Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Kegundulan Akibat Keulatan

Kegundulan Akibat Keulatan

Posted by Media Bawean on Minggu, 07 Februari 2016



Oleh : Sugriyanto (Guru SMAN 1 Sangkapura) 
Persalinan musim dari kemarau ke musim hujan tahun ini (2016) memicu kejadian aneh di SMAN 1 Sangkapura. Tidak biasanya dalam seumur-umur ulat masuk sekolah , baru tahun ini segerombolan ulat merah dan hijau tanpa buluh telah mengambil alih kekuasaan ekosistem di SMAN 1 Sangkapura dengan mengupas tuntas dedaunan dari pohon angsana (red: Pterocarpus indicus-Jawa: Sono). Sedangkan daun pohon-pohon lain yang menjadi nabati tetangganya tak dimakannya bahkan dilewatinya hingga ke pohon angsana di pagar luar sekolah. Peristiwa sedikit ganjil ini banyak menyedot perhatian. Terutama pihak sekolah untuk segera mengantisipasi persebaran dan akibat buruk yang akan ditimbulkan kelaknya.

Ulat berwarna merah dan hijau itu kompak melakukan gerakan sikat habis daun pohon angsana tanpa memiliki rasa prikedaunan. Semula wajah lingkungan SMA Negeri 1 Sangkapura tampak hijau ranum dengan penuh kerindangan berubah sedikit tampak meranggas seperempat bagian laksana terkena simburan abu panas dari gunung vulkanis. Kini, yang nampak dan terlihat laksana lukisan abstrak dari alam tentang daun-daun yang kehilangan kelengkapannya sebagai daun. Tiupan angin yang tak sepoi lagi tetap membuat daun berkibar bersama dahan yang mulai merapuh seiring perjalanan petualangan para komunitas ulat penuh nafsu keserakahan itu. Entah dari mana asal-usul ulat yang sangat menggelikan baik dari rupa dan gerakannya itu.

Melalui penuturan guru matapelajaran Biologi yakni Bapak Suwandi, S.Pd. M.Pd. bahwa peristiwa keluar-biasaan ini akibat terganggunya rantai makanan dalam sebuah ekosistem. Akibatnya, ekosistem yang ada berjalan tidak seimbang. Antara konsumen (burung atau manok) pemakan ulat dengan sumber makannnya (ulat) jauh tidak berimbang. Jumlah manok atau burung pemakan ulat lebih sedikit. Hal ini disebabkan banyaknya perburuan liar lewat penjaringan (red: bukan seleksi) melainkan penangkapan dengan menggunakan penjerat berupa jaring yang dipasang dilintasan terbang mereka. Terkadang juga diburu dengan soft gun tanpa dukumen resmi itu.” Tegasnya.

Akibat membludaknya dengan serta-merta ini, jumlah kedua jenis ulat yang bertengger di dahan, ranting, dan daun pohon angsana menghasilkan kotoran ulat dengan ketebalan lebih sepuluh centi meter. Penumpukan ini merupakan hasil akumulasi di bawah pohon yang daunnya menjadi kesukaannya. Kekhawatiran ini dirasakan oleh salah seorang karyawan sekolah yang setiap harinya harus mengerok ban sepeda motornya dari lekatan kotoran ulat yang teradon bersama air hujan itu. Lembek dan tebal itu yang dirasakannya setelah berlalu di bawah areal pohon angsana tersebut beberapa waktu lalu. Tak terkecuali sol sepatu siswa pun yang berlalu lalang di lokasi kejatuhannya menyebabkan langkah berjalannya para siswa pun menjadi berat melangkah dan tertatih-tatih (red: tergehek-gehek) akibat menempelnya tinja ulat yang terus berjalan perkelan-perkelan itu. Sungguh ulat itu ter…la…lu…!

Sesekali kejadian unik dialami siswi di dalam ruang salah satu kelas –yang kelasnya tak jauh dari pohon-pohon angsana- mengalami teriakan histeris hampir memekakkan telinga yang mendengarnya. Teriakan melengking dan teramat nyaring itu dipicu oleh menalarnya seekor ulat di celana olah raga salah seorang siswi saat duduk di bangku kelasnya. Ia benar-benar ulat fobia. Jeritan berdurasi menitan dan panjang itu membikin pegawai dan karyawan di ruang kantor SMA Negeri 1 Sangkapura bergegas menengoknya untuk memastikan apa yang telah terjadi. Tak ayal lagi, dengan sigap dan gerak cepat salah seorang guru menuju sumber bunyi aneh berupa jeritan itu. Semula dianggap adanya salah seorang siswi yang kesurupan. Ternyata, seekor ulat tanpa buluh berwarna merah merayap laksana “mengkelani” celana olah raga di sekitar betisnya. Teman sekelasnya yang lain tidak ada yang berani menyingkirkan pergerakan ulat tersebut. Ulat melekat dan terus bergerak. Temannya yang lain justru menimpali dengan teriakan yang frekwensi serta kekuatannya relatif sama. Gaduhlah ruang kelas tersebut. Atas keberanian seorang guru dengan jiwa yang cukup “kendel” (red : Bawean-Bengalan) terhadap ulat lansung melucuti makhluk pemicu rasa geli itu dari celana olah raga siswi tersebut. Masih banyak kejadian di luar dugaan yang amat meresahkan.

Petugas sekolah mencoba melakukan pembakaran massal di sekitar lokasi menalarnya puluhan bahkan ratusan ulat terutama di selokan antarkelas. Usaha itu masih belum mampu mengatasi karena mereka pun punya semboyan “dibakar sepuluh jatuh seribu.” Bahkan, salah seorang guru agama Bapak Drs. Moh.Basri, M.Pdi. melarangnya cara-cara pembakaran. Hal itu dianggap terlau sadis dan dianggap mengabaikan adat ketimuran. Cara yang lebih sedikit dianggap punya hati walau sama-sama mematikan cukup disemprot dengan bahan pembasmi ulat. Solusi sebagai jalan tengah dan minim risiko segera diadakan langkah cepat dan bijaksana yakni melakukan tebang pilih. Hanya ranting dan dahannya saja yang ditebang. Pokok pohon tetap diselamatkan hingga muncul lengor yang akan tumbuh dan bersemi kembali. Pihak sekolah mendatangkan ahli sinso dengan tiga pekerja out soursing selama kurang lebih tiga hari untuk menuntaskan atau membereskan persoalan tersebut. Pohon-pohon yang ditebang hanya yang dihinggapi dan dimakan ulat saja. Sedangkan pohon lain sebagai pohon kenaungan tetap dibiarkan tumbuh.

Usaha sekolah ke depan akan meninjau kembali penghijauan berikutnya melalui seleksi dan pertimbangan ketat pohon apa yang kebal untuk tidak dimakan ulat jenis apapun. Penulis teringat dengan untaian sebait pantun yang kerap kali dipakai dalam pergaulan muda-mudi warga Pulau Bawean tatkala berjanji untuk datang pada sang kekasihnya.

Angsana kaju angsana Mera-mera peccana gelles Kassana bule kassana Kera-kera pokol dubeles Terjemah bebas: Angsana pohon angsana Merah-merah pecahnya gelas Ke sana saya mau ke sana Kira-kira jam dua belas

Bila dicermati pada baris-baris dan bait pantun tersebut terdapat angka dua belas sebagai angka peringatan atau warning dalam tendangan pinalti. Ulat pun tahu bahwa manusia tidak sepatutnya melakukan penjaringan atau tembakan pinalti terhadap burung-burung alam yang terlibat dalam penyeimbang ekosistem. Kabar ini pun bukan sekadar kabar burung belaka melainkan sebuah realita sebagai bahan kajian dan renungan bersama. Meminjam larik-larik bait lagu Kak Rhoma :

Wahai burung duta suara Terbangkan lagu untuknya Tentang cinta Agar merasakan getarannya jiwa (Lanjukan!)

Nah, dari judul diatas terkuak sudah bahwa manusia bisa kesemutan berarti lebat pun bisa mengalami kegundulan karena keulatan.

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean