa ada pengecualian. Maka dalil-dalil tersebut tidak dapat dikecualikan dengan perkataaan fuqoha’ (ulama Fiqh), bagaimanapun situasi dan kondisinya.

2. Hadits Rasul tersebut menunjukkan bahwa yang pertama kali dilaknat Allah sebelum penerima suap (murtasyi) adalah pemberi suap (rasyi). Hal ini membuktikan bahwa pertanggungjawaban yang terbesar terletak pada pemberi suap (rasyi), sekalipun dari segi mendapat laknat Allah sama. Karena itu tidak dapat mengecualikan pemberi suap (rasyi) dalam hal dosa.

3. Kemudhratan yang dijadikan alasan pembolehan terjadinya praktek riswah (suap) belum mencukupi syarat. Karena, sebagaimana yang disepakati Ijma’ ulama bahwa kemudhratan yang membolehkan penggunaan yang haram, jika tidak melakukan hal tersebut dirinya akan berbahaya yang dapat mengakibatkan kematian atau hilang salah satu anggota tubuhnya, bukan dikarenakan kesempitan dan kesulitan waktu.

4. Kenapa dosa riswah (suap) tersebut hanya mengenai penerima suap (murtasyi) saja, kalau ditilik dari segi keuntungan lebih banyak didapat pembari suap (rasyi) dari peneriam suap (Murtasyi). Maka akan timbul pertanyaan kenapa penerima suap (murtasyi) tidak mendapat hal yang sama?

Diantara ulama yang senada dengan pendapat mufti Azhar, Dr. abdul ‘azim al-muth’ani; ustadz Dirosat al-’Ulya Jami’ah al-Azhar. Beliau berpendapat: “bahwa seorang yang terjepit untuk mendapatkan haknya dan dalam kondisi yang sangat mendesak sehingga mengharuskan melakukan riswah (suap), itu merupakan suatu rukhsoh (keringanan) baginya.

Hal ini pun dapat dilakukan jika tidak ada cara lain dan penolong untuk mendapatkan haknya, sehingga pokok permasalahan tinggal pada murtasyi (penerima suap) saja, karena yang memiliki hak berada dalam dua kondisi; menyerahkan permasalahan ini kepada Allah (baca: tawakkal) dengan tidak melakukan riswah (suap)¦dan ini lebih baik, atau melakukan riswah (suap) karena terpaksa dan pada hakekatnya sangat membenci pekerjaan riswah (suap) tersebut sehingga posisinya ketika itu sangat terjepit (‘uzur) sekali, hal ini juga dibolehkan. Sebagaimana terjadi pada orang yang sangat kelaparan ditengah hutan sehingga mengharuskannya memakan daging babi untuk menolak yang hal yang membahayakan bagi dirinya, tetapi ketika lapar itu telah hilang maka tidak boleh baginya meneruskan makanan tersebut hingga kenyang”. 

Sekiranya mufti Azhar menjelaskan sedetail pendapat Dr. Abdul ‘azim, mungkin tidak ada yang membantah pendapat beliau Sekarang tinggal kita memikirkan apakah riswah (suap) yang dilakukan ketika ditilang polisi ditengah jalan termasuk yang memudhratkan atau tidak? Mari kitatanya nurani kita masing-masing!

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean