Dakwah Islam di Pulau Bawean Kabupaten Gresik Provinsi Jawa Timur makin gencar setelah ulama besar bermunculan pada abad ke-19. Sejumlah tempat ibadah pun mulai bermunculan, seperti masjid, mushalla, atau langgar. Berdasarkan laporan statistik, jumlah masjid di Bawean saat ini mencapai 114 bangunan. Setiap desa rata-rata memiliki empat masjid.
Dalam buku Pesantren Hasan Jufri dari Masa ke Masa, Ali Asyhar membagi para ulama Bawean menjadi dua dua kategori. Mereka adalah ulama generasi hijaz dan generasi emas. Ulama generasi hijaz ratarata belajar agama ke Makkah.
Para ulama Bawean generasi Hijaz, di antaranya KH Muhammad Hasan Asy'ari al-Baweani al-Fasuruani yang lahir di Bawean sekitar 1820 M. Alim satu ini ini wafat pada 1921 M di Pasuruan. Makamnya berada di belakang Pondok Pesantren Besuk Kejayan Pasuruan.
Selanjutnya, muncul cendekiawan lain dari Desa Kebuntelukdalam, Sangkapura, Bawean, yaitu KH Mas Raji bin H Thayib. Ia lahir pada 1874 dan wafat pada 1964 di usia 90 tahun.
Pada 1885, kemudian lahirlah KH Dhofir bin KH Habib di Desa Kota kusu ma, Sangkapura, Bawean. Alim asal Bawean ini wafat dan dikuburkan di Jakarta pada 19 Agustus 1971 saat mengantar istrinya berangkat haji dari Singapura.
Ulama hijaz selanjutnya, yaitu KH Abdul Hamid Thabri. Dia lahir pada 20 September 1899 di Desa Sidogedungbatu, Sangkapura, Bawean. Komandan Hizbullah Bawean ini wafat pada 25 April 1981 dengan meninggalkan sembilan orang anak.
Pada 1913 Masehi, ulama hijaz juga lahir di Desa Daun Kecamatan Sangkapura, Bawean, yaitu KH Subhan bin KH Rawi. Setelah belasan tahun belajar di Makkah, dia mendiri kan Pondok Pesantren Darussalam di Desa Daun. Dia wafat pada 1978 Masehi.
Sementara, ulama Bawean yang masuk dalam kategori generasi emas adalah KH Abdul Hamid Satrean dari Desa Kebuntelukdalam. Kemudian, KH Fadlilah dan KH Khatib dari Desa Pekalongan, serta KH Hasan Jufri dan KH Yusuf Zuhri yang berasal dari Desa Lebak.
Desa Sukaoneng paling banyak melahirkan ulama generasi emas, yaitu KH Mohammad Amin, KH Manshur, dan KH Burhan Manshur. Selain itu, ada juga KH Muhammad Yasin dari Desa Kepuhteluk, KH Hatmin dari Desa Laccar, dan KH Muhammad Asyiq Mukri dari Desa Gelam.
Para ulama generasi emas tersebut rata-rata mengajarkan agama Islam melalui pondok pesantren. Hingga hari ini, pesantrenpesantren yang dibangun ulama generasi emas tersebut terus mengalami perkembangan. Pesantren-pesantren itu kini bahkan sudah menggabungkan dengan sekolah sekolah umum.
Sumber : Republika