Presiden Jokowi melakukan kunjungan kerja ke Pekalongan dan Batang Jawa Tengah selama dua hari (8/1). Diantara agendanya adalah menghadiri peringatan Maulid Nabi SAW di gedung Kanzus Shalawat di bawah asuhan Habib Luthfi bin Yahya. Habib Luthfi adalah Rais ‘Am asosiasi jam’iyah thariqah di bawah naungan Nahdlatul Ulama.
Ada 2 hal menarik saat peringatan maulid ini. Pertama, acara dimulai dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dan pembacaan Pancasila. Ihwal menyanyikan lagu kebangsaan, itu sudah lazim. Tetapi membaca teks pancasila adalah hal yang baru. Ini penting karena semakin banyaknya rakyat Indonesia yang lebih bangga dengan jargon sektarian dari pada pancasila yang mempersatukan. Kedua, selama satu hari penuh, Jokowi menggunakan sarung, songkok hitam dan jas. Artinya, pasca dari acara Maulid Nabi, Jokowi tetap menggunakan pakaian santri tersebut dalam kunjungannya diberbagai tempat.
Bukan kali ini saja Presiden Jokowi memakai pakaian santri ini. Dalam beberapa acara yang digelar NU, ia juga memakainya. Pilihan sarung tentu bakan tanpa alasan. Hemat saya ada 3 alasan yang mendasarinya: pertama: Presiden ingin menghormati kaum nahdliyin. Dengan memakai pakaian yang sama akan terjalin kepercayaan dan rasa persahabatan yang erat. Ini adalah bagian dari menghargai budaya nasional. karena bersarung adalah budaya nusantara. Kedua adalah Presiden Jokowi sangat bangga dengan NU. Jokowi paham bahwa NU adalah jangkar kokohnya pancasila dan NKRI. Ia tidak ragu sedikitpun tentang kesetiaan warga nahdliyin terhadap pondasi bangsa ini. Ketika akhir-akhir ini angin radikalisme berhembus, NU dengan gagah berani menghadangnya. Ketika berita hoax membanjiri, maka komunitas anak-anak muda NU mengimbanginya dengan gerakan menolak hoax. Berita hoax adalah alat ampuh para petualang islam radikal. Alasan ketiga adalah Jokowi ingin menghidupkan perekonomian lokal utamanya di kantong-kantong NU. Dengan sering memakai sarung maka orang akan bertanya, apa mereknya, berapa harganya, di mana belinya dan seterusnya. Selanjutnya sarung tersebut segera akan diburu orang. Sama ketika Jokowi mempopulerkan baju kotak-kotak.
Sarung adalah budaya khas nusantara. Kata nusantara bermakna Indonesia dan negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Umat muslim di kawasan ini menjadikan sarung sebagai pakaian keseharian. Sarung memang memiliki banyak kelebihan. Ia bisa berfungsi sebagai selimut, celana longgar, tali ikat, tempat makanan dan seterusnya. Berbeda dengan orang Mesir yang hanya memakai sarung ketika akan tidur. Sarung itu elastis, praktis dan demokratis.
Dalam kacamata santri, memakai sarung adalah simbol dari beragama. Kata sarungan berasal dari kata syar’an yang bermakna syari’at islam. Jadi, orang yang bersarung diharapkan hidupnya tidal lepas dari tuntunan syari’at Allah. Para ulama tempo dulu sering berdakwah dengan memakai simbol-simbol. Contoh lain adalah: kopyah dari kata khufyah yang bermakna tersembunyi. Artinya orang yang alim harus rendah hati dan tidak boleh angkuh. Ia harus mengamalkan ilmunya dengan tidak menonjolkan ketinggian ilmunya. Karena sesungguhnya ilmu adalah alat, bukan tujuan. Baju koko berasal dari kata taqwa. Sandal kayu bakiak konon berasal dari kata baqa’ dan yaqin. Orang yang memakai sandal bakiak berarti harus yakin dengan agama islam.
Waba’du. Kebiasaan Presiden Jokowi yang memakai sarung adalah hal positif. Bukan hanya soal sarung saja, Presiden ke 7 ini juga gemar mengunjungi pasar dan pusat-pusat perbelanjaan. Langkah ini membawa dampak positif bagi perekonomian. Hadirnya pemimpin di sebuah komunitas akan menggairahkan dan menghilangkan jarak.
Ali Asyhar, Ketua STAIHA dan Wakil Ketua PCNU