Media Bawean, 12 April 2015
Belajar dan Berdoa Mengalami Penurunan Gairah
Oleh : Sugriyanto ( Dosen STAIHA / Guru SMAN 1 Sangkapura)
Detik-detik menjelang hajat pendidikan nasional berupa perhelatan UNAS di tingkat SMA/SMK/MA dan yang sederajat tinggal menghitung hari. Tepat pada hari Senin tanggal 13 April 2015 UNAS diselenggarakan secara serentak di seluruh Indonesia termasuk di seluruh dunia tempat kedutaan Indonesia berada. (Kebetulan saja 13 April Ultah penulis yang ke 46 tahun). Terima kasih Pak Anies Baswedan atas penetapan pelaksanaan UNAS tahun ini yang kebetulan ditepatkan dengan hari dan tanggal kelahiran penulis 46 tahun silam. Prediksi sementara dari penulis membesit dari kemunculan fenomena situasi UNAS tahun ini hampir di seluruh sekolah mengalami penurunan ketegangan psikologis. Semua pihak mulai bernapas lega setelah pemerintah melalui kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah berlapang dada dengan
tidak menjadikan UNAS sebagai panglima penentu kelulusan. Lagi-lagi, dalih pemerintah adalah untuk pemetaan semata. Sebagai konsekuensi logis yang akan diterima pihak sekolah bila nilai UNAS-nya rata-rata jeblok atau terjun bebas, maka pemerintah harus dan wajib memberikan perhatian berlebih. Sebagai kompensasi, baik dari sisi pemenuhun kelengkapan sarana dan prasarana penunjang pendidikan maupun peningkatan mutu tenaga pendidik bagi sekolah yang nilai rerata UNAS-nya rendah harus tetap menjadi skala prioritasnya. Jika tidak, maka pemerintah hanya berjibul belaka. (jibul bersinonim dengan kata dongeng).
Derap irama kemajuan mutu pendidikan di setiap daerah masih terdapat ngarai yang menganga lebar sebagai bentuk disparitas dalam pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana penunjang kemajuan pendidikan. Kadang orang atas ( pejabat teras, selevel dirjen. red) hanya tahu laporan dari bawah lewat kanwil dan kandep serta tak mau repot untuk melakukan uji petik atau blusukan ke akar rumput di seluruh pelosok nusantara. Sementara gaji dan tunjangan minta penuh bahkan mendapatkan remunerasi sebagai wujud keseriusan pemerintah dalam pertanggung jawaban yang berat dari tugas yang diembannya. Ujug-ujugnya kalau terdapat persoalan pengadaan sarana dan prasarana yang notabene belum sampai ke akar rumput aturan serta juklak dan juknisnya, orang atas menerjunkan Banwas. Ini drama komedi yang sangat tidak melucukan. Ketakutan hingga menyebabkan kepala-kepala sekolah di daerah nunjauh dari pemerintahan pusat mengalami paranoid untuk penyerapan dana pendidikan secara tuntas. Mereka terlalu memercayakan saja kepada kanwil dan kandepnya saja. Coba sesekali dirjen pendidikan dan kebudayaan datang ke daerah terpencil (daerah khusus di antaranya di Jawa Timur Sumenep dan Pulau Bawean di Kabupaten Gresik) akan benar-benar “ma’rifat” dengan kondisi riil yang memang butuh perhatian serius dan berlebih. Bila perlu dan memungkinkan tidaklah berdosa Pak Menteri untuk turun ke daerah terutama daerah terpencil seperti Pulau Bawean di Kabupaten Gresik. Selain itu, akan menjadi ajang “jumpa kangen” bersama dengan segenap insan pendidik dan anak didik di daerah. Unas akan benar-benar menjadi barometer atau tolok ukur dalam pemetaan yang gaungnya sudah meluap-luap baik di media elektronik maupun media sosial lainnya. Jangan sampai habis UNAS habis pula ceritanya. Taber Kak Bes! (kedua fonem {e} pada jargon Taber Kak Bes dibaca pepet seperti fonem {e} pada kata bekas. Sebagai cloteh latahnya orang-orang Sangkapura Bawean pada umumnya.
Unas tahun ini menjadi “angin surga” bagi peserta didik karena pihak sekolah diberi kewenangan dengan lebih leluasa dan dipercaya untuk menentukan kelulusan. Ini sebagai bentuk ijtihad pemerintah menuju jalan yang lurus dan benar-benar lagi diridai-Nya. Pemerintah benar-benar tidak memasung demokrasi dalam dunia pendidikan. Boleh ketat tanpa harus ada pihak yang berbuat nekat. Walau demikian jangan sampai angin segar ini melenakan peserta didik dan pihak sekolah sebagai pelaksana evaluasi tentang keberhasilan peserta didik. Hal ini senada denan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas yang mengamanatkan bahwa yang berhak menyelenggarakan penilaian adalah pertama guru, kedua sekolah atau madrasah, serta pihak ketiga adalah pemerintah. Sedikit unik dan menarik dari ketiga istilah yang dipakai dalam kegiatan evaluasi. Saat guru memberikan tes kepada anak didik bunyinya adalah ulangan. Saat sekolah atau Madratsah yang melaksanakan tes masih tetap memakai istilah ulangan. Namun, saat pemerintah menyelenggarakan tes secara serentak dan menasional bunyinya berupa ujian. Apa sebenarnya esensi dari perbedaan antara istilah ulangan dan ujian? Tentu saja hal ini menjadi PR bersama agar di negeri ini tidak terjadi penyesatan istilah berkepanjangan yang selalu berubah dan berganti karena faktor prestise pemangku kekuasaan senang dengan istilah baru yang terkadang hakikatnya sama saja.
Sebagai aufklarung kepada publik bahwa pihak sekolah memang oleh pemerintah diberi kewenangan penuh untuk menentukan kelulusan namun masih ada patokan angka kelulusan minimal yang harus diperoleh oleh peserta didik sebagai standar kelulusan dari permata pelajaran. Jika tidak mencapai nilai ketuntasan minimal tersebut, peserta didik tidak akan mendapat SKHUN (Surat Keterangan Hasil Ujian Nasional) dan mengulang di tahun berikutnya. Nilai UNAS juga menjadi referensi untuk diterima dan tidaknya peserta didik masuk ke Perguruan Tinggi Negeri lewat jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Menyikapi ketergesahan pemerintah dalam menyegerakan nilai UNAS segera cepat tuntas untuk didistribusikan ke PTN-PTN di rayon masing-masing provinsi memacu kerja panitia, pengawas dan seluruh stake houlder yang berwenang yang terkait dengan UNAS bekerja secara maraton bahkan bila perlu balapan untuk segera sampai tujuan terutama Lembar Jawaban Ujian Nasional (LJUN) sampai ke pusat pemindaian (scanner). Di sinilah perlu kecermatan dan kecekatan semua pihak dalam bekerja. Boleh ngebut asal tidak benjut.
Penulis tertarik dengan statemen Anies Baswedan, kala itu masih memangku Rektor Universitas Paramadina Jakarta dalam buku berjudul “Besar Janji daripada Bukti” Kebijakan dan Praktik Pendidikan Indonesia di Era Transisi Demokrasi oleh Purwo Udiutomo, dkk, beliau mengungkapkan bahwa setiap tahun tidak kurang dari 5,6 juta anak Indonesia masuk ke sekolah dasar. Namun, setiap tahun anak yang lulus dari SMA hanya 2,3 juta. Artinya, ada sekitar 3,3 juta anak Indonesia yang tidak berhasil tamat SMA setiap tahunnya. (Purwo Udiutomo, dkk: 73: 2013). Tentu, sadar saat ini Anies Baswedan sebagai menteri Pendidikan dan Kebudayaan Dasar dan Menengah tidak akan menyia-nyiakan peluang UNAS ini sebagai langkah positif untuk meluluskan anak didik secara maksimal. Ini terbukti keluwesan beliau dalam penyelenggaraan UNAS tahun ini. Pada tahun ini, PSP (Pengawas Satuan Pendidikan) dari kalangan dosen Perguruan Tinggi yang tiap tahunnya dikirim ke setiap sekolah penyelenggara cukup duduk manis di kampus masing-masing saat UNAS 2015 berhelat. Termasuk, pihak kepolisian pun hanya ditempatkan di luar ring sekolah atau madratsah penyelenggara saat UNAS berlangsung. Ini menandakan bahwa Pak Menteri benar-benar membuat suasana Ujian dalam dunia pendidikan menjadi nyaman dan terbebas dari hegemuni ketakutan dan ketegangan yang terkesan mencekam pada masa lalu. Sehingga program wajar 12 tahun di era menteri yang muda belia dari segi usia (baru berkepala 4 ini, red ) mampu terwujud segera. Jangan sampai 3,3 juta anak setiap tahun menjadi korban pendidikan karena tidak mampu menamatkan pendidikannya hingga jenjang SMA. Ikhtiar dan tawakal sebagai resepnya buat Pak Menteri untuk menuntaskannya. Bukan menjadi utopia belaka.
Berdasarkan pantauan dan pengamatan penulis di lapangan baik via media elektronik, Koran, dan di lapangan UNAS tahun 2015 sedikit menurunkan gairah anak belajar setelah sekolah diberi kewenangan dalam penentuan kelulusan. Entah mengapa demikian? Mungkin saja mereka atau peserta didik beranggapan bahwa tidak mungkin sekolah tidak meluluskannya. Bila hal itu terjadi maka pihak sekolah akan kehilangan reputasi dan nilai jualnya ke publik. Masyarakat terkadang hanya tahu hasilnya sedangkan prosesnya dianggap tidak penting dan perlu untuk diketahuinya. Akibatnya, kasak-kusuk atas adanya peserta didik yang tidak lulus UNAS dari sekolah bersangkutan menjadi bumerang untuk memperoleh peserta didik baru di tahun berikutnya. Bahkan, guru akan menjadi serbuan amuk maksa dari pihak-pihak yang merasa kecewa dan sakit hati setelah anak didiknya dipencundangi lewat penentuan ketidak lulusannya. Sekalipun prosedur dan tahapan penentuan kelulusan sudah sesuai standard nasional pendidikan yang diterapkan oleh penyelenggara pendidikan di satuan pendidikan. Lagi-lagi dalihnya anak sudah bayar, beli bermacam buku menuju sukses UNAS, ikut pendalaman materi bahkan melaksanakan istigatsah sugra dan kubra di sekolah masing-masing. Tahun ini sedikit luapan air mata nyaris tak mengalir seperti di tahun-tahun sebelumnya saat istigatsah berlangsung khusuk, hidmat dan penuh bersahaja. Kala itu air mata berderai melimpah sebagai wujud pertaubatan dan gettolnya doa pengharapan kepada Sang Penentu takdir manusia.
Di tahun-tahun sebelumnya (sebelum 2015) hampir setip lapangan sekolah di seluruh Nusantara terutama sekolah yang mayoritas peserta didiknya muslim dijubeli oleh peserta didik dan guru bahkan wali murid turut menyertainya dengan mendatangkan kyai untuk memimpin istigatsah. Kini, tangis dan pertaubatan sesaat menjelang UNAS yang membasahi sajadah yang terhampar di arel lapangan sekolah di malam hari mulai terlihat adanya tanda-tanda penurunan semangat. Sesenggukan dan permohonan kepada Sang Penentu nasib manusia yakni Allah SWT. mulai merendah tensinya. Semula peserta didik menggebu-gebbu belajar dan berdoa saat menjelang pelaksanaan UNAS di tahun-tahun yang lalu sudah mulai ciut nyalinya saat ini. Melihat kenyataan demikian di penjuru Nusantara saat ini dalam girah beristigatsah sudah kehilangan gairah. Sungguh hal ini menjadi kegawatan spiritual bagi peserta didik setelah UNAS tidak menjadi penentu kelulusan. Tuhan ternyata seolah-olah dijadikan “gombal” sebagai butuh-butuh (Red, Bawean : bhuto-bhuto) saja. Berdoa hanya ada maunya. Padahal, doa adalah senjata terampuh bagi kita semua. Wahai Tuhan, tetap berilah kesuksesan kepada mereka dalam rida-Nya. Amin…!