Media Bawean, 26 November 2014
Refleksi Menyambut Hari Kebesaran Sang Pendidik
Oleh : SUGRIYANTO (Guru SMA Negeri 1 Sangkapura)
Arah semprongan lewat dua keker (baca: lensa) membidik kepada dua kata kunci yang selalu menjadi topik utama di setiap sesi pembicaraan baik di media sosial dan media cetak serta media-media lainnya adalah kata “Guru” dan “Buruh”. Kedua kata tersebut jika dilafalkan dengan artikulasi yang kepleset sedikit antara huruf “G” dan “B” serta matinya lafal fonim “H” yang samar-samar maka akan mengerucut pada nosi yang relatif sama yakni sama-sama pekerja. Yang satu pekerja di sekolah atau lembaga pendidikan sedangkan yang satunya pekerja di pabrik atau perusahaan lainnya. Namun, tuntutan keduanya relatif sama yakni mengenai kesejahteraan. Sejahtera lahir dan batin. Kerja…Kerja…Kejar…
Sejenak marilah menghela nafas panjang untuk mengenang dan mengingat sejarah masa lalu berdirinya PGRI dan penetapan Hari Guru Nasional. Setelah 100 hari Indonesia merdeka dengan tetap dijiwai semangat proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 para pejuang pendidikan mengadakan Konggres Guru Indonesia di Surakarta tanggal 24-25 Nopember 1945. Alhasil, pada tanggal 25 Nopember 1945 ditetapkan sebagai hari berdirinya PGRI dengan Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994 sebagai Hari Guru Nasional.
Antara Guru dan Buruh boleh dibilang senasib dan seperjuangan. Hal ini tercermin dari pekik semangat “merdeka” yang gegap gempita mengawal laju kemerdekaan untuk bersatu mengisi kemerdekaan dengan tiga tujuan utama:
1. Mempertahankan dan menyempurnakan Republik Indonesia
2. Mempertinggi tingkat pendidikan dan pengajaran sesuai dengan dasar-dasar kerakyatan.
3. Membela hak dan nasib “Buruh” umumnya, guru pada khususnya.
(Buruh berucap terima kasih guru)
Sungguh menarik dan terkesima dengan tema yang diusung PGRI dan HGN dalam memperingati hari kelahirannya yakni mengkristal dalam sebauh idiom “Revolusi Mental”. Konotasi yang muncul manakala berbicara mengenai kata “Revolusi” sedikit trauma mendengarnya. Akibat terlalu kesusu atau terburu-buru untuk memenuhi akan hausnya kekuasaan di negeri ini, tujuh jenderal pun diakhiri nyawa dan kariernya dengan gerakan “revolusi” pula. Tautan pikiran penulis pada pahlawan revolusi dengan gelar anumerta sebagai sebuah penghargaan atas jasa-jasa dan perjuangannya setelah wafat. Termasuk guru, khususnya di negeri ini selalu mendapat penghargaan bagi mereka yang sudah purna tugas dan yang berpulang kepangkuan ilahi. Jangan heran jika banyak guru aktif yang melempem dalam usaha inovatif dalam kegiatan tulis-menulis atau kreativitas positif lainnya sebagai usaha meningkatkan kadar keprofesionalannya akan terus dan tetap jauh dari penghargaan yang semestinya harus diterima. Zonder alas an yang rasional dan proporsional.
Sementara itu, kebencian tentara Jepang terhadap guru sangat memuncak. Jepang alias Jepun amat tidak menyukai suatu pergerakan atau lembaga lainnya di negeri ini kala itu melibatkan tangan seorang pendidik atau guru. Hal ini menjadi target utama tentara Jepang yang telah bercokol di bumi pertiwi selama tiga setengah tahun. Bangsa –Matahari terbit itu- berpretensi bahwa bangsa Indonesia di bawah kepemimpinan seorang guru atau pendidik akan menjadi momok dalam ekspansi jajahannya. Tidaklah mengherankan bila gerakan-gerakan kepemudaan yang melibatkan guru atau tenaga pendidik akan menjadi target larangannya.
Padahal, Kaisar Hiro Hito pernah melontarkan suatu ungkapan monumentalis tatkala kota di Jepang yakni Kota Hirosima dan Nagasaki yang diluluh-lantakkan oleh dua bom atom Litle boy dan Fatman yang dijatuhkan oleh tentara Amerika seraya berujar penuh harapan “Masih adakah guru yang tersisa?”. Bukan yang lain yang ditanyakan. Statement Kaisar amat bertolak belakang dengan tentaranya yang dipaket untuk menikam rakyat Indonesia kala itu. Mereka benci banget dengan guru. Hal ini menandakan betapa kuat dan berpengaruhnya perjuangan guru dalam membela dan meningkatkan kesadaran rakyat untuk bebas dan melawan penjajah. Ujung-ujungnya atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya (Pembukaan UUD 45).
Fenomena saat ini muncul sebuah trend baru guru “nyambi” dan guru “ Tak Lulus PLPG”. Akibat citra yang dilekatkan pada diri guru teramat “suci” dan “sakral” sehingga guru hanya boleh bekerja sebagai guru. Untuk bekerja atau “nyambi” di luar kegiatan dinasnya kerap kali menjadi buah mulut masyarakat. Seakan-akan tabu dan di luar kepantasan bila guru harus dinamis di luar dinasnya. Maunya masyarakat guru sepulang mengajar “bersemedi” atau “bertapa” saja di kamarnya dengan kemeja dan pakaian kesopanannya agar harkat dan martabatnya tetap mulia. Benarkah demikian? Perlu kiranya label ini didudukkan pada posri yang semestinya bahwa guru juga makhluk zoon politikon. Di samping sebagai individu juga sebagai makhluk sosial yang memiliki jalinan interaksi dengan masyarakat pada umumnya dalam segala aspek kehidupan.
Jangan diherani bila ada guru jadi tukang parabola, tukang penjual akik, tukang meubel, pemilik toko, penjual bensin, peracang, penggendong termos es ke sekolahnya, membuka kreditan jilbab dan busana, dan segala kegiatan usaha lainnya yang masih halal dan tidak mengganggu tugas kedinasannya, why not! Sebagaimana penulis mengutip tulisan Dr. Dedi Supriadi dalam bukunya berjudul “Mengangkat Citra dan Martabat Guru” termaktub sebagai berikut. Secara hokum, upaya para guru tersebut di atas dibenarkan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 35 Peraturan Pemerintah No. 38/1992 tentang tenaga Kependidikan yang berbunyi, “ Tenaga Kependidikan dapat bekerja di luar tugas pokoknya untuk memperoleh penghasilan tambahan sepanjang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas pokok.” Intinya guru juga manusia yang ingin juga naik haji seperti yang lainnya.
Perlu kiranya adanya sinkronisasi yang harmonis dalam diri seorang guru dengan letupan jargonnya dalam menyambut HUT PGRI dan HGN berbunyi sabagai berikut,
“Melalui Peringatan Hari Guru Nasional dan HUT PGRI, kita Wujudkan Revolusi Mental Melalui Penguatan Peran Strategis Guru”. Di tengah menyeruaknya idiom hebat dan bagus dari “Revolusi Mental” masih muncul sebuah berita yang kurang sinkron dengan tema di atas yakni berita kepahitan “Kemampuan Mentok, 378 Guru Tak Lulus” dar PLPG. Salah satu penyebabnya rata-rata sudah parobaya, berusia 50 tahun ke atas. Akses informasi terbatas. Baca Koran saja tidak. (Jawa Pos, 20 Nopember 2014 hal. 32 dalam Kolom Pendidikan). Semoga peristiwa yang menimpa guru-guru SD tersebut di atas dijauhkan dari Guru di Bawean, khusunya di Sangkapura dengan tetap mau membaca dan berkarya. Revolusi Mental sejatinya adalah perubahan mindset atau pola pikir bukan gerak fisik yang berselaput seragam kewibawaan sementara keropos di dalamnya yakni miskin ilmu dan pengetahuan karena keengganan dalam menghadapi tantangan kemajuan yakni malas membaca. Selamat HUT PGRI dan HGN. Arigato sensei…(Baca: Jepang Terima kasih guru)