Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Cerbung Eson: Tiga Generasi

Cerbung Eson: Tiga Generasi

Posted by Media Bawean on Jumat, 10 Agustus 2012

Media Bawean, 10 Agustus 2012

Tulisan : Abd. Rahman Mawazi (Wartawan Tribun Batam)


Rumah itu masih gelap. Paman Bahar memberhentikan mobilnya pas di halaman. Halaman yang tidak begitu besar dengan tiga pohon mangga di depannya. Persis di sebelah jalan raya. Eson masih mengenal rumah itu. Kelihatan sedikit tidak terawat dibandingkan beberapa tahun silam saat ia melihat terakhir kalinya. Itulah rumah yang ia tinggali semasa di Bawean. Rumah peninggalan kakek nenek.

“Kita mampir di sini dulu. Nanti baru ke rumah obek,” ajak paman Bahar sembari meminta Eson turun dari mobil. “Dulu kamu keluar dari rumah ini. Dan sekarang sekarang pulang ke rumah ini. Ini tradisi,” lanjutnya.

Eson tidak banyak tanya. Ia pun turun dari jok mobil pickup pamannya. Menunggu pintu dibuka oleh sang penghuni. Dari luar, rumah itu tampak diterangi lentera. Samar-samar cahayanya pun tampak mendekat ke arah pintu lalu membukan pintu. “Kayaknya tidurnya nyenyak nih, maaf mengganggu. Ini Eson, yang dulu tinggal di rumah ini,” sapa Bahar kepada penunggu rumah sekaligus mengenalkan Eson. “Sigit,” pria itu mengenalkan diri dan bersalaman dengan Eson. “Eson,” jawabnya pula.

Tanpa basa-basi Singit pun mempersilahkan masuk. Ia menyuruh istrinya membuat minuman untuk tamunya di pagi buta itu. Paman Bahar yang sudah akrab dengan penunggu rumah pun bercakap-cakap ringan. Ia menceritakan ihwal Eson yang sudah hampir satu dasawarsa meninggalkan Bawean dan rumah itu. Di rumah itulah Eson dilahirkan 18 tahun silam. Terakhir kali ia melihat rumah itu saat keluarganya berangkat merantau ke Batam, tujuh tahun lalu, usai menamatkan sekolah dasar. Satu bufet masih berdiri di bagian ruang tamu. Itu adalah lemari tempat menyimpan barang pecah belah milik keluarga. Di dalamnya, masih tampak satu piala milik orang tuanya. Kursi tamu pun masih yang seperti dulu, sebuah kursi tamu berwana hijau kusam dengan sobekan di bagian tertentu.

Eson yang tidak begitu banyak menguasai bahasa Bawean hanya lebih banyak diam. Tidak telalu larut dalam percakapan antara si penunggu rumah dengan pamannya. Ia hanya berupaya memandangi rumah yang tidak dilengkapi dengan plapon itu. Kondisinya memang tidak banyak berubah. Retakan tembok di samping rumah kini terlihat jelas.

Seperti kebanyakan rumah model lama di Bawean, rumah yang sudah digunakan oleh tiga generasi itu tidak banyak memiliki ruang. Ruang tamu tidak dibatasi dengan skat-skat lagi ke bagian dapur. Pemisah antara ruang adalah dua bufet. Di kiri, bila memasuki rumah, terdapat dua kamar berderat. Dari pintu depan, bisa tembus melihat ke belakang. Tamu yang datang pun bisa melihat banyak ruangan dan mengetahui aktivitas orang dalam rumah. Desain itu, konon, agar bisa menampung lebih banyak orang ketika memiliki hajatan.

“Rumah ini dulu tempat kakek dan nenekmu. Terakhir yang tinggal ya kamu, setelah obeku mu merantau ke Tanjungpinang terus ke Malaysia. Masih ingat gak sama owa nyai?” tutur Bahar.

Eson yang setengah melamun memandangi rumah sedikit tecengah dengan pertanyaan pamannya itu. “Masih bek,” jawabnya.

“Kayak ginilah rumahnya sekarang. Untunglah masih ada yang mau tinggal di sini. Kalau tidak mungkin sudah tidak terawat lagi. Biar kecil dan jelek-jelek begini, inilah peninggalan kakek-nenek mu. Bapak mu yang banyak membantu membangun. Obek-obekmu waktu itu sudah sibuk ngurus keluarga mereka masing-masing,” terangnya.

* * *

Rumah ini ada di kampung Rojhing, tidak jauh dari dermaga tempat Eson berlabuh semalam. Posisinya yang di pinggir jalan lingkar Bawean, tidak menyulitkan bagi siapapun yang mencari. Tanah dan rumah itu adalah pemberian dari seorang tuan tanah. Sang tuan tanah itu ingin masjid yang berada tak jauh dari rumah memiliki seorang imam. Ia pun mendatangi kakek Nawawi dan nenek Jasimah yang ketika itu masih tinggal di Lepbhek. Kakek Nawawi yang belum memiliki rumah sendiri pun lantas menerima tawaran itu. Ia mendapatkan sebidang tanah seluas separuh lapangan sepak bola beserta rumah yang dibangun gotong royong oleh warga kampung. Rumah dengan tabing. “Dulu kakek itu dipanggil kiai oleh warga. Sebenarnya kakek bukan orang Bawean, kakek orang Jawa, tapi entah Jawa mana?” kisah ibu Eson di suatu waktu. Ibunya mengaku tidak pernah melihat ayahnya, kakek dari Eson itu, karena telah meninggal saat masih dalam kandungan, hanya mengenal nama saja. Silsilahnya pun tidak diketahui, baik oleh keluarga maupun oleh warga di Lepbhek dan Rojhing.

Saat menjadi pemuka di kampung itu, kakek Nawawi lebih banyak mengabdikan diri untuk mengajar mengaji kepada warga sekitar. Sesekali ia mengisi pengajian di luar kampung. Sebagai kiai, namanya juga telah dikenal banyak kalangan di Bawean kala itu. Konon, dahulu juga pernah hidup seorang kiai di kampung itu. Namanya Asy’ari. Orang mengenalnya juga sebagai kiai Ngari. Menurut pamah Bahar, rumahnya tidak jauh dari depan masjid itu juga, di sebrang halaman masjid. Sedangkan sang nenek, Jasimah, hanya menjadi ibu rumah tangga. Sesekali di panggil orang untuk menjadi juru masak, khususnya warga yang memiliki hajatan, seperti pernikahan. Sesekali ia memasak di kediaman seorang saudagar setempat. Masakannya terkenal enak sehingga banyak warga kampung memilih menggunakan jasanya.

Sepeninggalan kakek Nawawi, ibu Eson bersama dengan enam saudaranya lagi banyak yang telah tinggal dengan orang lain. Mereka dijadikan anak angkat. Bahkan ada yang sejak kecil sudah ikut bersama dengan orang lain. Mereka terpencar-pencar. Ada yang Songai Rajhe, Lepbhek, dan Rojhing. Kondisi ekonomi yang tidak memadai membuat keluarga besar itu terpencar. Pendidikannya banyak yang tidak tamat sekolah dasar, yang ketika itu masih bernama sekolah rakyat. Sedangkan yang ada di rumah itu hanya ibunya Eson dan seorang obek perempuan lainnya. Mereka pun berpencar merantau ke berbagai daerah. Yang tertua merantau ke Pontianak, Kalimantan Barat, yang kedua merantau ke Belitung. Keduanya adalah laki-laki. Sedangkan dua orang perempuan lainnya merantau ke Malaysia. Satu orang laki-laki, yakni Bahar lah yang masih menetap di Bawean. Ia pun sudah merantau ke Malaysia dan sudah memiliki Identity Card (IC) sebagai penduduk Malaysia. Dan ibu Eson merantau ke Batam, tempat Eson tinggal saat ini.

Desakan ekonomi membuat mereka merantau. Apalagi, kabar tempat perantauan itu telah memberikan banyak kesejahteraan bagi masyarakat. Keluarga dari ibu Eson pun memilih merantau bersama suami atau istri mereka. Tidak memiliki sepetak sawah pun, dan bekerja hanya sebagai buruh membuat mereka meninggalkan tanah kelahiran. Kondisi ekonomi yang tidak memadai membuat keluarga besar itu terpencar.

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean