Media Bawean, 22 Maret 2011
(Guru SMANU Islamiyah Bawean)
1. Pangapora!
Inti tulisan kemarin, pada wacana 1 yang berjudul "Menjelajah Kampung, Menggali Potensi" adalah:
a) memperkenalkan sebagian nama kampung ,dusun, desa, jalan, dan tempat-tempat penting yang ada di Pulau Bawean, yang biasa disebut nama satuan geografis yang dalam wacana itu ditulis dengan huruf kapital atau huruf besar;
b) bagaimana cara penulisan nama satuan geografis dengan ejaan yang benar;
c) aktualisasi sebagian 'hasil' seminar ejaan bahasa Bawean, tahun 1993.
Untuk memudahkan pembahasan ini,saya ambil contoh nama Sungai Laut, Tunggangan,dan Pedalaman.
Ka Kalompek aghibe pettes
Mellea leppet lebet Menara
Mon sampek adhebu takpantes
Salah lopot bule nyoon sapora!
2. Tunggangan dan Pedalaman
Kata benda (nomina) "tunggangan" berasal dari kata kerja (verba) "tunggang" yang berarti "naik". Dari kata kerja "tunggang" dapat diturunkan menjadi kata "menunggang", "menunggangi", "penunggang" dan "tunggangan".Kata benda (nomina) "tunggangan" bermakna "sesuatu yang ditunggangi" (Kamus Besar Bahasa Indonesia 1085).
Kata sifat (adjektif) "dalam" bermakna "jauh ke bawah (dari permukaan), jauh masuk ke tengah.
Jika kata "dalam" mendapat imbuhan pe-an menjadi "pedalaman" yang bermakna "daerah yang letaknya jauh dari pantai; daerah terpencil yang terletak jauh dari kota dan kurang berhubungan dengan dunia lain (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 205-206).
Selain bermakna seperti uraian di atas,kata "tunggangan" dan "pedalaman" bermakna "suatu jalan, tempat, kampung, dusun, atau daerah" seperti yang tertulis di Media Bawean berikut.
(1) Suporter pendukung PS PSSD (Daun) terjebak lumpur di Tunggangan, Sungai Rujing, Sangkapura disebabkan tumpukan urukan tanah terkena hujan semalam (Media Bawean, 01 November 2010).
(2) Projek paving jalan lingkar Bawean di Pedalaman menghubungkan Desa Lebak dengan Pudakit Barat yang dikerjakan PT Wahyu Tirta Manik sudah terpakai nyaman oleh pengguna jalan (Media Bawean,18 November 2010).
Kata " Tunggangan" pada kalimat (1) adalah nama sebuah dusun yang memiliki jalan menaik atau menanjak. Orang desa setempat biasa menyebutnya "Tongghengan" yang dibahasaindonesiakan atau dibahasamelayukan menjadi "Tunggangan".
Sama halnya dengan kata "Tunggangan" pada kalimat (1) kata"Pedalaman" pada kalimat ( 2 ) adalah nama sebuah dusun yang ramai dan berkembang pesat,karena di sana terdapat pasar pagi yang sangat terkenal sejak lama. Pasar itu oleh masyarakat Bawean biasa disebut "Pasar Padhelemman". Kata "Padhelemman" lalu dibahasaindonesiakan atau dibahasamelayukan menjadi "Pedalaman".
Dari dua analisis tentang "tunggangan" dan "pedalaman" timbullah beberapa pertanyaan.
a. Setiap nama jalan,dusun,atau kampung haruskah dibahasaindonesiakan atau dibahasamelayukan?
b. Haruskah ada kesepakatan dalam pembahasaindonesiaan atau pembahasamelayuan untuk nama jalan, dusun, atau kampung?
c. Adakah pedoman penamaan satuan geografis?
d. Siapakah atau lembaga manakah yang punya otoritas terhadap penamaan nama satuan geografis?
2. Seminar Penetapan Bahasa Bawean
Pada tanggal 20 November 1993 telah diadakan Seminar Penetapan Bahasa Bawean di SMP Negeri 1, Sangkapura, Bawean. Seminar itu banyak dihadiri peserta dari berbagai kalangan. Agenda utama seminar adalah penetapan ejaan bahasa Bawean. Setidaknya ada tiga peserta seminar itu yang berasal dari Kecamatan Tambak, yaitu Bpk.Supangat, Penilik Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Tambak; Bpk. M.Natsir Abrari, budayawan dan pekerja teater; dan saya sendiri, Abdul Khaliq, wakil guru bahasa. Bpk. Cuk Sugrito bertindak sebagai moderator. Narasumber dalam seminar itu adalah Bpk. Zulfa Usman.
Seminar itu berlangsung lancar, penuh canda-tawa, dan seru. Dikatakan lancar karena acaranya berlangsung sesuai rencana. Suasana penuh dengan canda-tawa karena ada beberapa peserta yang melontarkan 'joke'-nya yang kadang-kadang mnyerempet-nyerempet ke pornografi. Dikataka seru karena ada beberapa peserta yang terus mempertahankan pendapatnya.
Ada empat daraf yang saya sampaikan dalam seminar itu.
1. Sistem ejaan;
2. Pedoman penamaan geografis;
3. Pembagian dialek dan subdialek bahasa Bawean;dan
4. Rencana pengajara n bahasa daerah Bawean di sekolah.
Untuk membatasi diri dalam tulisan ini, saya hanya akan membahas draf satu.
a) Penulisan kosakata atau perbendaharaan kata bahasa Bawean ditulis menurut ucapannya atau menurut bunyinya atau menurut lafalnya (fonologi). Misalnya:
jhukong bukan jukung;
dhungka bukan dungka;
sabe bukan saba, bukan sawa ( sawah);
raje bukan raja (besar);
atambhe bukan atamba (berobat) ;
laok bukan lauk ,bukan laut ( selatan )
rebbhe bukan rabba ,bukan rebba (rumput)
Sebagai perbandingan,bagi penutur yang bukan asli suku Jawa dan suku Madura ketika belajar membaca dan menulis bahasa Jawa dan bahasa Madura merasa kesulitan mengeja. Mengapa? Tulisan dan bacaannya ada yang berbeda. "Sulitnya seperti menulis dan membaca bahasa Inggris!" katanya.
Misalnya:
Bahasa Jawa
(3a) Ana apa eng buri?
Dibaca:
(3b) Ono opo eng buri?
( Ada apa di belakang?)
Bahasa Madura
(4a) Bada barampa baddhana rabbha si raja?
Dibaca
(4b) Bede berempa beddhena rebbhe si raje?
(Ada berapa wadah rumput yang besar?)
Keterangan: vokal a pada contoh (3a dan 4a) yang berubah bunyi ada tanda titik atau tanda garis setengah melingkar terbalik di atasnya. Karena faktor teknis, tanda itu tidak terpasang.
b) Penulisan nama satuan geografis (seperti kampung,dusun, desa, jalan, sungai, dataran, tanjung, teluk) ditulis menurut ucapannya atau lafalnya. Penulisannya tidak perlu dibahasaindonesiakan atau dibahasamelayukan atau dipantas-pantaskan. Tulislah sesuai dengan ucapannya.
Misalnya:
Sarambhe bukan Saramba.
Pajhinggheen bukan Pajinggahan atau bukan Persinggahan.
Sabe Deje bukan Saba Daja atau bukan Sawah Daya
Songai Laok bukan Sungai Laut atau bukan Sungai Selatan
Pengecualian:
Nama-nama desa yang secara administratif terlanjur dibakukan dalam administrasi pemerintahan. Misalnya:
Sangkapora tetap Sangkapura.
Tambhek tetap Tambak.
Songai Rojhing tetap Sungairujing.
c) Penulisan tanda baca ,penulisan huruf kapital dan lain-lain mengikuti Pedoman Umum Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah yang diterbitkan Pusat Bahasa.
3. Beberapa Referensi
Prof. Jacub Rais dalam semiloka di ITB, tahun 2005 menyampaikan beberapa kaidah penulisan penamaan satuan geografis di Indonesia.
1. Menggunakan abjad Romawi atau huruf Latin.
2. Mengutamakan NAMA LOKAL dan singkat.
3. Tidak menggunakan nama yang sudah digunakan di tempat lain dalam wilayah yang sama.
4. Tidak menggunakan nama yang menimbulkan pertentangan suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA).
5. Tidak menggunakan nama orang atau tokoh yang masih hidup.
6. Tidak menggunakan nama perusahaan.
7. Tidak menggunakan nama asing atau kata asing.
8. Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam pemberian unsur geografis.
9. Menggunakan nama yang ditetapkan berdasarkan perundang-undangan yang berlaku secara nasional dan internasional.
Lembaga manakah yang punya otoritas bidang penamaan satuan geogrgfis?
Paling tidak ada dua lembaga yang punya otoritas itu, yaitu
Pertama, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakorsurtanal) yang merupakan lembaga pemerintah nondepartemen di bawah presiden, dengan Keputusan Presiden No. 42 / 2001. Tugasnya antara lain melaksanakan survei dan pemetaan yang sesuai dengan perundangan-undangan yang berlaku.
Kedua, lembaga adat.
Menurut penulis, Karukunan Toghellan Bhebian (KTB) adalah lembaga adat yang representatif untuk hal ini.
Nama adalah kata atau frasa yang berdasarkan kesepakatan menjadi tanda pengenal benda, orang, hewan, tumbuhan, tempat atau hal. Fungsi utama nama adalah sebagai pembeda, tanda, identitas untuk memudahkan bagi penggunanya. Setiap nama ada penciptanya. Pencipta nama pertama akan tetap bangga jika hasil penamaannya tetap digunakan, akan senang jika tetap tidak diubah-ubah. Setiap nama tentu ada sejarahnya. Semakin sering nama itu digunakan, semakin mudah pula orang mengingatnya.
Dengan tidak mengurangi rasa hormat penulis pada pencipta nama yang kedua (sekunder) dan berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penulisan yang benar adalah
* Tongghengan bukan Tunggangan.
* Padhelemman bukan Pedalaman
* Songai Laok bukan Sungai Laut atau bukan Sawah Selatan.
Nama-nama satuan geografis Bawean sebenarnya sangat indah dan mengesankan. Cobalah nama-nama berikut ucapkan, lalu pikirkan, angan-angankan tempatnya, siapa penghuninya, budayanya, dan apa makna filosofinya! Misalnya:
PAROMAAN,
BINASPA, MATALAJER,
TALEKONG AJHEM, LANGCABBHUR
,BENGKOSOBUNG (tidak usah diplesetkan Rumah Kosong, apalagi Rumah Hantu). ANGSANA LABENG (bukan Angsana Pintu, TENGGHEN (bukan Tinggan) , GHUNTONG (tidak usah dipantas-pantaskan Guntung)!
Andaikan tidak terlanjur resmi menjadi nama desa, penulis lebih suka sebutan BHALIKBHEK daripada BALIKTERUS!
Sumber: Pedoman penamaan/toponimi.wikipedia
Masalahnya sekarang,"Bahasa ikut penutur, ataukah penutur ikut bahasa?"
Posting Komentar