Media Bawean, 22 April 2011
Oleh : Sumiyati
Pada saat itu tanggal 15 Januari 1996, aku terlahir kedunia ini. Suara tangisanku yang menyayat hati membuat kedua orang tuaku merasakan kebahagiaan yang teramat sangat, maklumlah anak pertama. kata orang tua saya, saya lahir dengan selamat di sebuah gubuk beratap daun rumbia, berdinding anyaman bambu. Alhamdulillah, dengan ala apa adanya saya bisa tumbuh menjadi anak yang selalu patuh pada orang tua.
Waktu terus bergulir dengan seiringnya kehidupan. Tanpa saya rasa usia saya sudah menginjak 15 tahun. Dengan demikian, usiaku makin bertambah sedangkan saya sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya saya cari?. Kini saya sadari kalau begini terus maka tak berartilah masa mudaku. Itu artinya saya telah menyia-nyiakan waktu dan kesempatan yang tak mungkin datang untuk kedua kalinya. Sebagai anak dan cucu partama, saya bertekad saya harus bisa merubah kehidupan kedua orang tua saya. saya tidak ingin kehidupanku sama seperti orang tuaku. Maka dari itu saya selagi ada kesempatan saya gunukan untuk belajar. Bukan cuma belajar saja, di samping itu saya coba menerka-nerka saya akan jadi apa kelak di kemudian hari?. Pada saat itulah sifat selalu ingin tahu menjadi ciri khasku.
Tanggal 15 Januari 2011 adalah hari kebahagiaanku, dimana pada saat itu ultahku yang ke 15 tahun. Itu artinya aku bukan anak-anak lagi yang harus selalu dituntun terus oleh orang tuaku. Tapi bukan berarti saya tidak perlu dibimbing lagi, namun tak sepantasnya saya merengek seperti yang biasa di lakukan anak kecil. “Ultahmu kali ini kamu mau hadiah apa dari ayah dan ibumu?” Tanya ayah waktu itu. “Saya tidak mau minta apa-apa yah, saya cuma minta satu hal, yaitu doa ayah dan ibu”. Bagiku doalah yang sangat berharga daripada materi.
Diusiaku yang baru menginjak 15 tahun ini aku ingin merangkai dunia. Dan ingin merubah dunia menjadi lebih baik. Tentunya tidak semudah membuat sambal terasi untuk mewujudkan impian itu. Aku mulai dengan nasehat bijak, dan taqwa yang kuat. Kunci untuk membut diri kita anggun adalah taqwa dan iman. Bukan make up yang mahal dan bermerek internasional, tapi taqwa dan iman. Mengapa? Karena Allah SWT tidak memandang seorang hamba karena ia kaya raya, rumahnya yang megah, paras yang indah, hartanya yang melimpah ruah, tapi Allah memandang hamba-Nya dari tingkat ketaqwaan dan keimanannya. Rupa, harta dan keindahan di dunia ini hanyalah titipan-Nya yang bisa diambil kapanpun jika Allah mau. Bukan harta dan rupamu yang akan menyelamatkanmu kelak diakhirat melainkan iman dan taqwamu-lah yang akan menyelamatkanmu saat tidak akan ada seorangpun yang bisa menolongmu.
Harta itu memang manis, dari saking manisnya dapat membuat orang menjadi orang. Itulah mengapa korupsi di Negara kita masih merajalela. Bahkan sampai ada slogan tak akan bahagia bila tanpa uang. Apakah kebahagiaan itu hanya diukur dari harta? Lalu apa arti kebahagiaan itu jika tanpa landasan iman dan taqwa? Apa arti kebahagiaan yang hakiki itu? Apakah kebahagiaan itu hanyalah milik orang-orang yang berharta? Apa arti kebahagiaan yang Allah janjikan kepada hamba-Nya yang beriman kepada-Nya kalau kebahagiaan itu hanya dilihat dari harta? Yang miskin akan semakin terpuruk.
Saya mempunyai keluarga kecil, diantaranya kakek, nenek, ayah, ibu dan 2 adik. Adikku yang satunya laki-laki, Moch. Husen namanya. Usiaku dan usianya berselisih 4 tahun. Dableknya minta ampun, walaupun begitu dia suka membuatku sabar menjalani kehidupanku yang kelabu. Dia yang selalu membuatku tetap tegar dengan nasehatnya. Sebagai kakaknya, kadang saya merasa malu. Seharusnya aku yang bisa menasehatinya bukan sebaliknya. Pernah suatu ketika dia datang ke kamarku yang sengaja tidak kukunci, sementara itu saya menangis melampiaskan kesedihanku. Ya, itulah saya yang suka melampiaskan kesedihan dengan menangis, menangis dan menangis. Tanpa kuduga adikku datang mengelus rambutku sambil bilang “kakakku yang cantik mengapa menangis?” lalu dia menirukan lagu ST 12 artis idolaku, yang berlirik “Jangan menangis sayang ini hanyalah cobaan Tuhan hadapi semua dengan senyuman”.
Serentak hatiku tersentuh mendengarkan lagu yang didendangkannya. Ya Allah mengapa hamba tidak tegar menghadapi cobaan ini? gumamku dalam hati. Seketika itu juga kuhapus air mataku yang masih terasa megalir dipipi. Setelah itu kulangsung dekap adikku sambil ngucapin “Terima kasih dik atas persembahan lagunya”. Dia cuma bilang “Sama-sama kak. Nah, sekarang kakak jangan menangis lagi, kakak makin cantik deh kalau tidak nangis”. Saya Cuma tersenyum mendengar pujiannya yang kadang membuatku besar kepala. Saya tidak tahu darimana dia mendapatkan cara seperti itu? Padahal saya tidak pernah mengajarinya. (bersambung)
2 comments
wau bagu sekali
waduh bgus sekali karyaya dindaku cyang
Posting Komentar