Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Komisi D DPRD Gresik,
Komisi Gagap Wacana Dan Kebijakan

Komisi D DPRD Gresik,
Komisi Gagap Wacana Dan Kebijakan

Posted by Media Bawean on Rabu, 16 November 2011

Media Bawean, 16 November 2011

Oleh: Musyayana
Penasehat Media Bawean &
Aktivis Perempuan Di Surabaya

Komisi D DPRD, Komisi yang membidangi masalah pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan harusnya mampu menjadi embrio lahirnya pembangunan sumber daya manusia. Di komisi D inilah masyarakat berharap lahir regulasi yang ramah terhadap masyarakat miskin. Bukan regulasi yang justru menelantarkan dan semakin memarginalkan masyakatat miskin. Butuh orang-orang yang kapasitas intelektualnya bukan intektual salon, yaitu intektual yang hanya bisa berwacana tanpa bisa mematrialkan wacana tersebut, juga butuh kader partai yang kapabel, bukan kader karbitan, yaitu kader yang datang dengan modal duit dan akhirnya terpilih menjadi anggota DPRD. Hasilnya, anggota DPRD yang gagap wacana dan kebijakan. Fakta ini lah yang terjadi di Komisi D DPRD Gresik. Tidak sedikit partai yang merekomendasi kader yang gagap wacana dan kebijakan. 

Tahun ini Kementerian Kesehatan meluncurkan program Jaminan Persalinan (Jampersal). Tujuannya untuk meningkatkan cakupan pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, dan pelayanan nifas ibu oleh tenaga kesehatan; meningkatkan cakupan pelayanan bayi baru lahir oleh tenaga kesehatan; meningkatkan cakupan pelayanan KB pasca persalinan; meningkatkan cakupan penanganan komplikasi ibu hamil, bersalin, nifas, dan bayi baru lahir; serta terselenggaranya pengelolaan keuangan yang efisien, efektif, transparan, dan akuntabel. Namun pemerintah Kabupaten Gresik sangat lambat mengadopsi kebijakan tersebut. Ketika beberapa Kota/Kabupaten di Jawa Timur sudah melaksanakan program tersebut, Dinas Kesehatan dan Komisi D Gresik belum mengambil sikap apapun. Akhirnya saya berinisiatif untuk menanyakan langsung via telp pada Kepada Dinas Kesehatan Gresik, wawancara langsung dengan Ketua Komisi D, dan anggota Komisi D Gresik. Hasilnya, mereka belum tahu tentang program Jampersal. Endingnya mereka sok tahu!!! mereka pikir Jampersal sama saja dengan Jamkesmas. Akhirnya saya putuskan untuk menulis artikel tentang Jampersal.
1. Kapan Program JAMPERSAL Diberlakukan Di Gresik? (http://www.bawean.net/2011/04/kapan-program-jampersal-diberlakukan-di.html), 2.Mampukah Bidan Desa Sebagai Pelopor Jampersal? http://www.bawean.net/2011/05/mampukah-bidan-desa-sebagai-pelopor.htmlSebagai pegiat gender dan isu-isu perempuan, saya berharap mereka menjadi tahu apa itu program Jampersal dan segera menerapkannya di Kabupaten Gresik, karena persoalan kesehatan reproduksi adalah persoalan yang sangat penting bagi kelompok perempuan khususnya perempuan dari latarbelakang keluarga kurang mampu dan secara geografis terisolir seperti pulau Bawean. Disini kita bisa melihat bahwa Komisi D Gresik adalah orang-orang yang gagap wacana dan kebijakan. 

Bicara soal kebijakan, baru tiga bulan yang lalu Komisi D Gresik mengesahkan Peraturan Daerah tentang Perlindungan Perempuan dan Anak (PERDA PPA). Perda yang basi! Karena Kota/Kabupaten lain sudah cukup lama membuat Perda PPA. Sebenarnya Perda PPA ini berlaku secara nasional, Kota/Kabupaten hanya cukup mengadopsi dan mengawal kebijakan tersebut.

Komitmen Internasional atas Perlindungan Perempuan:
* Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM)
* Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW)
* ICPD Tahun 1994 di Cairo
* Millenium Development Goals (MDGs)
*  Beijing Platform for Actions (1995)
* Pembentukan Women Crisis Center (WCC)
Komitmen Nasional atas Perlindungan Perempuan:
* UUD 1945 Bab XA tentang HAM
* UU NO.7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
* UU NO.5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia UU NO.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
* UU NO.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
* UU NO.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
* Pembentukan pusat pelayanan terpadu pemberdayaan perempuan dan Anak (P2TP2A) atau Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) sebagai lembaga pemberi pelayanan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan 

Pada pra sidang Pansus Perda PPA, saya harus menjelaskan kepada anggota Komisi D secara detail mengenai produk hukum, kasus kekerasan perempuan dan anak, rekomendasi kebijakan, dan draff Perda PPA. Kalau mereka mau, tidak usah sidang terlalu lama yang justru menghabiskan banyak anggaran, cukup menandatangani draff Perda PPA yang sudah saya siapkan untuk mereka. Diantara tujuh orang perempuan anggota DPRD Gresik, lima orang numplek di Komisi D. Apakah jumlah mereka cukup representatif memperjuangkan hak perempuan? Bukankah mereka terpilih menjadi anggota DPRD karena perjuangan kelompok aktivis perempuan tentang kuota 30% bagi perempuan di parlemen?. Saya sampaikan langsung kepada Ketua Komisi D dan anggota Komisi D saat berkunjung ke kantor Media Bawean bahwa politik perempuan bukan sekedar jumlah, tapi keterwakilan secara intelektual. Lima orang perempuan anggota Komisi D bagi saya terlalu banyak jika mereka tidak mampu mengawal isu-isu perempuan. Mulai Gender Budgeting sampai produk hukum yang memproteksi hak asasi kaum perempuan. 

Ketika Perda PPA masih seumur jagung, Komisi D justru mengeluarkan stateman membubarkan P2T P2A yang merupakan lembaga inisiatif Pemerintah Pusat dan pembentukannya lewat SK Bupati. Statemen ini sangat kontradiktif dengan disahkannya Perda PPA. Kalau P2T P2A dibubarkan, lalu mau dibawa kemana Perda PPA? Siapa yang akan mengawal kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Gresik? Apa Komisi D sendiri yang akan turun langsung mengadvokasi? Apakah mereka mempunyai kemampuan melakukan itu? Lalu gagasan pembentukan P2T P2A di Bawean yang rencananya akan diresmikan pada bulan November ini juga harus dibatalkan?. Ini satu point lagi yang menegaskan bahwa Komisi D isinya adalah orang-orang yang gagap wacana dan kebijakan. 

Pada isu pendidikan, Komisi D masih saja menjadi Komisi yang gagap wacana dan kebijakan. Contohnya pada kejadian luar biasa tentang kuliah jarak jauh, khusus program magister di Pulau Bawean. Pendidikan yang seharusnya menjadi media transformasi ilmu, justru menjadi pendidikan dagang sapi. Pendidikan hanya dimaknai sekedar gelar. Komisi D justru terkesan melegalkan praktek ini. Program Magister dari Universitas Mahardika Surabaya, dimana saya sendiri yang tinggal di Surabaya selama sepuluh tahun tidak tahu pasti dimana lokasi kampus tersebut. Akhirnya saya mencari tahu. Pada dasarnya kampus-kampus yang membuka program S2 di daerah-daerah adalah kampus yang tidak popular yang statusnya masih terdaftar, belum terakreditasi. Kenapa anggota DPRD Gresik cenderung bungkam terhadap kasus ini? Ya karena tidak sedikit dari mereka yang ijazah Sarjanahnya didapat secara kilat. Saya tidak tahu pasti, sekilat apa mereka mendapatkan ijazah Sarjanah itu. Salah satu anggota dewan dapil Bawean pernah saya tanya “Saya lihat di Banner/Spanduk kampanye sampean pakai gelar SH? Memang kuliah dimana? Setahu saya sampean tidak pernah kuliah” si Dewan menjawab “Iya saya kuliah kilat kok”. Sontak saya berkomentar “Enak donk, kuliah gak pake belajar. Kalau yang kuliah beneran saja belum tentu pinter, gimana mereka yang kuliah kilat?”. Jangan tanya kelanjutan dialog ini, endingnya si dewan wajahnya jadi merah kayak kepiting rebus. 

Komisi D memang sering datang langsung melihat kondisi sekolah di Pulau Bawean. Tapi komposisi dan alokasi dana bantuan pembangunan sekolah masih saja tidak tepat sasaran. Masih banyak sekolah-sekolah yang bangunannya tidak layak justru tidak tersentuh dana bantuan rehab gedung. Alasannya, dana sudah diatur alokasinya pada saat penetapan APBD. Jadi kalau ada sekolah yang roboh harus menunggu tahun depan pembangunannya? Beruntunglah sekolah-sekolah yang masuk kelurahan/ desa dimana disitu merupakan lumbung suara anggota Dewan, karena mereka akan cenderung mendapat prioritas. Komisi D harus tetap mempejuangkan komposisi 30% alokasi APBD untuk pendidikan tahun 2012, jika tidak ingin selalu divonis sebagai Komisi yang gagap wacana dan kebijakan.

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean