Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Merasai Semut

Merasai Semut

Posted by Media Bawean on Jumat, 18 Mei 2018


Oleh: Sugriyanto (Pakar Bahasa dan Seni Bawean)

Angkat-mengangkat hidangan setalam atau lebih di bulan puasa ini sudah menjadi tradisi. Hidangan setalam atau lebih itu diperuntukkan para petadarus di langgar atau musallah, tak terkecuali juga untuk para petadarus di masjid. Sistem pengangkatan hidangan dilakukan secara bergilir dan suka rela yang dimulai dari urutan rumah terdekat hingga rumah terjauh dari tempat ibadah dimaksud. Momen baik ini membuat warga berlomba-lomba merebut pahala kebaikan lewat hantaran sedekah makanan yang dihidangkan. Tak ada langgar atau tempat ibadah di pulau ini yang sepi dari ritual tadarus di malam bulan puasa. Keluaran suara orang mengaji bertalu-talu menggempur dari berbagai penjuru. Corong masing-masing langgar memeliki power yang rata-rata relatif sama ambang kenyaringan PMPO-nya. Namun, menjelang pukul yang sudah disepakati bersama pelantang suara itu harus senyap.

Pada malam puasa kesekian kalinya giliran istri saya patungan bersama tetangga belakang rumah kebagian mengangkat hidangan. Satu talam besar berisi berbagai kudaban atau kue ringan dan buah yang lagi musim. Beberapa piring terbeber dengan berbagai isi makanan jajan.Di antara makanan jajan yang akan dihidangkan berupa sarang semut, koncok-koncok goreng, nangka masak, irisan semangka kuning tanpa biji, beberapa genggam kacang rebus (baca: Bawean-kacang kolop) bertangkai atau ber-"ghundhung-ghundhung" dan pentul cocok ikan tongkol berbumbu kacang tak ketinggalan pula. Setermos besar air es susu yang diadon dengan bubuk minuman suplemen menjadi pemancing selera turut tersajikan pula.

Di kala turun dari langgar usai menunaikan salat trawih, saya melihat gelagat istri beserta rekan tetangga belakang rumah sibuk menata hidangan. Bebera piring berisi jajanan dan buah sudah termuat dalam satu talam besar. Tinggal pentul cocok bumbu kacang yang masih diracik dengan cara mengulek kacang bersama rempah dan siraman kecap penyedap rasa. Aroma bumbu semakin menggiurkan setelah terlihat belepotan kacang halus menyerupai adonan mayonis atau serupa pasta gigi kecoklatan. Melihat hidangan yang sangat menggoda selera, saya sempat melontarkan keinginan kepada istri saya agar disisai dua atau tiga cocok pentul bumbu kacang pada sebuah mangkok untuk disantap tengah malam. Sepulang dari perjalanan malam, saya langsung masuk rumah menuju ruang dapur. Belum sempat melangkah menuju meja dapur, lampu penerang tiba-tiba padam. Padahal, tinggal selangkah lagi telapak kaki bagian depan sampai dekat meja makan di ruang dapur. Dalam keremangan malam atas pancaran sinar rembulan malam yang menyelinap masuk lewat cela kaca jendela dapur jemari tangan terus "menggagap" atau meraba untuk menjamah semangko pentul cocok yang disediai oleh istri. Nafsu selera untuk menyikat habis terus menggebu. Tanpa banyak pikir dan perhitungan panjang beberapa pentul cocok sudah silih berganti berlalu melewati kerongkongan dan menggelayut hingga ke ruang perut.

Rasa pedas mulai terasa di lidah saat mau menghabiskan sisa pentul secocok yang masih menantang selera. Ada perasaan ganjil terasa di pikiran yakni rasa pedas yang tidak wajar seperti bukan pedasnya lombok atau cabai pada umumnya. Secepat kilat pula saya meraih senter cargeran yang masih tercop di dinding kamar pada cabang sakelar lampu dan kipas angin. Semangkok pentul cocok berbumbu kacang adonan itu langsung disenter. Ternyata, di tengah mangkok sudah terlihat gerakan semut merah halus serupa warna bumbu kacang telah berpesta pora mendahului. Ratusan bahkan ribuan semut itu sudah bercengkrama di pentul cocok sejak habis salat trawih hingga larut malam.

Setelah diketahui pedas yang dirasakan adalah pedas semut, berarti secara tidak langsung sudah ratusan semut berlalu di lobang tenggorokan saya hingga berlabuh di lambung dan berakhir di perut. Anehnya, kenapa rasa semut itu pedas? Padahal, kata pepatah "Ada gula ada semut". Mestinya rasa semut itu manis coy. Selamat pula, hingga tulisan ini dirilis badan saya tidak kesemutan. Baru seumur-umur hidup ini saya merasai semut. Hu...! Pedasnya beda.

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean