Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Warga Bawean Tak Mampu Olah Batu Oniks

Warga Bawean Tak Mampu Olah Batu Oniks

Posted by Media Bawean on Minggu, 16 Mei 2010

Media Bawean, 16 Mei 2010

Sumber : Antara Jatim

Gresik - Warga Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, tidak mampu mengoleh batu oniks yang berlimpah itu dan terpaksa menjualnya kepada para pejarin di Kabupaten Tulungagung.

"Batu oniks setengah jadi itu kami kirimkan ke Tulungagung untuk dijadikan berbagai jenis. Setelah bentuknya sudah jadi hiasan, baru di bawa ke sini lagi," kata M Nur Ikhsan pengolah batu oniks asal Desa Patar Selamat, Kecamatan Sangkapura, Kabupaten Gresik, Minggu.

Batu-batu oniks yang sudah menjadi barang hiasan itu kemudian dibawa oleh warga Bawean yang merantau ke Malaysia dan Singapura. Selain itu ada juga yang dijual ke Australia dan Taiwan.

"Saat musim liburan, biasanya kami banyak menerima pesanan. Kami baru mengirimkan bahan mentah ke Tulungagung, kalau sudah ada pesanan dari para turis yang hendak berkunjung ke sini," katanya

Ikhsan mengaku, perajin Bawean tidak berani menjual barangnya kepada turis karena kalah kualitas dengan buatan perajin Tulungagung. "Kalau sama-sama dipajang, para turis memilih buatan Tulungagung. Ini bukti keterbatasan kami," katanya.

Sementara itu Arifin, pemilik tambang batu oniks di Desa Sungai Rujing, menambahkan, pihaknya kesulitan mencari tenaga ahli di Bawean. Bahkan, untuk memotong batu oniks saja dia harus mendatangkannya dari Tulungagung.

"Mulai 2004 tenaga pemotong batu oniks menjadi bahan setengah jadi sudah ada dari Bawean. Mereka belajar dari orang Tulungagung yang dulu saya panggil itu, saat ini tenaga pemotong asli Bawean ada tujuh orang, sedangkan kuli tambangnya ada sembilan orang. Semuanya dari Tulungagung," katanya.

Menurut dia, usaha batu oniks itu sangat menjanjikan, apalagi kualitas batu oniks dari Bawean tak diragukan lagi. Limbah sisa pemotongan batu bisa digunakan untuk lantai atau dinding rumah.

Sayangnya, sampai saat ini listrik di Pulau Bawean hanya menyala 17 jam sehari, belum termasuk pemadaman bergilir. Untuk bisa mendapatkan aliran listrik selama 24 jam, warga Bawean harus menggunakan mesin disel.

"Setiap dua setengah hari, disel pemotong saya menghabiskan bahan bakar satu drum yang berisi 100 liter solar, sedangkan harga solar yang saya dapatkan Rp5.000,00 per liter. Jika listrik di sini sudah menyala 24 jam penuh, saya pasti bisa menghemat Rp5 juta per bulan," kata Arifin menuturkan.

Masalah lain yang menjadi kendala bagi masyarakat Pulau Bawean dalam mengembangkan potensi sumber daya alam, lanjut dia, adalah budaya gengsi. Mereka enggan menekuni kerajinan obiks dan lebih memilih menjadi tenaga kerja Indonsia (TKI) di Malaysia atau Singapura.

"Padahal kalau pesanan banyak, per bulan saya bisa meraup keuntungan Rp16 juta hingga Rp18 juta dari penjualan bahan baku setengah jadi saja. Kalau dibandingkan dengan bekerja menjadi TKI jauh lebih menguntungkan mengelola batu oniks karena bahannya melimpah," katanya.*

SHARE :

Posting Komentar

 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean