Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » KHOTIB BARU: Semoga dan Mudah-mudahan

KHOTIB BARU: Semoga dan Mudah-mudahan

Posted by Media Bawean on Kamis, 14 Juli 2016


Oleh : SUGRIYANTO (Guru SMA Negeri 1 Sangkapura)

Mantan presiden Soeharto pernah dicerca wartawan dengan bertubi-tubi pertanyaan terhadap gaya orasinya yang selalu terpancang pada teks atau naskah. Kerumunan wartawan baik luar maupun dalam negeri dalam konferensi persnya menyoal tentang hal spele tetapi cukup menuai perhatian publik. Mantan presiden yang terkenal kalem, tenang, serta senyum khas yang dimikinya membikin para kuli tinta itu semakin dibuat penasaran. Ditambah sedikit bumbu tawa ringan dari Pak Harto yang mampu menggelanyutkan perasaan orang dekatnya harus paham dengan gesture senyumnya yang penuh karisma dan makna itu. Para wartawan sempat melontarkan pertanyaan nyeleneh dan sedikit boleh dikatakan berani di hadapan seorang presiden kala itu. Salah seorang wartawan nekat melontarkan pertanyaan yang sifatnya amat pribadi terkait dengan kebiasaan presiden berpidato dengan selalu memakai naskah atau teks. Atas desakan para wartawan bengal itu presiden akhirnya buka mulut dengan memberikan jawaban yang cukup diplomatis, ”Saya berpidato di depan publik atau di layar kaca sengaja menggunaken naskah atau teks karena yang mendengarken pidato saya bukan sekadar wartawan dan orang terpelajar semata,melainkan mulai buru,petani, nelayan, pedagang hingga berbagai macam kalangan turut mendengarnya, jika pidato saya salah siapa yang akan bertanggung jawab?” Para wartawan semangkin tercengang dan menaruh hormat dengan presiden yang penuh dengan kehati-hatian itu.

Pada kesempatan lain para wartawan menyaksikan siaran langsung di stasiun televisi pada salah satu acara kelompencapir dengan menghadirkan seorang presiden sebagai pewawancara sekaligus sebagai pembiana atau Bapak Angkat istilah dulunya. Apa yang terjadi dengan diri seorang Presiden Soeharto yang sering dikatakan selalu terpancang pada naskah? Sama sekali beliau tidak menggunakan naskah dalam menggali informasi dari para buru, petani, nelayan, dan para perajin lainnya. Dalam suasana santai berpidato dan bercakap-cakap beliau sangat menguasai terhadap permasalahan yang dihadapi rakyatnya. Tak ada kegagapan atau kegamangan dalam berbincang dengan rakyat walau sama-sama ditayangkan oleh siaran televisi secara langsung. Ini menandakan seorang presiden yang mampu menempatkan diri dalam berbahasa secara pragmatis: kapan, di mana, dengan siapa, menggunakan media apa, serta apa materinya. Apalagi orang-orang di sekeliling beliau adalah para pakar kawakan yang tidak perlu diragukan lagi kemahirannya dalam berbagai bidang disiplin ilmunya. Dengan kata lain, presiden telah mampu mengkoordinasikan para pakar dengan memanage sedemikian rupa sebagai potensi yang mampu menambah khazanah pengetahuannya. Baik secara pribadi maupun dalam kedinasannya sebagai sosok presiden yang bersahaja.

Sebaliknya, fenomena yang terjadi saat ini para khotib baru di masjid, terutama di masjid tingkat dusun atau desa kurang memahami atau belum membaca teknik-teknik berpidato yang tepat di atas mimbar. Padahal anak-anak di sekolah tingkat lanjutan sudah dicekoki dengan macam-macam teknik berpidato. Artinya, anak terpelajar dilarang keras atau jangan sampai punya anggapan bila khotib di mimbar itu berkhotbah dengan teknik naskah dianggap bodoh. Anak terpelajar sudah mahfum dan tidak akan pernah menganggap khotib itu bodoh melainkan memang teknik yang paling cocok bila berkhotbah di mimbar terutama dalam salat Jumat adalah teknik naskah.
Sebenarnya ada 4 (empat) teknik berpidato: 1. Teknik serta-merta (impromptu);
2. Teknik menghafal;
3. Teknik Naskah; dan
4. Teknik ekstemporan (persiapan catatan atau kerpekan kecil).
Dari keempat teknik berpidato yang paling ideal digunakan saat Khotbah Jumat adalah teknik naskah. Mungkin saja khotib baru keluaran pondok pesantren, belum sempat terbaca dengan teknik itu merasa ada anggapan dalam dirinya jika pakai naskah dianggap bodoh atau ilmu agamanya dangkal oleh orang-orang dusun atau desa sebagai jamaah di masjid tersebut. Apalagi gerakan urban itu sudah menyelubungi seluruh lapisan masyarakat. Khotib-khotib baru jangan kerdil dalam pola pikir, kemajuan pendidikan bukan dominasi warga perkotaan semata. Anak-anak dusun pun saat ini tertendah berpendidikan sekolah lanjutan yang juga punya banyak pengalaman. Segera ubah mind set para khotib-khoib baru yang alergi dengan teks atau naskah khotbahnya.

Sedikit perlu dibuka lembaran lama perjalanan para khotib sepuh dengan segala ketinggian ilmunya tetap tak pernah lepas dari teks atau naskah khotbahnya. Perhatikan K.H. R. Abdurrahman (almarhum) Dusun Dayabata, K.R. Hamim (almarhum) Dusun Kebundaya, K.Umar (almarhum) Dusun Kebundaya ,dan K.H. Hazin Zainuddin tidak pernah lepas naskah bila di atas mimbar sedang menjadi khotbah salat Jumat. Adil sekali tatanannya, para kiainya dari Desa Sawahmulya sedang masjidnya ada di Desa Kotakusuma berlangsung lancar dan bersahaja. Kiai muda mau naik mimbar tunggu dulu. Belajarlah pada cara ulama sepuh dalam menyampaikan khotbah bila perlu beli buku khotbah di pasaran sebagai panduan agar apa yang dibicarakan pada kesempatan Jumat itu serba tepat baik dari sisi materi khotbah dan waktu yang memadai. Dengan demikian, apa-apa yang hendak disampaikan itu terkonsep dengan baik karena dalam khotbah nada yang diperlukan itu datar penuh kesejukan bukan berapi-api layaknya orator di podium tempat umum. Perlu diketahui pula bahwa masjid itu umum sifatnya. Banyak orang luar yang terkadang turut berjamaah salat Jumat dalam suntuknya perjalanan. Dengan kata lain, isi para jamaah masjid itu bisa berbagai kalangan. Belum lagi dari sisi tata kalimat dan bahasa yang kadang geli untuk didengarnya. Bagaimana jamaah bisa tenang untuk melakukan salat Jumat sedang khotibnya amat kocak dan karut- marut dalam penataan tata kalimat bahasanya. Kadang bahasanya mbulet, muter-muter tanpa ujung pankal dan kesimplan yang berarti.

Herannya lagi, di Pulau Bawean –yang penduduknya 100 % muslim khotbah Jumatnya tetap senyap tak keluar dari pelantang suara. Sungguh aneh dan amat janggal nampaknya bila di Pulau yang tingkat religinya homogen yakni Islam semata harus ikut aturan masjid-masjid kota besar yang berdampingan dengan tempat ibadah agama dan kepercayaan lain. Orang Malaju bilang ”Tak payahlah ikut-ikutan aturan kota besar segala..” Khotbah Jumat jadi senyap hampir tidak terdengar suara siarnya gara-gara kekerdilan pola pikir dalam merespons sebuah aturan tanpa kebijakan. Sedangkan di daratan Gresik saja yang majemuk pemeluk agama dan kepercayaan masih banyak yang menyaringkan suara khotbah Jumatnya ke segala antero lewat pelantang suara atau corong masjid. Sayang sungguh sayang bila hal ini menjadi pengekang umat Islam dalam mengekspresikan gema siarnya. Ibu-ibu di rumah yang tengah ’abhettek’ ( Indonesia: memasak persiapan buat suami) juga ingin mendengarkan isi khotbah Jumat . Kelantangan itu tidak akan mengganggu masjid lain karena jarak sudah sangat berjauhan. Ini menjadi PeEr MUI atau lembaga berwenang di tingkat kecamatan untuk meluruskan kembali tentang penggunaan pelantang suara Khotbah Jumat khususnya untuk daerah Pulau Bawean. Kalau untuk kota metropolis atau kota besar yang rapat berdampingan dengan tempat ibadah pemeluk agama dan kepercayaan lain boleh jadi aturan itu diterapkan atau diberlakukan. Bila demikian realitanya maka umat Islam Indonesia yang mayoritas ke depan akan menjelma menjadi muslim paranoid di bawah hegemuni minoritas. Lihat saja kelak!

Lebih fatal lagi tatkala ayat Al Qur’an yang disampaikan keliru tidak sesuai dengan tema khotbahnya bahkan lupa ditengah-tengah panjangnya ayat. Untung saja hadir istilah ”al ayat” sebagai taming atau perisainya.Termasuk penyampaian sebuah hadits atau makolah itu harus jelas. Ini menjadi bahan renungan bagi para takmir masjid di mana pun agar mempertimbangkan kembali para khotib baru untuk tampil di mimbar dalam jamaah salat Jumat agar tetap berhati-hati dengan tetap mengunakan naskah. Bahkan di atas mimbar oleh takmir masjid sudah disediakan buku atau kitab khotbah lengkap. Buanglah jauh-jauh perasaan atau anggapan bahwa khotib baru pakai naskah atau teks adalah khotib bodoh. Kedalaman ilmu seseorang tidak dapat diukur sekadar pakai dan tidak pakai teks atau naskah dalam khotbahnya. Untuk berceramah atau berpidato di alun-alun atau acara umum lainnya silakan saja pilih metode pidato yang cocok. Semoga dan mudah-mudahan (ini sudah berlebihan bahasa pondokan yang nalar dari lisan ke liasan) para khotib baru tetap menjaga kehati-hatian dengan tetap berpegang pada naskah ketika berkhotbah. Termasuk kiyai setengan sepuh yang masih enggan pakai teks atau naskah, pakai sajalah agar lebih mantab. Tidak perlu gengsi atau malu-malu karena jamaah pun paham bahwa khotib Jumat pakai naskah atau buku khotbah adalah sebuah metode atau teknik yang tepat bukan karena bodoh. ”Pakai naskah saja wahai Pak Khotib agar selamat…!” Cuit kalakarnya.

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean