Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » , » Pendidikan Langgar Mulai Memudar

Pendidikan Langgar Mulai Memudar

Posted by Media Bawean on Sabtu, 03 Mei 2014

Media Bawean, 3 Mei 2014
 
Mengenang Beberapa Aliran Pendidikan di Indonesia 
Oleh : Sugriyanto (Dosen STAIHA Bawean Gresik) 


Menggubris soal eksistensi lembaga pendidikan di negeri ini selalu berhadapan dengan sebuah kerumitan sejarah yang banyak menguras akan kebutuhan energi berlebih dalam menuju titik keidealan.Selama ini yang santer mengiang dan terus mengemuka keharibaan masyarakat Indonesia bila berbicara ikhwal pendidikan terfokus pada satu tokoh sentral yakni Ki Hajar Dewantara dengan nama kecilnya Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Beliau lahir di lingkungan keraton Yogyakarta di zaman penjajahan Belanda pada tanggal 2 Mei 1889. Sebagai tokoh pendiri “Taman Siswa”, beliau paling banyak dikenang kiprah dan perjuangannya dalam menumbuhkan kesadaran nasionalisme via pendidiikan menuju cita-cita Indonesia merdeka di bawah hegemuni kekuasaan Belanda. Bahkan, dalam konstelasi pendidikan nasional hari kelahiran beliau dijadikan tonggak sejarah peringatan Hari Pendidikan Nasional (Dulu: Harpenas}, (sekarang: Hardiknas). Bisa jadi kelak istilah itu terus menggelinding menjadi Hardikbud karena kesukaan bangsa ini mengubah-ngubah istilah yang dianggap memiliki nilai kekinian. Capek deh! Pusing....! (meminjam istilah latahnya Pegy Melati Sukmawati).

Namun, perlu kiranya penulis menyajikan menu peristiwa masa lalu dari beberapa lembaga pendidikan yang juga pernah memberikan kontribusi besar terhadap kemajuan bangsa dalam dunia pendidikan. Memang, selama ini yang paling mendapat perhatian berlebih adalah pendidikan “Taman Siswa” yang memosisikan diri sebagai “poros tengah” tanpa embel-embel kepentingan kelompok dan golongan sebagai manifestasi penginternalisasian jiwa nasinalisme menuju pintu gerbang kemerdekaan Indonesia. Kala itu, bangsa Indonesia di bawah hegemuni kekuasaan Belanda yang tetap menginginkan bangsa Indonesia hidup dalam kebodohan yang permanen. Bagaimana dengan kiprah Muhammadiyah, Pendidikan Maarif ? Padahal, ketiga lembaga pendidikan tersebut juga ambil bagian dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa menuju gerbang kemerdekaan Indonesia. Hingga saat ini ketiga lembga pendidikan tersebut terus melebarkan sayapnya hingga ke pelosok tanah air.

Muhammadiyah

Kebangkitan nasionalisme bangsa Indonesi memberikan pengaruh terhadap lahirnya Muhammadiyah dengan berdirinya “Budi Utomo” pada tahun 1908. Masa itu gelombang pembaharuan dalam sendi keagamaan yang merasuk kuat ke dalam pemikiran bangsa Indonesia bersumber dari Mesir, Arab, dan India. Semua kenal dengan sosok K.H Ahmad Dahlan dengan nama kecilnya Muhammad Darwis telah mendirikan Perkumpulan Muhammadiyah dengan misi utamanya meretas penyebaran agama, membuka dan menyelenggarakan pendidikan sebagai wahana utama untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dengan penanaman nilai-nilai keagamaan dalam usaha menuju pintu gerbang kemerdekaan Indonesia dari cengkeraman penjajah. Kulminasi perjuangan itu pun bermuara pada kemerdekaan Indonesia.

Sudah seyogyanya bila kota Yogyakarta menjadi ikon kota pendidikan. Beberapa tokoh pendidikan nasional muncul dari kota gudeg dengan menjamurnya lembaga pendidikan hingga patih Gajah Mada pun terpahat menjadi sebuah nama perguruan tinggi yang memeliki reputasi nasinal bahkan internasional ada di Yogya yakni Universitas Gajah Mada (UGM), bukan Universitas Ghonong Malokok versi Bawean. (kreasi singkatan Rahmad Safari, S.Pd. M.Pd.) saat mencipta drama situasi di sebuah sekolah. Sebelum organisasi Muhammadiyah berdiri, KH. Ahmad Dahlan telah mendirikan “Sekolah Muhammadiyah” yang berbasis di sebuah langgar milik ayahnya yakni KH. Abu Bakar pada tahun 1911. Hampir seluruh aktivitas belajar mengajar berbasis langgar. Tokoh-tokoh dan ulama besar semisal buya HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah), Amin Rais, Din Samsyudin, Dawam Raharja dan lain-lain merupakan alumni “langgaran” juga dulunya. Baru, kemudian setahun setelah Sekolah Muhammadiyah berdiri maka berdirilah Organisasi Muhammadiyah pada tanggal 18 November 1912 di sebuah perkampungan “Kauman” Yogyakarta. Istilah “Kauman” sendiri berasal dari akar kata “Kaimuddin” yang artinya penegak agama.

Perkembangan kemudian “Sekolah Muhammadiyah” mengalami metamorfosis berubah nama menjadi Volk School (Sekolah Rakyat) setara SD saat ini dengan jenjang masa studi tiga tahun. Lalu, Muhammadiyah mendirikan “Sekolah Kasultanan” (Sultaanatschool) dengan masa studi tiga tahun. Menyusul kemudian, Muhammadiyah mendirikan sekolah menengah yang dimulai dari MULO yang diberi subsidi oleh pemerintah Belanda. Berikutnya, Muhammadiyah mendirikan “Algemene Middlebare School (red: AMS, jika di balik jadi SMA) dan Holland Indlandse kwekschool yang mendapat bantuan dari para inteletual Indonesia yang beraliran nasional. Kurikulum Muhammadiyah menyeimbangkan muatan pelajaran agama dan umum dengan porsi masing-masing 50 % ( Dinn Wahyudin dkk. : 2007: 4.14).

Taman Siswa

Gaung pendidikan “Taman Siswa” cukup membahana dengan menunjukkan sifatnya yang nasionlis dan pedagogis serta kultur yang dapat diterima oleh semua pihak. Pendidikan “Taman Sikswa” mencoba memosisikan diri sebagai “poros tengah” yang dianggap merepresentasikan totalitas bangsa Indonesia tanpa melihat corak kelompok dan golongan serta agama dalam usaha mewujudkan cita-cita nasional dalam mencerdaskan bangsa menuju Indonesia merdeka walau aktivitasnya cenderung sekuler dan berbau politis. Tentu, Ki Hajar Dewantara bermaksud bukan hanya sekadar untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melainkan anti Belanda dan imperialisme yang masih kuat bercokol di bumi pertiwi. Bersama Dowes Deker, Cipto Mangunkusumo, beliau mendirikan Indische Partij untuk merongrong kewibawaan Belanda. Hingga Ki hajar Dweantara diasingkan ke negeri Belanda.

Kali pertama, Ki Hajar Dewantara mendirikan sekolah Taman kanak-kanak (Bukan: Taman nak-kanak) bernama Kindertuin –yang oleh kalangan Taman Siswa diberi nama Taman Indriya pada tanggal 3 Juli 1922 sebagai tingkat terendah dalam jenjang pendidikan. Sebelas tahun setelah Sekolah Muhammadiyah berdiri. Lembaga “Taman Siswa” diberi nama National Onderwijs Instituut yang didasrkan atas kebangsaan dan kebudayaan Indonesia. Asas pendidikan yang dianut pendidikan “Taman Siswa” yakni kodrat alam. Tiga pilar prinsip demokrasi yang digagas oleh Ki hajar Dewantara terdiri atas tiga aspek:

1. Anak dalam pendidikan merupakan pusat perhatian pendidik. Lingkungan anak meliputi home, school, and comonity (rumah, sekolah, dan masyarakat) yang melahirkan prinsip konsentris, kontinu, dan konvergen. Ketiga prinsip tersebut lebih populer dengan istilah “Tri-kon”.
2. Musyawarah sebagai prinsip demokrasi tetapi tetap menghargai pimpinan. Ki hajar Dewantara menganggap perlu ada suatu kewibawaan walau tetap dasarnya musyawarah dan mufakat.
3. Dasar demokrasi membawa kewajiban untuk memikul tanggung jawab. Hal ini sesuai dengan semboyan “Taman Siswa” yakni Ing ngorso sung tulodo, ing madyo mangun kerso, dan tut wuri handayani. Artinya kurang lebih demikian; di depan memberi teladan, di tengah membangun kehendak, dan di belakang memberi semangat serta support atau motivasi.

Pendidikan Maarif

Nahdhatul Ulama sebagai induk semang dari Pendidikan Maarif memilik peran yang signifikan dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan yang dibangun oleh Nahdhatul Ulama berbasis pesntren. Langgar, mushalla, serta pondok pesantren menjadi basis utama dalam mengembangkan pendidikan. Jombang, sebuah nama daerah sebagai singkatan kelompok Islam Ijo dan kelompok Islam abangan menjadi ikon kota santri yang telah melahirkan ulama besar yakni KH. Hasyim Asy’ari sebagai pendirinya. Tidak hanya KH. Hasyim Asy’ari, termasuk Nurcholis Majid (cendekiawan muslim), Emha Ainun Najib (budayawan), Asmuni (pelawak Srimulat), KH. Abdurrahman Wahid (Presiden RI keempat), Abu Bakar Ba’asyir (ulama), serta masih banyak tokoh-tokoh hebat lainnya yang lahir dari kota tebu ireng. Nama tebu ireng sendiri pun menjadi sebuah simbol bahwa dulunya di Jombang banyak perampok, maling, penjudi, pemabuk, hidung belang, dan sejenisnya sebagai tempat dilahirkannya ulama besar KH. Hasyim Asy’ari. (Sustyo Budi Wibowo : 2011: 73). Awalnya, warna kulit tebuh di Jombang berwarna putih kekuningan mengkilau namun akibat perilaku warganya berubah menjadi hitam (mitos).

Sepuluh tahun sebelum Organisasi Nahdhatul Ulama berdiri ( 31 Januari 1926) telah berdiri cikal-bakal pendidikan Ma’arif yang mulai berkembang tahun 1916. Di awali dari sebuah lembaga kursus yang didirikan oleh dua ulama kharismatik yakni KH. Abdul Wahab Hasbullah dan K.H. Mas Mansur diberi nama “Taswirul Afkar”. Kursus ini kemudian berkembang dengan dibentuknya Jam’iyah Nahdfhatul Wathan yang bertujuan memperluas cakrawala dan meningkatkan kualitas pendidikan madrasah. Lembaga pendidikan Ma’arif mula-mula berkembang di Jawa Timur yang dipelopori oleh NU. Karakter pendidikannya mula-mula menyerupai “pesantren yang diformalkan” dengan muatan agama sebagai basik kurikulumnya. Kemudian, sebagaimana Muhammadiyah, Ma’arif memasukkan materi umum ke dalam kurikulumnya. Termasuk ilmu bumi, matematika dan mata pelajaran umum lainnya masuk dalam kurikulumnya.

Jika sejenak memperhatikan sejarah perkembangan aliran pendidikan di tanah air maka pandangan ini harus lebih memperluas wawasan kependidikan. Sehingga tidaklah mengejutkan bila tujuan pendidikan yang tertera dalam Undang-Undang Sisdiknas adalah meningkatkan keimanan dan ketakwaan karena memang basik awalnya adalah lembaga pesantren atau “murid langgaran” yang saat ini menjadi sebuah ratapan melihat nasib dan keberadaannya. Mental dan moral bangsa ini perlu dikembalikan ke dalam basik aslinya dalam kebaikan. Saat ini ada kecenderungan anak murid sejak sekolah dasar hingga lanjutan sudah enggan untuk mendatangi guru-guru ngaji di kampung-kampung. Mereka, termasuk orang tua murid terkadang lebih “ngebet” memaksa anaknya untuk les atau kursus ke guru mata pelajaran umumnya tinimbang menyuruh ngaji ke ustad atau guru-guru ngajinga. Padahal, di sekolah umum pendidikan agamanya lebih cenderung ke-LKS-an yang terkadang berbau sekuler. Akan lebih bersahaja dan berfaedah bila ada penyeimbangan kebutuhan dunia dan akhirat melaui pendidikan umum dan agama seperti yang dilakoni oleh para pendahulunya.

Penulis sempat membaca sebuah buku berjudul “The Asean Sleeping People” setebal 240 halam yang ditulis oleh John. M. Mayer penulis psikolog berkembangsaan Paman Sam sedikit meledek orang-orang Asean termasuk bangsa Indonesia dengan ucapan “Selamat Bangun Tidur”. Maksudnya mayer sedikit nyindir bahwa bangsa Indonesia di dalamnya mengalami “tidur” dalam belajar, “tidur” dalam bekerja bahkan “tidur” dalam berjalan. Konsep-konsep pembangunan sosial, politik, hukum, dan pendidikan pun dibuat sambil “tidur”. Artinya, banyak orang Indonesia termasuk kita bicara “mimpi” daripada realita. Lebih cenderung jadi ideal dreamers daripada factual workers. (Demas Marsudi: 2009:3). Justru inilah mari kita bangun dari tidur lewat pendidikan berbasik langgar agar kemajuan bangsa ini tidak memudar. Selamat Hari Pendidikan nasional tahun 2014 semoga bangsa ini menjadi lebih baik.

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean