Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Guru Robot Pakai Remot

Guru Robot Pakai Remot

Posted by Media Bawean on Kamis, 02 Mei 2013

Media Bawean, 2 Mei 2013

“Nyerap Elmo atau Nuntut Elmo?” 
Sebuah Refleksi Menyambut Hardiknas 

Oleh : Sugriyanto, S.Pd. (Guru SMAN I Sangkapura)


Kalangan pendidik (guru) mulai dengan segala kesibukannya menyambut hari kebesaran dan kebanggaan sebagai tonggak sejarah dalam memperjuangkan nasib bangsa menuju bangsa bermartabat yang sejajar, bahkan lebih dari bangsa lain yakni Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas).

Sejenak atret ke belakang untuk menengok kembali kisah sejarah bangsa Indonesia yang dipelopori oleh tokoh pendiri pendidkan Taman Siswa yakni KI Hajar Dewantara. Sebelum mencapai titik kulminasi perjuangan bangsa dalam mencapai kemerdekaan bangsa ini dibelenggu kuat oleh penjajah. Awal mula Ki Hajar Dewantara (Suwardi Suryaningrat) bersama dua rekan seperjuangan yakni Douwes Dekker (Setyabudi Danudirjo), dan dr. Cipto Mangunkusumo mendirikan Indishe Partij (IP) di Bandung 25 Desember 1912 dengan ikatan “Tiga Serangkai” (Dwi Ari Listiyani: 2009:154). Kala itu gerakan yang beraroma politik amat dibenci bahkan dianggap perbuatan ‘dosa besar’ oleh penjajah karena dianggap akan merongrong kewibawaan atau ‘melawan’ kekuasaan yang telah digenggamnya. Sampai-sampai ketiga tokoh “Tiga Serangkai” diasingkan ke Belanda (Amesterdam). Namun, tidak dengan serta merta hasrat atau ‘naluri’ untuk membebaskan bangsa ini dari keterbelakangan menjadi surut bahkan terus menggelora bak ombak samudra yang tak pernah reda (meminjam istilah lirik lagu Bang Haji Rhoma Irama) di musim barat. Alhasil, dengan gerakan halus dan ‘gerakan di bawah tanah’ Ki Hajar Dewantara mendirikan perguruan Pendidikan Taman Siswa yang didirikan 3 Juli 1922 di Yoyakarta dengan sistem pondok Indonesia yakni pendidikan siswa dan guru dalam satu asrama.

Sungguh menjadi sebuah bahan kontemplasi atau renungan yang mendalam bagi kita khususnya kaum pendidik (guru) untuk tetap dan terus melanjutkan estafet penerus nilai-nilai luhur pendidikan dan pengajaran yang telah dirintis oleh pendahulunya. Seperti ajaran mulianya yang terus langgeng menggaung di dalam dinding-dinding ruang pendidikan yakni Tutwuri Hanbdayani dengan pola kepemimpinan “Ing ngarsa Sung tulodho, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” artinya “ Di depan memberi contoh, di tengah dapat memberikan motivasi, dan di belakang dapat memberikan pengawasan yang berpengaruh”. Ketiga domain “sakral” itu menjadi fondasi bagi para pendidik (guru) yang terejawentah dalam kehidupan nyata sehari-hari pada ruang pendidikan dan pengajaran.

Bagaimana implikasi praktis dari ajaran-ajaran founding father tersebut saat ini dalam dunia pendidikan dan pengajaran? Sedikit telah terjadi pergeseran nilai-nilai tatakrama dan sopan santun. Mestinya terus dan tetap dipertahankan nilai-nilai budi luhur yang menjadi buah dari perjuangannya dalam pendidikan dan pengajaran tersebut. Pergeseran itu sampai-sampai hendak menabrak “pagar” tatakrama yang menjadi warisan pendahulunya. Terkadang antara pendidik dan si terdidik bebas tanpa jarak sedikit pun yang melahirkan ilmua- ilmuan pandai yang minim nilai ketawadukannya. Di sinilah pendidik (guru) memosisikan diri sebagai mana mestinya. Meminjam istilah daerah kata “Nyerap Elmo”(red: kata nyerap pada huruf ‘e’ dibaca taling seperti huruf ‘e’ kata nenek} yang sedikit beda dengan kata “Nuntut Elmo”. Artinya sebagai terdidik atau murid yang akan menimba ilmu hendaknya berposisi atau meniru bagaimana orang tengah “nyerap buah” yang jatuh di kegelapan malam dengan berbekal obor atau suluh (red: Oncor) yang memang tidak tahu dan mengerti letak jatuhnya buah yang sebenarya. Tentu posisi tubuh membungkuk atau merendah sebagai simbol atau lambang ketawadukkan yang harus dilakukan si terdidik atau murid saat mencari llmu. Sebaliknya bila memakai kata “Nuntut Elmo” bisa berarti seolah guru harus segalanya dan penyedia seperti “toserba” saja. Tentu hal ini menjadi cermin bersama untuk mencapai sasaran dalam dunia pendidikan dan pengajaran. (Tengok kisah teladan Nabi Musa AS dengan Nabi Haidir AS, Sunan Kalijaga dengan Sunan Bonang dalam mendapatkan ilmu). Di sinilah guru mendidik dengan hati akan berbuah keberkahan.

Kita sudah mahfum bersama bahwa kata guru berasal dari kosa kata digugu dan ditiru. Digugu artinya diindahkan atau dipercayai; sedangkan ditiru artinya dicontoh atau diikuti. DR. Hamka Abdul Aziz, MSi dalam bukunya Karakter Guru Profesional Melahirkan Murid Unggul Menjawab Tantangan Masa Depan dalam BAB I Mengenal Jiwa Pendidik menyebutkan bahwa kata “guru” adalah gabungan dari kata Gu dan Ru. Gu artinya kegelapan, kejumudan, atau kelemahan. Sedangkan Ru artinya melepaskan, menyingkirkan atau membebaskan. 

Jadi, guru bisa berarti manusia yang “berjuang” terus menerus dan secara gradual, untuk melepaskan manusia dari kegelapan (idem: 2012: 19). Sebagai “pejuang” sejati dalam mengentaskan kejumudan itu perlu bekal yang wajib dimiliki dengan tugas dan tanggung jawab sebagai pendidik. Di dalam buku yang sama DR. Hamka Abdul Aziz, Msi menyampaikan tugas utama guru yakni membaca, mengenal, dan berkomunikasi. Jika guru enggan atau malas tidak mau membaca, mengenal, dan berkomunikasi lagi akan melahirkan sosok guru sebagai “guru kurikulum” yang kering’ berwujud “robot” pendidik yang mengikuti “remot” skenario pembelajaran tanpa adanya improvisasi dan inovasi. Setidaknya dalam momentum peringatan “Hardiknas” ini hendaknya guru memposisikan diri sebagai guru inspiratif yang selalu dirindukan kehadirannya dengan modal banyak membaca.

Rupanya, Hardiknas akhir-akhir ini diperingati sekadar sebagai seremonial formal saja – yang sebagian besar kegiatannya- berupa euforia untuk menyenangkan (red : maperak) anak didik dalam agenda rutin tahunan yang meliputi upacara, olahraga dan lomba-lomba yang sifatnya sesaat. Alangkah merdunya gema Hardiknas terngiang terus di telinga bila peringatan itu dijadikan peluang emas diisi oleh pendidik atau guru dengan kegiatan yang membawa nilai tambah secara istiqomah dengan semboyan utamanya tiada hari tanpa membaca (Iqra’). Sebagaimana ungkapan bijak “Perang dingin telah berlalu, perang bintang hanya hayalan belaka, perang informasi akan menjadi nyata.” Kunci utama untuk menguasai dan memenangkan dalam perang nyata untuk penguasaan informasi berupa pengetahuan dan teknologi adalah dengan gemar dan giat membaca. Semoga peringatan hardiknas tahun ini (2 Mei 2013) dijadikan pilar alias soko guru (red: sasaka) sebuah bangunan dalam mengemban dan menerusakan nilai-nilai luhur dari para pejuang pendidikan. 

Dengan Hardiknas yang bermakna ini kita sambut “Golden Generation” 2030 mendatang dengan tetap mengedepankan karakter bangsa dengan budaya “ketimurannya” yang cukup kental. Tunduk dan tawaduk modal utama untuk merengkuh ilmu pengetahuan dan teknologi yang diajarkan Sang Guru dalam pendidikan Taman Siswa di sekolah.  

Selamat Hardiknas!

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean