Media Bawean, 14 Maret 2011
Penulis : Bagus Mustakim & Nurhuda Kurniawan
Penerbit : Insan Madani
Halaman : 326
Cetakan I : Juni 2010
Peresensi : Ali Asyhar
Bila Gus Dur dikenal sebagai bapak pluralisme maka Amien Rais dijuluki bapak reformasi. Julukan ini bukan tanpa sebab, Amien sudah sejak lama bersuara lantang tentang perlunya suksesi bagi kepemimpinan nasional. Kala itu berbicara suksesi adalah hal yang “diharamkan”. Rezim orba sukses membuat keyakinan masal bahwa Soeharto layak menjadi presiden seumur hidup. Mengganggu jabatan Soeharto sama dengan mengganggu bangsa dan negara Indonesia. Paling banter setiap selesai pemilu kita disuguhi wacana siapa yang berhak menjadi pendamping Soeharto yakni wakil presiden.
Puncaknya ketika Amien berteriak tentang Freeport dan Busang. Teriakan Amien menjadikan masyarakat membuka mata bahwa ada banyak kedzaliman di negeri ini. Bak tsunami kesadaran ini menerjang tembok-tembok tebal rezim orba. Air terus menerobos mencari celah untuk mengalir. Teriakan Amien menjadi penyengat yang efektif untuk membangunkan masyarakat dari mimpi panjangnya. Diskusi dan obrolan merebak. Dari mahasiswa sampai orang-orang di warung mulai berani bicara politik, korupsi dan nepotisme orba meski mereka masih bingung bagaimana cara menghentikan korupsi tersebut. Melihat gejala perlawanan ini Soeharto marah. Amien dipaksa mundur dari Dewan Pakar ICMI.
Reformasi ’98 yang dimotori oleh mahasiswa sejatinya bibit-bibitnya sudah ditanam Amien. Hasilnya semakin banyak yang bersuara lantang seperti Sri Bintang Pamungkas yang terang-terangan menggugat pembonsaian partai. Ia mendirikan PUDI ( Partai Uni Demokrasi Indonesia) dan tidak lama kemudian Bintang dijebloskan ke bui. Mahasiswa di kampus mulai berani mengkaji ajaran Marxime dan komunisme. PRD, SEMID, FORKOT dan kelompok-kelompok kritis mulai menjamur. Meski dikejar-kejar aparat namun sepertinya sudah terlambat. Rakyat sudah mulai bangun dari hipnotis ala orba.
Waba’du. Amien Rais memang kader Muhammadiyah tulen. Ia lahir tanggal 26 April 1944 dari pasangan aktifis Muhammadiyah. Ayahnya Syuhud Rais adalah alumni Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta. Sedangkan Ibunya, Sudalmiyah, juga aktifis perempuan. Ia pernah memimpin Aisyiyah Surakarta selama 20 tahun. Bahkan kakek Amien, Sukiman Wiryo Sudarmo, adalah pendiri Muhammadiyah di Gombong Jawa Tengah. Sejak TK sampai SMA Amien menghabiskannya di lembaga pendidikan Muhammadiyah di Solo. Ia juga bergabung dengan kepanduan Muhammadiyah, Hizbul Wathan.
Pendidikan tingginya di mulai dari UGM dan IAIN Sunan Kalijogo Yogjakarta. Setamat dari Jogja ia melanjutkan S2 nya ke University of Notre Dame, Indiana sampai 1974. Progam doktoralnya ia tempuh di Political Science, University of Chicago. Desertasinya berjudul Moslem Britherhood in Egypt: Its, Demise, and Resurgence (Organisasi Ikhwanul Muslimin : kelahiran, keruntuhan dan kebangkitan kembali). Penyelesaian desertasinya ia lakukan di Mesir tahun 1980.
Dalam buku ini Amien menguraikan pemikiran-pemikirannya secara utuh. Ia berbicara tentang politik, demokrasi, reformasi, ekonomi, nasionalisme, civil society dan kebudayaan. Sepak terjangnya dalam politik ia sampaikan dengan lugas, sederhana dan jenaka. Ia juga memaparkan tindakan-tindaknnya yang membuat sebagian orang gemas. Seperti ketika ia mempelopori Poros Tengah yang ia katakan sebagai alternative diantara dua kekuatan besar yakni Poros Megawati dan Poros Habibie. Poros tengah kemudian mencalonkan Gus Dur sebagai presiden dan setelah berhasil maka poros tengah jualah yang getol menurunkannya.
Membaca buku ini kita juga akan disuguhi keseharian Amien Rais. Ia secara jujur juga menceritakan kegalauan dan kepanikannya menghadapi masalah. Ia panik dan menangis ketika istrinya, Kusnariyati Sri Rahayu, terlambat 4 jam pulang kerja sewaktu mereka di Chicago. Ia juga panik ketika mendengar kabar bahwa ia akan ditangkap aparat karena kritiknya kepada penguasa. Seperti biasa ketika ia gundah ia selalu meminta nasehat kepada ibundanya. Kita juga bisa membaca management Amien ketika memimpin Muhammadiyah dan PAN. Bagiamana ia bisa menahkodai dua organisasi yang berbeda karakter. Tentang perbedaan pendapatnya dengan alm.Lukman Harun, Soetrisno Bachir juga ia jelaskan apa adanya.
Amien memang sosok pejuang. Disaat namanya mulai digantikan nama-nama baru ia memilih dunia pendidikan sebagai pengabdiannya. Ia menyebut UGM sebagai home base-nya. Disamping menjadi dosen ia juga mengelola yayasan Budi Mulia II bersama istrinya. Ia percaya bahwa lembaga pendidikan akan menjadi amal jariyah. Selamat membaca.
Posting Komentar