Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Ironi Di Bulan Suci Ramadan
(Sebuah Renungan)

Ironi Di Bulan Suci Ramadan
(Sebuah Renungan)

Posted by Media Bawean on Jumat, 20 Agustus 2010

Media Bawean, 20 Agustus 2010

Oleh : Gus Ali Asyhar

Muqadimah
Marhaban Ya Ramadlan. Bulan penuh rahmah, ampunan dan bebas dari siksa neraka. Telah datang bulan suci menurut Allah dan rasul-Nya. Bulan yang dimuliakan karena di dalamnya Al-Qur’an diturunkan.

Mayoritas umat islam mendambakan datangnya Ramadlan. Hanya sedikit yang kecut begitu tahu bahwa Ramdlan akan segera tiba. Meraka adalah saudara-saudara kita yang belum mendapat hidayah. Datangnya bulan ini menjadikan sumber keuangan mereka mampet. Meraka adalah penghuni lokalisasi dan semua orang yang mengais uang dari lembah itu.

Keutamaan Ramadlan
Allah adalah Dzat yang Maha pengasih tanpa pilih kasih. Dalam Ramadlan Allah menjanjikan pahala yang berlimpah ruah, ampunan tiada batas dan kebebasan dari api neraka. Tamsilnya adalah pintu surga dibuka lebar dan pintu neraka tertutup rapat. Malaikat pembawa rahmat turun ke dunia dan tangan-tangan setan terbelenggu erat. Orang yang berpuasa sangat dimuliakan. Tidurnya berpahala bangunnya lebih berlipat ganda. Bau mulutnya yang anyir dijanjikan oleh Allah lebih harum dibanding kesturi nanti di surga. Al-hasil, Ramadlan benar-benar mutiara.

Tujuan Ramadlan
Sebagaimana termaktub dalam QS. Al-Baqarah 183 adalah menjadikan manusia bertaqwa. Yaitu menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya. Perintah dan larangan Allah sejatinya terkait dengan dua hal pokok. Yaitu hubungan dengan sang-Khaliq dan makhluq. Hubungan dengan Allah semisal shalat fardlu 5 waktu dan shalat sunah yang lain. Sedangkan hubungan dengan makhluq misalnya peduli dengan sesamanya. Dua hubungan ini diharapkan bisa diraih dengan cara berpuasa. Sebab dengan puasa setidaknya ada 3 hal yang bisa diperoleh. Pertama, rasa lapar dan haus. Dengan merasakan lapar dan haus diharapkan kita juga berfikir tentang derita si-miskin. Kedua, sabar untuk menunda sesuatu yang halal. Meskipun nasi itu halal tetapi harus ditunda hingga waktu berbuka tiba. Ketiga, lemah. Lemahnya badan akan menghasilkan kesimpulan bahwa kita adalah makhuq yang lemah dan tidak pantas takabur.

Realita Sosial
Berbicara fakta dan realita kita masih harus prihatin. Bulan mutiara ini belum sepenuhnya berhasil menciptakan manusia kamil seperti tujuan yang disitir oleh Al-Qur’an. Puasa masih dipahami sebagai ritual tahunan. Rasa haus dan lapar dipahami sebagai akibat tidak makan dan minum saja tanpa ada kesadaran bahwa kaum papa hampir tiap hari merasakannya. Alunan syahdu ayat suci hanya dimaksudkan untuk menumpuk pahala. Bahkan demi pahala ini sering mengabaikan etika sosial. Misalnya tadarrusan dengan pengeras sampai larut malam, tidur di masjid siang hari tanpa aturan sehingga bulan Ramadlan seakan melegalkan orang untuk bermalas-malasan. 

Ada beberapa budaya yang perlu diluruskan. Pertama, boros. Ini penyakit nasional. Di bulan Ramadlan anggaran belanja dapur naik berlipat-lipat. Ramadlan yang seharusnya menjadikan kita berhemat justru sebaliknya yang terjadi. Makanan berlimpah ruah di meja makan seakan kita balas dendam dengan rasa lapar dan haus selama sehari. Kedua, ritual yang overdosis. Maksudnya adalah ritual yang luar biasa di bulan Ramadlan namun langsung berhenti total begitu lebaran tiba. 

Di bulan Ramadlan bisa mengkhatamkan al-Qur’an lima kali namun setelah itu tidak mau menyentuhnya lagi sampai datang Ramadlan berikutnya. Tiap malam rajin membawa makanan dan minuman ke masjid untuk orang tadarrus namun begitu Syawal tiba cuek dengan kemiskinan tetangga. Ketiga, budaya cuci mata. Di banyak tempat biasanya dilakukan bakda shalat subuh. Muda-mudi berjalan-jalan dengan tujuan mencari pasangan atau sekedar menggodanya. Di Bawean biasanya dilakukan sore hari. Berpuluh-puluh muda-mudi hilir mudik di jalan untuk tujuan yang kurang baik. Bila jalan-jalan ini hanyalah menunggu saat berbuka puasa maka wajar. Tapi bila sudah diniati tidak baik maka tidak sesuai dengan tujuan puasa. Ke-empat di minggu terakhir lebih sibuk persiapan lebaran daripada beribadah. Kita lebih sibuk menyiapkan pakaian baru, hidangan dan mempercantik rumah daripada shalat tarawih, shalat tasbih, tadarus dan sebagainya. Jama’ah tarawih semakin sedikit, tadarus berkurang dan amaliyah sunah banyak ditinggalkan.

Ajakan
Puasa adalah latihan untuk kita semua. Praktek sesungguhnya adalah di sebelas bulan setelahnya. Semua ritual yang kita amalkan di bulan suci ini harus juga continue sepanjang tahun. Shalat fardlu dan sunah, tadaruus al-Qur’an, ringan tangan dengan bersedekah dan seterusnya adalah amaliyah kita sepanjang usia. Agar tujuan Ramadlan tercapai maka ada tiga tips yang bisa dilakukan. Pertama: Merenungkan tujuan puasa, yaitu manusia yang bertaqwa. Kedua, menyadari bahwa puasa adalah bulan latihan. Artinya amaliah selama Ramadlan harus juga dilaksanakan di luar Ramadlan. Ketiga, berkomitmen bahwa amal buruk yang sudah ditinggalkan ketika Ramadlan juga harus berhenti total di luar Ramadlan. Jangan sampai ada pemahaman bahwa dosa kita selama sebelas bulan akan terhapus oleh amal baik kita di bulan Ramadlan. Sehingga kita bebas menuruti hawa nafsu.

Penutup
Terbukanya pintu surga dan dibelenggunya Syaitan adalah kesempatan bagi kita. Bila kita bisa memaknainya dengan benar maka puasa ini ada atsarnya. Namun bila dipahami sebatas ritual saja maka haus dan lapar kita ini sungguh akan sia-sia.

SHARE :

Posting Komentar

 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean