Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Kembali Lagi

Kembali Lagi

Posted by Media Bawean on Jumat, 04 Mei 2012

Media Bawean, 4 Mei 2012 

Oleh : Sumiyati (Penulis Mingguan Media Bawean) 

Di yang cerah, secerah wajah Nadia yang baru saja keluar dari mobil avanza hitam miliknya. “Ya Allah….. akhirnya hamba sampai juga, terima kasih Engkau telah melancarkan perjalanan pulang hamba”. Katanya lirih. Nadia melihat ke sekitar rumahnya. Pantesnya bukan rumah, melainkan gubug monyet karena rumah itu memang tidak layak dikatakan rumah. Air mata Nadia jatuh, teringat kemasa empat tahun yang silam saat dia kabur dari rumah itu tengah malam. Dia memilih kabur dari rumahnya daripada dipaksa nikah dengan lelaki yang tidak di cintainya. Meskipun begitu Nadia bukan tipe anak yang durhaka pada orang tuanya, dia lakukan itu karena dia merasa belum bias membahagiakan orang tuanya terutama pada ibunya yang telah melahirkan ke dunia ini. ‘AKU HARUS BISA MEWUJUDKAN SEMUA IMPIAN ORANG TUAKU’, bermodal dari prinsip itulah dia nekad kabur dari rumahnya.

“Assalamu’alaikum”. Kata Nadia sambil mengetuk pinyu yang terbuat dari kayu jati. Namun, samapai ucapan salam yang ketiga kalinya tetap tidak da jawaban dari dalam. “Ibu dan ayah kemana ya? Mungkinkah sudah berangkat ke sawah? Ataukah sudah tidak mau menyambut kedatanganku lagi? Ataukah mereka sudah menganggapku mati karena selama empat tahun tidak kembali?”. Saat beribu pertanyaan dan kemungkinan berkecamuk dalam benaknya tiba-tiba seseorang datang.

“Maaf, Ibu cari siapa ya?”. Nadia keget setengah mati mendengar sapaan yang ternyata Tari, sahabat akrabnya sedari kecil.

“Apa benar ini rumahnya Bu Farida?”. Tanya Nadia kepada Tari.

“Benar, tapi Bu Farida pergi kesawah sejak tadi pagi-pagi sekali. Kalau Ibu ada perlu dengan Bu Farida lebih baik datangi kesawahnya saja, biar saya antar”. Kata Tari dengan ramah dan sangat sopan.

“Terima kasih. Maaf kalau sudah merepotkan”. Kata Nadia tak kalah ramahnya. “Tidak apa-apa, Bu”. Kata Tari yang beluk tahu kalau disampingnya adalah sahabat karibnya .

Dalam hati nadia agak jengkel juga karena Tari memperlakukannya seperti orang yang baru di kenalnya. Mungkin karena penampilan Nadia yang terkesan mewah sehingga Tari tidak mengira kalau di sampingnya adalah Nadia. Ditengah perjalanan Nadia sibuk merangkai kata-kata yang pas untuk memancing apakah Tari masih mengingatnya. “Di rumahnya Bu Farida tadi kok sepi sekali ya? Kemana suami dan anaknya?”. Nadia mulai melempar kata-kata yang bisa memancing Tari.

“Bu Farida dan suaminya pagi-pagi sekal sudah kesawah, Bu. Sedangkan Nadia, putri semata wayangnya sudah empat tahun menghilang”. Kata Tari penuh antusias. “Menghilang bagaimana?”. Kata Nadia pura-pura tidak mengerti.

“Kabur, Bu. Gara-gara di paksa nikah dengan lelaki yang sangat dia benci. Itulah Nadia Bu, kalau sudah bukan maunya tidak bisa di paksa”. Kata Tari tanpa mengurangi keramahannya.
“Sepertinya anda kenal sekali dengan Nadia?!”. kata Nadia.
“Saya dengan Nadia bukan hanya kenal sekali, melainkan sudah seperti saudara kandung”.
“Seandainya Nadia kembali, anda tentunya sangat senang sekali”.
“Tentu, Bu. Akan saya peluk dia erat-erat, karena saya sudah rindu sekali padanya”. Kata Tari, matanya mulai berkaca-kaca.

Hati Nadia berdebar-debar. Tidak bisa dibayangkan bagaimana senangnya karena Tari juga merindukannya. Nadia lalu membuka kacamata dan topinya sehingga terurailah rambut panjangnya. Bagai disambar petir hati Tari melihat wajah yang sangat dia rindukan. Tanpa banyak bicara keduanya hanyut dalam tangisan, melampiaskan kerinduan karena sudah empat tahun tidak bertemu.

“Ya Allah…… Nad, aku kira kau sudah mati”. Kata Tari di sela tangisnya.
“Alhamdulillah, Tar. Allah masih sayang padaku”.
“Sungguh tak pernah kubayangkan kau akan jadi orang”. Tari sambil mengusap air matanya. “Aku sangat merasa kehilanganmu dan mengkhawatirkanmu, Nad”.
“Terima kasih Tar, aku baik-baik saja juga berkat doamu”.

Tanpa terasa mereka sudah sampai di pesawahan. Tari meminta Nadia agar kembali memakai topi dan kacamatanya dengan maksud membuat kejutan pada Bu Farida, ibunya Nadia. Nadiapun menuruti permintaan Tari.

“Assalamu’alaikum, Bude”. Tari menyapa Bu Farida yang tengah asyik menyiangi tanaman padinya.

“Wa’alaikumussalam. Eh…. Nak Tari, tumben mencari Ibu sampai kemari, ada apa Nak?”. “Ada yang mau bertemu dengan Ibu”. Tari menoleh kearah Nadia yang ada di sampingnya. “Ada apa ya, Nak?”. Bu Farida mencuci kedua kaki dan tangannya lalu mengajak suaminya pulang. Tidak sedikit warga yang penasaran dengan hal itu, tapi Bu Farida tidak mempedulikannya walau sebenarnya Bu Farida dan suaminya juga sangat penasaran, karena sebelumnya mereka tidak pernah kedatangan tamu yang sangat istimewa seperti saat ini. Sepanjang perjalanan pulang mereka lebih memilih diam.

“Ada apa ya nak, apa ada yang bisa saya bantu?”. Kata Bu Farida setelah berganti pakaian dan menyuguhkan minuman untuk mereka. Tak lama kemudian pak Haryo, suami Bu Farida ikut nimbrung.

“Bagini, Bu. Sebelumnya saya minta maaf kalau nantinya pertanyaan saya terkesan ikut campur dalam urusan rumah tangga Ibu”. Kata Nadia sambil membenarkan posisi duduknya. “Tidak apa-apa, nak. Tanyakan saja!, iya kan Bu?” kata pak Haryo.

“Terima kasih, Pak, Bu. Saya hanya mempunyai dua pertanyaan. Pertanyaan yang pertama, apa benar putri semata wayang Ibu dan Bapak melarikan diri dar rumah ini?”. Tanya Nadia sambil memandang wajah kedua orang tuanya secara bergantian. Dalam hati Nadia sangat bahagia karena masih diberi kesempatan untuk bertemu dengan orang tuanya dan berharap agar mereka mau menerima kedatangannya.

“Benar, nak. Putri kami satu-satunya kabur dari rumah ini empat tahun yang lalu dia kabur karena kesalahan kami juga yang terlalu memaksanya untuk menikah dengan lelaki pilihan kami”. Kata Bu Farida sambil menundukkan kepalanya.

“Maaf Bu, kalau pertanyaan saya membuat Ibu sedih”. Kata Nadia merasa bersalah. “Tidak apa-apa, nak. Lanjutkan saja pertanyaannya”. Pinta pak Haryo.

“Terima kasih pak, sekarang pertanyaan saya yang terakhir , apa Bapak dan Ibu mau memaafkan dan menerimanya seandainya Nadia kembali?”. Kata Nadia.

“Tentu, nak. Kami akan menerimanya dengan senang hati”. Kata Pak Haryo dan Bu Farida bersamaan.

Mendengar jawaban kedua orang tuanya yang mau menerima kedatangannya, Nadia segera membuka topi dan kacamatanya sehingga terlihatlah begitu jelas wajah Nadia. Nadiapun langsung minta maaf pada kedua orang tuanya karena telah meniggalkan mereka tanpa pamit.

Bu Farida tidak bisa berkata apa-apa dari saking bahagianya melihat putri semata wayangnya kembali lagi. Pak Haryo tak henti-hentinya berucap kata syukur pada-Nya. Sebagian warga yang baru tahu dari Tari kalau Nadia pulang, berduyun-duyun kerumah pak Haryo untuk mengetahui perjalalnan yang Nadia tempuh sampai menjadi orang sukses.

“Saya pergi hanya membawa ijazah SMA dan beberapa potong baju saja, tapi Alhamdulillah sepanjang perjalanan yang saya tempuh hampir tidak ada rintangan yang berarti hingga bertemu dengan Jessica, teman dekat saya di sekolah. Jessica dan keluarganya meminta saya untuk tinggal di rumahnya. Walau rasanya tak enak hati, saya turuti permintaan keluaraga Jessica. Sungguh diluar dugaan saya, ayah dan ibu Jessica memperlakukanku seperti anak kandungnya. Mereka memeberi saya fasilitas yang lengkap, tak cukup itu saja mereka juga mengkuliahkan saya dan Jessica di universitas yang sama”. Nadia diam sesaat, teringat saat Pak Reno, ayah Jessca membicarakan tentang langkah yang harus Nadia tempuh.

“Nad, seminggu lagi kamu dan Jessica sudah mulai kuliah. Nanti kalian berangkat kuliah bersama!. Tapi ingat, kamu harus belajar bawa mobil sendiri karena di rumah ini tidak ada sopir pribadi yang akan mengantarkanmu kuliah seandainya Jessica sakit dan tidak bisa kuliah. Nanti biar saya ajari kamu bagaimana caranya bawa mobil”. Kata Pak Reno saat mereka semua baru selesai makan malam bersama.

“Tiga bulan kemudian saya bekerja di swalayan yang tidak begitu jauh dari rumah Pak Reno. Saya kerja setelah pulang kuliah. Dari kerja itu saya berharap bisa membayar kuliah, tap Pak Reno melarang dan menyarankan agar gaji saya di tabung saja untuk masa depan saya. Sebenarnya tidak enak hati numpang terus padanya, tapi Pak Reno selalu bilang kalau saya anaknya”. Kata Nadia melanjutkan ceritanya. “Disamping itu saya membantu Pak Reno memasarkan mebelnya, kebetulan usahanya bergerak di bidang mebel dan keramik. Alhamdulillah, usaha itu maju pesat dan kemudian saya di minta mengetuai pemasaran mebelnya. Dengan senang hati saya terjun ke usahanya dan berhenti kerja di swalayan. Meskipun Pak Reno menganggap saya anaknya, beliau tetap menggaji saya seperti karyawannya yang lain.. satu tahun kemudian mebelnya meledak di pasaran, saat itu tidak hanya dijual di dalam negeri saja, banyak orang luar negeri yang meminta Pak Reno mengekspor mebelnya. Dari hasil kerja itu saya berharap segera bisa mewujudkan impian orang tua saya yang sedari dulu menginginkan rumah tempat tinggal yang layak dan sawah yang luas sehingga hasil panennya nanti bisa dibagi-bagikan pada tetangga pada umumnya, fakir miskin dan anak yatim pada khususnya”. Kata Nadia panjang lebar.

Keinginan Nadia buka sekedar mmpi, setelah empat tahun dia berusaha menabung dan dirasa uangnya sudah lebih dari cukup, Nadia pulang untuk mewujudkan keinginan orang tuanya. Nadiapun segera merenovasi tempat tinggalnya yang menurutnya gubug monyet karena dia hanya dapat cuti sebulan, padahal maunya renovasi itu dia sendiri yang ngawasi.

Dua bulan lebih renovasi itu baru selesai. Kini tempat tinggal Nadia sudah layak dikatakan rumah, bahkan rumah termewah di desa itu. “Alhamdulillah…. Terima kasih ya Allah, akhirnya hamba bisa mempersembahakan dua hektar sawah sehektar ladang dan sebuah rumah untuk orang tua hamba”. Kata Nadia saat melihat rumahnya yang masih di cat.

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean