Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Pungli Oh Pungli

Pungli Oh Pungli

Posted by Media Bawean on Senin, 26 September 2011

Media Bawean, 26 September 2011

Oleh : ARIS WAHYUDIANTO
Wartawan Radar Gresik 

PUNGLI atau pungutan liar memang berbeda dengan krupuk puli (kerupuk dari beras yang dikeringkan). Kalau kerupuk puli jelas rasanya enak, gurih, kriuk-kriuk dan menjadi penambah selera hidangan makanan yang disajikan. Sementara pungli, bagi yang pernah merasakannya, rasanya jelas tidak enak. Kenapa tidak enak, ya itu tadi karena pungutan tentunya harus ada uang yang keluar, dongkol dan marah dengan yang menarik, serta tentunya tidak ikhlas .

Dua perbedaan itu mewakili sikap dan emosi manusia ketika menjalani proses penikmatan atau katakan proses perasaan. Bicara masalah krupuk puli pasti berkaitan erat dengan makanan. Nah jika ngomong soal pungli pasti akan menyerempet pada sebuah kejadian, kegiatan atau setidaknya sesuatu yang berhubungan dengan hajat hidup manusia. Dalam kehidupan bermasyarakat yang sudah diatur oleh pranata hukum serta kaidah etika sosial dan norma lainnya, munculnya pungli menjadi paradigma yang buruk. Kenapa buruk, sesuatu yang sudah ada ketentuan atau aturannya ternyata bisa disiati dengan embelembel kemudahan, percepatan dari proses yang dijalani serta sesuatu yang harus dilakukan atau tidak bisa dihindari. Karena menyangkut kehidupan, pungli muncul di setiap aspek, kegiatan serta urusan yang dijalani oleh masyarakat. Dari yang sepele seperti bayar uang parkir lebih tinggi dari nila yang tertera di karcis hingga yang besar misalkan membayar sebuah perizinan yang sebenarnya bagian dari pelayanan birokrasi .

Munculnya pungli-pun tidak pandang bulu, dari yang terangterangan hingga dibawa tangan atau dibawah meja. Pun begitu pula bisa dialami oleh seseorang yang bersentuhan dengan masalah moral keagamaan seperti pungli haji hingga yang berkaitan dengan jual beli jabatan di sektor birokrasi. Lalu mengapa pungli tetap terjadi. Inilah sebenarnya yang menjadi persoalan mengapa Indonesia menduduki ranking bawah sebagai negara terkorup seperti yang pernah disampaikan Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI).

Kondisi ini pula yang terjadi di Gresik, dimana pungli tidak bisa lepas dari bagian kegiatan bermasyarakat di kota yang berpenduduk 1,3 juta jiwa. Sudah sering terdengar pungli menyeruak di Kota Pudak ini. Pungli tidak hanya terjadi saat warganya lahir ke dunia dengan pungutan pembuatan biaya akta kelahiran, hingga manusia matipun pungli juga dikenakan saat ahli waris hendak menerima tunjangan kematian yang diberikan pemerintah. Kondisi inilah yang disadari atau tidak akan menimbulkan sebuah proses legalisasi sosial jika berlangsung secara terus menerus tanpa ada yang bisa menghentikan.

Lama kelamaan pungli akan menjadi krupuk puli yang biasa dinikmati menjadi pendamping makanan. Pungli nantinya akan menjadi sebuah kebiasaan turun temurun yang mendampingi setiap kegiatan di masyarakat. Kalau ini sampai terjadi, pranata sosial yang dibangun secara luhur oleh nenek moyang bakal rusak, kehidupan masyarakat menjadi materialis segalanya diukur dengan uang, dan yang dikhawatirkan mental korup akan melembaga di semua aspek kehidupan.

Kita tentunya tidak ingin dicap sebagai masyarakat yang korup, masyarakatpun pasti tidak akan senang jika segala urusannya selalu dicampuri dengan pungli, dan tentunya aturan hanya alan menjadi macan ompong jika bisa disiasati dengan uang sebagai alternatif tercepat. Membiasakan diri dengan disiplin dalam kehidupan, menjadikan aturan sebagai kiblat dalam bersosial serta mempertegas sanksi bagi yang melanggar aturan diharapkan bisa mengurangi wabah yang bernama pungli. Kalau pungli sudah bisa dicegah bahkan dihilangkan, tentunya makan krupuk puli akan menjadi lebih nikmat rasanya. (ris)

Sumber : Radar Surabaya

SHARE :

Posting Komentar

 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean