Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » , » Caleg Membeli Pemilih Selama 5 Tahun
Sehari Dibandrol Rp.35 atau Rp.70

Caleg Membeli Pemilih Selama 5 Tahun
Sehari Dibandrol Rp.35 atau Rp.70

Posted by Media Bawean on Jumat, 04 April 2014

Media Bawean, 4 April 2014

POLITIKUS NEO POLITISME 
Perilaku Politik Transaksional Penggelinciran Aqidah 

Oleh : Sugriyanto 
(Dosen STAIHA BAWEAN- GRESIK) 

Stigma atau stempel haram yang dicapkan terhadap perilaku permainan uang (Baca: money politic) dalam kancah atau ribut-ribut politik di negeri ini telah difatwakan oleh MUI (Majelis Ulama’ Indonesia). Keharaman yang dilabelkan kepada para pemain politik uang, baik penyogok (caleg) dan yang disogok (konstituen) belum memberikan efek takut sehingga tetap mau melanggarnya. 

Artinya, fatwa atau seruan MUI dan lembaga apa saja sebagai “kernek-kernek” di bawahnya yang turut andil dalam pembahasan persoalan politik uang ini belum memberikan implikasi “fiqih” yang mempan untuk menjadi sebuah doktrin keagamaan. Kelak, pelabelan haram terhadap perbuatan jual beli suara atau (Baca: Politik transaksional) bukan sekadar dimunculkan setiap menjelang pesta demokrasi melainkan sudah terlembagakan dalam kompilasi hukum Islam. Justru itu, maka para politisi akan berpikir ribuan kali untuk melakukannya. Pemaknaan kata “haram” masih bias dalam praktiknya. Bisa saja para politisi yang cerdik-pandai dengan retorikanya memaknai kata “haram” sebagai hal yang tidak diperbolehkan atau dilarang. Apalagi istilah “haram” berasal dari Bahasa Arab yang secara leterlak bermakna “tidak boleh”. Sudah kebiasaan bangsa Arab pula hal kegiatan tawar- menawar dalam kegiatan jual beli mengatakan kata “haram” bila penawaran tidak sesuai dengan harga jualnya. Polisi Arab pun yang kerap mengintai para jamaah Masjidil Haram di Mekah dan Masjid Nabawi di Madinah bila melihat perilaku para jamaah yang mengarah ke perilaku syirik langsung berucap “haram, haram!”. Khawatir seperti itu yang dimaksud.

Akankah fatwa MUI dan hasil bahtsul masail yang telah mengharamkan politik uang dianggap sebagai lips service belaka bagi para cukong yang bermain di belakang para politisi yang memang “berani” menghalalkan segala cara? Pola pikir para politisi tidak sesederhana yang dibayangkan oleh para pencetus fatwa tersebut. Persoalan krusial pencalonan untuk menjadi anggota dewan sangat kompleks sekompleks kepentingan yang menyelimutinya. Sehingga berbagai macam cara dan intrik yang digunakan untuk mencapai tujuan akhirnya agar dapat kursi tanpa harus kehilangan harga diri. Kalau hanya sekadar merebut jabatan atau kedudukan dan harta mungkin berada di nomor buncit dalam tataran keinginan menggebunya untuk bisa jadi calon jadi. Wajah dan muka para calon angota dewan yang sudah terpampang dan berserakan di setiap jengkal tanah jika kalah atau tidak mendapatkan kursi mau ditaru di mana? Makanya, hampir di setiap kesempatan rakyat berceloteh sendiri agar pusat rehabilitasi atau rumah sakit jiwa untuk segera siap-siap menerima rujukan pasien baru bagi mereka yang melakoni politik uang namun nyatanya keok juga. Hanya mereka yang tulus tanpa fulus yang akan tenang dalam kekalahan dan bangga dalam kemenangan karena telah berhasil merebut simpati rakyat dengn jalan yang benar dan diridai-Nya.

Sementara itu, fatwa MUI yang sudah mengharamkan permainan politik uang agar dapatnya lebih mempertajam kembali status kehukumannya. Apakah politik uang itu masuk dalam kategori dosa ringan, dosa sedang, atau dosa besar? Di dalam hukum Islam itu jelas dan tegas. Jika memang dosa ringan, para politisi busuk itu beranggapan bahwa dengan mengambil wuduk saja, sudah akan terhapus dosa para politisi yang bermain uang tersebut. Bila masuk dalam kategori dosa sedang, dengan shalat dan istigfar bisa terhapus juga dosanya. Atau mungkin dimasukkan sebagai dosa besar agar mereka melakukan taubatan nasuha untuk tidak mengulangi lagi lima tahun mendatang dengan pakai cara yang diridhi syaitan tersebut. Semua orang tahu beberapa waktu lalu gencar tersiar kabar tentang keluarnya fatwa MUI tentang penghraman hukum merokok. Bahkan PP Muhammadiyah pun pernah mewacanakan pengharaman hukum merokok. Nyatanya, hingga saat ini pabrik rokok dan perokok berat tetap bersimbiosis mesra semakin merajalela saja. Jangan-jangan, warna perpolitikan di tanah air ini tak jauh beda dengan pemfatwaan rokok tersebut yakni menjadi kembang kempis karena belum mendapat kepastian hukum yang definitif.

Selama ini, yang menjadi sasaran pemunculan fatwa haram permainan politik uang tertuju kepada para caleg (caleg sentris) atau calon anggota legislatif semata. Sungguh tidak adil. Pemilih seolah-olah dimanjakan dengan minim sentuhan rohani kepadanya. Koar-koar haram politik uang hendaknya dingiangkan juga di liang telinga para calon pemilih. Setuju atau tidak, pemicu munculnya nafsu untuk membeli suara rakyat atas isarat “mata” rakyat yang juga berkerling siap menerima upah haram tersebut. Rakyat rupanya mengalami kekalutan juga atas gencarnya serangan politik uang ini. Mereka juga sudah tidak seberapa menghiraukan dengan seruan atau imbauan pihak manapun, termasuk nilai-nilai agama pun terkesampingkan oleh desakan semboyan “Pokoke ada uang dicoblos”. Tidak tahu entah nyoblos siapa, karena di dalam bilik suara itu rahasia? Nilai-nilai moral dan keagamaan dalam konstelasi politik menjadi terabaikan. Mayoritas pemilih sudah tahu bahwa hukum sogok –menyogok itu dilaknat oleh Allah SWT. Sesuai dengan bunyi hadits yang artinya “Laknat atas orang yang merasuah (menyogok) dan yang menerima rasuah (penadah sogokan)”. Kata “laknat” dapat diartikan “kutuk” yang artinya sekadar doa atau kata-kata yang dapat menyebabkan kesusahan atau bencana kepada seseorang. Barangkali, di sini penulis perlu sedikit untuk mencuci otak (brain rins) para pemilih dengan menggunakan rasio matematis atau hitung-hitungan secara nalar.

Bila dikalkulasi menggunakan rasio hari dan nilai besaran uang yang diterima oleh rakyat sebagai pemilih, harga diri rakyat sangat murah sekali. Tepatnya harga diri rakyat seperti diobral murahan. Kenapa demikian? Mari hitung bersama dengan cermat dan akurat. Anggota dewan kelak akan bekerja selama lima tahun ke depan. Bila dihitung jumlah hari selama lima tahun yakni 5 x 365 hari = 1825 hari. Katakanlah hari Minggu dan tanggal merah diambil rata-rata dalam lima tahun mencapai 4 x 12 x 5 = 240 hari. Berarti hari kerja efektif anggota dewan mencapai 1825 -240 = 1585 hari. Jika pemilih diberi uang Rp 50.000 hanya dalam sehari menjelang pencoblosan berarti pemilih hanya dihargai Pp. 50.000 dibagi 1.585 hari = Rp. 35 (tiga puluh lima rupiah) harga diri pemilih. Katakanlah caleg menyuap atau ‘ngamplopi’ dengan Rp.100.000 pada waktu sehari itu berarti harga diri pemilih dihargai Rp.70 (tujuh puluh rupiah). Bila caleg nekat membeli suara dengan plafon tertinggi Rp.500.000 perpemilih (caleg pikir-pikir), maka harga diri pemilih dibandroli Rp 350 ( tiga ratus lima puluh rupiah). Belum sampai seribu rupiah kan? Dapat apa uang senilai itu bila dibelanjakan saat ini? Sungguh teramat murah nasib bangsa ini untuk dikorbankan dan dipertaruhkan untuk lima tahun ke depan. Bagaimana pun pemilih sadar bahwa mereka yang memberi, baik secara langsung maupun lewat tangan tak terlihat (invisibel hand) menyadarkan atau mengingatkan bahwa mereka kelak akan berpikir bagaimana cara cepat untuk balik modal sehingga konsentrasi kerja anggota dewan sudah terpecah oleh obsesi dari investasi haram yang telah ditanamnya.

Penulis mencoba beranalogi terlebih dahulu dalam penuhanan benda yang menyebabkan seseorang akan tergelincir atau terperosok ke lembah kemusyrikan. Dalam buku berjudul Studi Islam Kontekstual Elaborasi Paradigma Baru Muslim Kaffah yang ditulis oleh Dr. Abd. Rachman Assegaf disampaikan dengan gamblang persoalan sejarah pemikiran manusia tentang Tuhan. Terdapat beberapa pemikiran dalam sejarah Yunani Kuno di antaranya:

a. Thales (sekitar 635-545) SM berpendapat bahwa asal-usul segala sesuatu adalah air. Air dianggap asal utama dan sebab pertama (Red: causa prima) dari segala sesuatu dan akhir dari segala sesuatu (air dianggap) Tuhannya.

b. Anaximandros (sekitar 610-574) SM asal usul segala sesuatu adalah apreon, yakni dzat tak terbatas, tak terhingga dan tak berkeputusan sebagai sebutan dari Allah?

c. Anaximenes (sekitar 585-528) SM murid Anaximandros, berbeda dengan gurunya. Ia berpendapat bahwa asal-usul alam semesta ini adalah udara. Tanpa udara makhluk hidup tak bisa bernafas dan mati. Akhirnya udara dijadikan Tuhan? (2006:24).

Dari pandangan ketiga pemikir di atas akan menjadi jelas bahwa politik uang atau money politic yang dilakoni para calon anggota legislatif telah menumbuhkan kekuatan bahwa uang dipercaya mampu mejadikan sebuah musabab jadinya seseorang sebagai anggota dewan. Penuhanan dan pemberhalaan terhadap alat tukar menukar ini menyebabkan akidah bangsa ini mengalami penggelinciran memasuki lembah kemusyrikan. Adanya kepercayaan bahwa benda-benada di alam ini (termasuk uang) memiliki tenaga dan kekuatan yang dapat memengaruhi keberhasilan atau kegagalan usaha manusia dalam mempertahankan hidup. Kepercayaan yang demikian kerap kali disebut dinamisme. Celaknya lagi, para politisi terjebak dalam kubangan neo politisme yang menganggap uang segala-galanya mampu menandingi kudrat dan kekuasaan Tuhan. Inilah upaya penggelinciran aqidah manusia.

Penulis yakin bahwa fatwa MUI dan bahtsul masail persoalan kontekstual money politic sudah memberikan ganjaran kepada para politisi untuk tidak melakukannya. Walau sanksi di dunia dan di akhirat belum dijabarkan secara detil namun keyakinan para politisi yang masih punya “hati” tentu tidak mau menukarkan kehidupan akhirat yang abadi dengan kehidupan dunia yang penuh fatamorgana serta fana ini. Apalagi dengan stempel syirik atas tindakannya dalam memainkan uang untuk mencapai suatu tujuan dalam merebut jabatan. Perbuatan syirik yang nekat dilakukan akan menghapuskan seluruh amal kebaikannya sepanjang hidup yang telah dilaluinya. “Inna syirka la dzulmun adzim...!

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean