Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Keberanian itu Bernama Cuk Sugrito

Keberanian itu Bernama Cuk Sugrito

Posted by Media Bawean on Jumat, 31 Maret 2017


Tulisan Baharuddin Hamim

Tahun 1965 adalah tahun yang gawat. Situasi politik sangat tinggi. Partai Komunis Indonesia (PKI) sedang nenyusun kekuatan untuk mengambil alih kekuasaan. PKI mengusulkan adanya angkatan ke 5 selain AD, AU, AL dan POLRI. Angkatan ke 5 itu adalah buruh tani yang harus dipersenjatai. Dengan Barisan Buruh Tani nya itu kekuatan PKI tidak bisa dianggap remeh. Suhu politik menjadi panas.

Nahdlatul Ulama (NU) dengan Badan Otonomnya sama sekali tidak ciut menghadapi manuver PKI. Gerakan Pemuda Ansor dengan Group Drumban nya seakan telah menabuh "gendrang perang" untuk menyambut musuh. Hampir setiap pengurus ranting NU setidaknya di Surabaya -- juga di Bawean -- mempunyai grup musik tersebut.

Rumah Husaini Tiway, pengurus Cabang NU Surabaya disebelah Selatan kantor DPRD Kota Surabaya, dekat jembatan (kini menjadi taman kota) dijadikan markas Ansor untuk latihan drumband. Ketika ada sekelompok orang yang sinis kepada group musik tersebut, pemuda Cuk Sugrito tampil dan mengajak duel mereka. Mereka ngacir.

Tahun 70 an. Situasi politik masih tinggi. Bangsa Indonesia punya hajat mengadakan pesta demokrasi. NU adalah salah satu partai politik peserta Pemilu. Pada saat itu penyiksaan sangat luar biasa bagi warga NU yang tidak mau bergabung dengan partai pemerintah. Sebagian besar pengurus NU melakukan tiarap dan berkampanye secara sembunyi-sembunyi. Pak Cuk Sugrito adalah bagian kecil yang tidak ikut tiarap, padahal almarhum adalah seorang pegawai negeri yang terkena aturan monoloyalitas.

Pada periode berikutnya pada saat menjelang pemilu pak Cuk pernah dipanggil oleh pak Amiseno Bupati Kepala Daerah Kabupaten Gresik bertempat di Pendopo Kawedanan Bawean, rumah dinas dan kantor wedana. Pak Bupati mencoba untuk mencuci otak pak Cuk agar dia loyal kepada pemerintah.

Bahkan Bupati mengatakan dia pernah bertugas di Situbondo suatu daerah yang sangat keras. Bupati yang datang dari militer itu rupanya mau nenggertak pak Cuk.

Takutkah pak Cuk?. Ternyata tidak. Ketika diberi kesempatan bicara justru dia berkata : "Pak Bupati, ayah kandung saya berasal dari Panarukan (salah satu kecamatan di Situbondo). Dan saya selalu nongkrong di jembatan dekat pasir putih (jembatan itu tempat nongkrongnya anak2 keras). Kalimat itu dia keluarkan sebagai sinyal bahw dia sama sekali tidak takut atas ancaman itu.

Di era Orba pada tahun 80 an terjadi pembunuhuan misterius. Yaitu suatu pembunuhan yang dilakukan pada malam hari dan tidak jelas pembunuhnya. Tiba2 korban sudah neringkuk tidak bernyawa didalam karung digeletakkan di tepi jalan. Sasarannya adalah preman dan tukang sihir. Tapi tidak sedikit juga yang mengarah kepada lawan politk mereka. Di Bawean, pak Cuk adalah salah satu sasaran yang akan di misteriuskan. Pak Cuk adalah ketua Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (LESBUMI) suatu badan otonom dibawah NU.

Takutkah pak Cuk?. Ternyata tidak. "Saya tdk pernah mengunci pintu rumah. Ditempat tidur saya ada golok. Jika mereka datang hanya ada dua pilihan siapa yang mati duluan: saya atau mereka" katanya pada saya saat itu. Dulu, madrasah ibtidaiyah dilingkungan NU bernama Madrash Ibtidaiyah Nahdlatul Ulama (MINU). Jumlahnya 64 madrasah Hawatir terkena imbas politik, namanya diganti menjadi Madrasah Ibtidaiyah Maarif disingkat MIM. Sudah begitu, Departemen Agama belum saja mengakui eksistensi MIM. Pejabat kantor Departemen Agama itu masih saja menyebut MIS singkatan dari Madrasah Suasta. Di suatu waktu, pak Cuk --dalam kapasitasnya sebagai ketua Lembaga Pendidikan Maarif, menemui pak Makruf, kepala seksi Pendidikan Agama Islam dan dia sempat menggebrak meja.

Malam begitu larut. Rapat dengan agenda sengketa lokasi antara MIM Balikbakgunung dengan sejumlah pemuda pengelola lapangan sepak bola di kampung itu baru saja usai. Pak Cuk dan saya diminta untuk menjadi mediator. Lora Musawwa juga hadir. Penyelesaian berakhir dengan win win. Tapi yang menjadi masalah adalah ketika akan pulang. Listrik waktu itu belum masuk Bawean. Jalan tidak sebaik sekarang. Kanan kiri jalan masih rimbun.

Tapi yang menjadi masalah waktu itu motor merupakan barang langka. Tidak membawa senter. Bulan sama sekali tidak nampak. Gelap gulita. Takutkah Pak Cuk walau berjalan dalam gelap?. Tidak. Dia menampik permintaan warga untuk menginap. Dia dan saya pulang dengan meraba-raba.

Suatu ketika dia melakukan perjalanan ke Singapore dan Malaysia seorang diri lewat Batam. Sebelum menyebrang dia diperingatkan oleh Mamat murid beliau ketika di SMA dulu untuk tidak berpakaian ala Jamaah Tabligh. Dan buku-buku agamanya tidak dibawa hawatir di geledah dan dituduh kelompok garis keras. Apalagi rambut dan jenggotnya dibiarkan panjang. Takutkah pak Cuk?. Tidak. Dia tetap memakai baju "kebesarannya" itu. Di depan petugas imigrasi dia hanya ditanya : "Dari jamaah Tabligh ya..." "Ya.. terima kasih", kata pak Cuk.

Pak Cuk tidak takut kepada siapapun, kecuali kepada Allah dan Rasul Nya.

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean