Hamim Farhan, dosen Universitas Muhammadiyah Gresik (UMG) mempunyai konsep untuk pengembangan pariwisata di Pulau Bawean.
Berawal dari pemikirannya bahwa pengembangan pariwisata berbasis perdesaan dan kearifan lokal menjadi urgen pembangunan daerah. Karena pengembangan pariwisata Indonesia hendaknya tidak terlepas dari arah pengembangan kebudayaan nasional Indonesia. Dengan kata lain, dalam kebudayaan nasional itulah hendaknya terletak landasan bagi kebijakan pengembangan pariwisata.
Menurutnya paradigma pembangunan itu sendiri di banyak negara kini lebih menekankan kepada pengembangan sektor jasa dan industri, termasuk di dalamnya adalah industri pariwisata. Karena dengan pengembangan ini diharapkan dapat menggantikan sektor migas yang selama ini masih dianggap menjadi primadona dalam penerimaan devisa negara
"Pengembangan pariwisata yang berbasis perdesaan dan kearifan lokal di Pulau Bawean yang digagas ini nanti hendaknya merupakan upaya menawarkan daya tarik wisata yang sekaligus sebagai wujud konservasi, pelestarian sumberdaya alam, pengembangan sumber daya manusia, pengembangan nilai agama dan nilai budaya lokal, dan sekaligus mengurangi tingginya urbanisasi dengan menigkatkan kemandirian masyarakat untuk membangun desanya salah satunya adalah dengan potensi desa wisata,"terangnya.
Apalagi separuh dari warga Bawean ini menjadi perantau (urban) di Singapura, Malaysia dan kota lainnya.
"Pariwisata berbasis perdesaan dan kearifan lokal (Konsep Desa Wisata) yang hendak kita usung hakekatnya adalah melindungi budaya lokal- budaya religi yang merupakan unsur penting dalam konsep masyarakat yang sejahtera dan merupakan suatu yang diidamkan. Sehingga bagaimana menyelenggarakan, memberikan kesempatan dan tempat untuk melestarikan, melindungi (konservasi), melahirkan, menyalurkan dan menyebarkan nilai budaya dan nilai agama itu menjadi sangat penting sebagai dasar membangunan,"paparnya.
"Atau dengan kata lain untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman penyelenggaraan pariwisata budaya yang berkelanjutan dengan menanamkan kerangka berpikir bahwa pengembangan pariwisata budaya (berbasis perdesaan dan kearifan lokal) ini tidak semata-mata untuk meningkatkan lapangan kerja, kesempatan usaha serta perolehan devisa saja. Akan tetapi ada yang lebih penting lagi, yaitu mewujutkan pengetahuan dan pemahaman terhadap aspek multikultural yang dapat memperkuat ketahanan dan kesatuan bangsa (mendukung NKRI). Apalagi akhir-akhir ini ada gejala yang cenderung menuju upaya dis-integrasi bangsa yang mengancam NKRI,"jelasnya.
Lebih lanjut Farham Hamim menyatakan ada argumen ilmiah bahwa Pulau Bawean adalah wujud dari Benua Atlantis yang melegenda dari sebelas ribu tahun silam yang diabadikan dalam cerita Filsuf Yunani, Plato dalam Timaeus and Critias, meski perlu kajian dan penelitian mendalam.Dari hasil penelitian selama lima tahun yang dilakukan oleh Dhani Irwanto, dalam argumen ilmiahnya yang ditulis dalam buku Atlantis: The Lost City is in Java. Berdasarkan temuannya di lapangan; menggunakan pendekatan gambar geografi, iklim, tata letak dataran dan kota, hidrolika sungai, dan saluran, hasil bumi, struktur sosial, adat istiadat, mitologi, dan kehancurannya terperinci, termasuk dimensi dan orientasinya, peneliti berkeyakinan Atlantis berada di Indonesia.
Mengutip kisah Plato yang menyebutkan bahwa Atlantis adalah dataran rata dan halus, serta turus menuju laut. Dataran yang dikelilingi pegunungan yang indah besar dan kecil, yang digambarkan Plato seperti pegunungan Muller Schwaner dan Meratus. Pulau yang menghadap ke selatan dan telindungi di sebelah utara, berbentuk persegi dan lonjong sepanjang 555 kilometer dan lebar 370 kilometer, yang memiliki tanah subur, rakyat makmur, banyak sungai dan banyak padang rumput. Ciri-ciri yang digambarkan oleh Plato itu mirip dengan Pulau Bawean, yaitu letaknya di Kalimantan bagian selatan, tepatnya pada kemiringan satu derajat turun dari Pulau Kalimantan hingga Laut Jawa.
Maka Pulau Bawean adalah model dari Atlantis, yang memiliki lingkungan, formasi geologi dan kegiatan tektokni yang sama. Pulau Bawean dan Pulau Atlantis diyakini terbentuk di masa Paleogen dan Neogen melalui proses tektoknik yang disebabkan oleh patahan ekstensional di Laut Jawa dan Kalimantan. Pulau Bawean terdiri dari 85 persen batuan beku, batuan berwarna putih (asam), hitam (basah), dan merah (oksida besi), yang semua itu persis yang dijelaskan Plato. "Hanya saja argumen ilmiah ini masih mendapat tantangan dari peneliti luar, mereka menganggap bahwa Benua Atlantis itu tidak mungkin di Indonesia, di samping itu para peneliti Barat alergi mengusung nama Plato, dan mereka masih mengklaim bahwa Benua Atlatik itu milik mereka,"pungkasnya. (bst)