Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Cerbung Eson: Berlabuh

Cerbung Eson: Berlabuh

Posted by Media Bawean on Kamis, 09 Agustus 2012

Media Bawean, 9 Agustus 2012

Tulisan : Abd. Rahman Mawazi (Wartawan Tribun Batam)


Teriakan yang diiringi suara gaduh mengagetkan Eson, penumpang dan kuli panggul yang berada di dek kapal. Eson pun beranjak, mengarah ke sisi tepi kiri kapal yang sudah bersandar di pelabuhan. Berbagai macam nada terdengar. Ada yang marah dan sekedar bekomentar biasanya. Belakangan diketahui seorang pria hampir terjatuh ke laut saat hendak menginjakan kakinya ke dermaga.

“Beri jalan. Jangan numpuk depan papan,” teriak sesorang.

“Awas, awas, gentian. Barangnya nanti saja,” seru seorang sembari menghalau kerumunan orang yang memadati jalan keluar dan masuk ke kapal itu.

Para penjemput menumpuk di tepian dermaga. Mereka seperti tidak sabar hendak melihat orang yang ditunggunya. Ada juga yang menerobos naik ke kapal dari bagian lambung tengah dan buritan saat kapal baru saja berhasil menyadar di pelabihan. Para penarik gerobak juga tidak kalah sigap dalam mencari pengguna jasanya. Tawar menawar harga. Jika sesuai barang akan langsung diangkut. Upah angkut barang Rp 10 ribu untuk ukuran biasa. Sedangkan barang yang lebih berat, upahnya bervariasi. Eson pun sempat mendapatkan tawaran, namun ia mangatakan tidak memiliki barang lain selain tas ransel. Dan mereka lalu beranjak ke penumpang lain.

Eson sengaja tidak berdesakan untuk keluar terlebih dahulu. Ia menunggu suasana sedikit legang. Apalagi, di lampu redup di pelabuhan tidak cukup baginya untuk mencari pamannya. Ridwan, pun berpamit untuk turun duluan setelah saudaranya menemui dan mengangkat satu koper barang bawaan.

“Saya duluan ya,” ucap Ridwan, yang telah bersiap pergi bersama istrinya.
“O, iya silahkan,” kata Eson pula.
“Mana paman mu?” tanya Ridwan lagi.
“Belum tau, sebentar lagi juga ketemu. Taka pa-apa. Silahkan duluan,” ucap Eson.

“Oke lah,” ujar Ridwan lagi. Mereka pun bersalaman. Ridwan berpesan agar menyempatkan diri mampir ke rumahnya di Sokaoneng.

“Son,” tegur seseorang. Dia adalah paman Bahar. Eson sempat sedikit khawatir salah menduga. Namun, begitu pamannya menghampiri dan bersalam, Eson yakin bahwa dialah Bahar, paman yang akan menjeputnya.

“Mana barangnya,” tanya dia.
“Gak ada. Cuman bawa tas saja,” jawab Eson.

“O… Ayo lah kita naik,” ajak Bahar lagi lalu beranjak meninggal tempat itu. Layaknya orang baru bersua, dalam antrian keluar dari kapal, pamannya menanyakan barbagai hal. Mulai suasana perjalan hingga kabar keluarga Eson di Batam. Bahar adalah abang dari ibunya. Mereka sempat bertemu saat pamannya transit di Batam ketika baru pulang dari Malaysia. Paman Bahar itu lebih dikenal dengan sebutan Bhe’ang di kalangan orang kampung. Termasuk ibu Eson. Namun, bagi Eson, pengejaan itu sedikit sulit dan tidak terbiasa dengan lidahnya.

Eson merasa lega begitu ketika sudah menginjakkan kaki di pelabuhan. Dia pun hanya mengikuti arah pamannya berjalan diantara rumunan orang. Pamanya membawa mobil pick up yang biasa digunakan untuk mengangkut material bangunan. Pekerjaan menyopir. “Hai… Son,” teriak suara perempuan dari jauh.

Eson yang tidak tahu sumber suara mencoba mencari. Dari jarak 10 meter, ia menemukan orang yang melambaikan tangan ke arahnya. Ternyata, perempuan itu memanggil orang lain. Bukan dirinya. Eson pun lantas menolehkan lagi pandangannya dan mengikuti arah pamahnya berjalan. Berjalan menuju mobil yang di parkir agak jauh.

“Hai, Son,” tegur seseorang pula. “Masih ingat gak?” tanyanya lagi sembari mengulurkan tangan.

Eson sedikit terdiam. Ia belum berani menjawab. Lalu pria itu berujar, “aku Pipi. Hanafi. Lupa ya,” tegasnya.

“Walah… maaf, aku yang pangling. Aku ragu karena samar-samar. Tapi kok kayaknya kenal suaranya,” jawab Eson pula.
“Ini Puput. Putri. Masak gak ingat juga?”
“Oh… maaf lah. Maklum masih mabuk kapal,” jawab Eson yang sedikit kaget. Puput atau Putri hanya tersenyum saja. Mereka pun bersalaman.

“Mentang-mentang dah di Batam, lupa sama kami yang di sini,” ucap Puput pula. Eson sebenarnya merasa malu. Ia tidak menyangka dua orang yang biasanya bercakap-cakap lewat telpon tidak ia kenal. Hanafi sedikit lebih berisi sedangkan Puput terlihat sedikit langsing dari posturnya yang agak tinggi. Mereka sudah sama-sama tumbuh besar, menjadi seorang remaja dan gadis. Begitu juga Eson. Eson berusaha menutupi rasa malunya dengan berbagai alasan. Dalam hati, Eson masih mencoba melihat ke arah lain. Ia sedikit khawatir ada orang lain yang juga akan menyapanya.

“Si Puput ikut jemput keluarga,” terang Pipi.
“O, sudah ketemukah,” tanya Eson menimpali.
“Sudah, itu di masih di tengah. Masih cari-cari barang,” ujar Puput.
“Terus mau ke mana nih. Mau ke rumah mang Bahar atau ke rumah ku dulu?” tanya Pipi lagi.
“Aku ikut obek saja lah. Gak enak pula,” saut Eson.
“Ya udahlah. Nanti aku nyusul.” ujar Pipi.

Eson pun melangkah ke arah mobil pamannya. Ia lantas beranjak dua orang teman bermain tempo kecil dulu. Namun ada satu hal yang membuat Eson masih gundah. Ia tidak melihat Ila. Tadi Eson sempat menoleh ke beberapa sisi setelah pertemuan dengan Pipi dan Puput. Ia tak ingin Ila yang sampai menyapa duluan dan apalagi dianggap sombong. Puput pun tidak memberikan kabar.

“Aku pulang duluan ya?” ucap Eson dengan nada sedikit keras dari mobil.
“Iya, aku di sini dulu. Nanti ke rumahmu,” ujar Pipi yang juga dengan nada sedikit keras.

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean