Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Ulat Bulu Di Tajung Cena

Ulat Bulu Di Tajung Cena

Posted by Media Bawean on Rabu, 27 April 2011

Media Bawean, 27 April 2011

Laporan : Drs. H. Abdul Khaliq (Guru SMANU Islamiyah Bawean)



"Pak, mengapa Tanjung Cena disebut tanjung? Mengapa daratan itu tidak disebut pulau, seperti Pulau Gili, misalnya?" tanya Winda Novita, kelas 12 IA, kepada Pak Mujiono, Wakasek Kurikulum SMANU Islamiyah Bawean.

Pertanyaan itu terlontar kemarin, Sabtu,23 April 2011, ketika para siswa kelas 12, SMANU ISLAMIYAH dengan didampingi beberapa guru mengadakan wisata bahari ke Tanjung Cena. "Wisata bahari dengan naik perahu kapak-kapak itu dilakukannya setelah anak-anak dikarantina selama 111 hari dalam menghadapi Ujian Nasional 2011. Tentunya, mereka sangat lelah, baik mental maupun fisik. Jadi, untuk menghibur anak-anak tidak perlu menunggu pengumuman ujian," ujar Pak Jaelani, Wali kelas 12 IA. 

Dikatakan perahu kapak-kapak karena model kepala atau moncong perahu di depan dan di belakang menyerupai sebuah kapak yang menjulur ke atas. Ada juga yang menyebutnya "parao pajeng gherrut" yang banyak terdapat di daerah Tellokjhete dan Dhedhebeng. Saat ini Dhedhebeng adalah salah satu tempat sentra terbesar di Kecamatan Tambak untuk produksi ikan pindang (jhukok pendheng). Tempat pemasaran utamanya adalah daerah Tuban, Malang, Madura, Surabaya, dan Sampit (Kalteng)

"Tanjung adalah tanah adalah (ujung) atau pegunungan yang menganjur ke laut atau danau.
Pulau adalah tanah atau daratan yang dikelilingi air (di laut, di sungai, atau di danau). Nah,untuk mengetahui apakah tanah atau daratan itu dikelilingi air atau tidak, kita lihat pada saat air paling surut," papar Pak Mujiono, guru serbabisa yang juga mengajarkan mata pelajaran ekonomi-akuntansi, geografi, seni budaya, sejarah, dan sosiologi antropologi.

Turut serta dalam wisata bahari itu selain Kepala SMANU dan Kepaka SMPNU Islamiyah Bawean, adalah seorang Pengawas Ujian, Tri Joko Sri Haryono, dosen Antropologi dari Univesitas Airlangga, Surabaya, yang kebetulan mendapat tugas kepengawasan di SMANU Islamiyah Bawean.

"Wow.. pemandangannya sangat eksotik,lautnya tenang, terumbu karangnya menakjubkan, warna-warni ikan karangnya sangat memesona, gugusan hutan bakaunya sangat memukau! Alamnya lebih indah daripada alam yang ada di Timika! Pada kesempatan lain kami akan kembali kemari bersama anak-anak dan istri," komentar Pak Tri Joko Sri Haryono yang pernah melakukan penelitian antropologi adat-istiadat suku asli masyarakat pedalaman Timika selama setahun di Timika, Papua.

Acaranya diawali dengan naik perahu kapak-kapak dari pantai Dhedhebeng,mengelilngi "daratan" Tanjung Cena,mandi-mandi di pantai,memancing, membakar ikan, berfoto-fotoan, dan mencari jejak. Dalam waktu tidak kurang dari satu jam Pak M. Husni, guru matematika, dapat mengumpulkan sebanyak dua botol Aqua besar "cacabbhian dan kempang" dan satu kantong plastik besar rumput laut yang dapat dijadikan sakor-sakor, yaitu "lato". Acara diakhiri dengan makan "jhukok tono-tono".

"Dilihat dari bekas arang dan tempat pembakaran ikan,tempat ini rupanya sudah sering dikunjungi wisatawan domestik. Sebenarnya, kita tidak perlu jauh-jauh mencari tempat tujuan wisata. Eh...ternyata di dekat sini saja, ada tempat yang sangat menyenangkan. Dengan sewa uang Rp 100.000,00 kita dapat naik perahu kapak-kapak bersama keluarga," terang Pak Bambang Sugito, Pengawas TK/SD yang tetap konsen berjuang di SMPNU Islamiyah Bawean, sejak tahun 1989.

ULAT BULU
Ketika acara penjelajahan berlangsung, ada sesuatu yang mengherankan para siswa. "Ulat bulu, ulat bulu... di sini ada ulat bulu, Pak Jae!" teriak Ilham, salah seorang siswa dengan penuh keheranan.

Memang betul, ada beberapa pohon dadap dan pohon bhenten dirayapi ribuan ulat bulu. Kulit pohon banyak yang terkelupas dan dedaunannya banyak yang meranggas dimakan ulat bulu. Kejadian ini ditemukan di Pulau Bireng-bireng, pulau kecil di bagian barat Tanjung Cena. Dari manakah asal ulat bulu itu? Akankan ulat-ulat bulu itu mampu 'menyeberang' ke daratan Bawean? Tidak ada yang bisa menjawab. Hanya waktu yang bisa menjawab.

Waktu sudah sore, matahari sudah mulai condong ke barat. Sudah hampir 4 jam mereka berada di Tanjung Cena. Ada dua perahu kapak-kapak yang sudah siap menunggu. Mesin dihidupkan. Baru sepuluh menit,kapten kapal berteriak seraya memohon maaf, "Para penumpang harap turun, karena perahu sudah kandas. Coba lihat ke bawah! Pasirnya kelihatan, kan?"

"Kalau begitu betul Pak Mujiono. Daratan itu memang pantas disebut Tanjung Cena, bukan Pulau Cena!" ujar Winda Novita yang membenarkan teori tentang pulau dan tanjung.

SHARE :

Posting Komentar

 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean