Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » , » Esensi Partisipasi Masyarakat
Dalam Pesta Demokrasi Rakyat

Esensi Partisipasi Masyarakat
Dalam Pesta Demokrasi Rakyat

Posted by Media Bawean on Rabu, 19 Juni 2013

Media Bawean, 19 Juni 2013 

 Oleh: Jamaluddin, S.Si, M.Pd.I  (Ketua PPK Sangkapura)

A. Bentuk Kedaulatan Rakyat

Sistem pemerintahan demokrasi telah lama menunjukkan karakternya dan tetap teguh menentang absolutisme dan kediktatoran kekuasaan. Dari sejarahnya, demokrasi lahir atas sebuah kondisi dimana ada kesewenang-wenangan dan otoriteritas diktator yang menyengsarakan rakyat. Posisi rakyat selalu dilemahkan, karena aturan yang diberlakukan dan diterapkan dalam menyelenggarakan kekuasaan adalah aturan sang diktator. Untuk itu, gagasan demokrasi lahir sebagai sebuah haluan yang menghendaki bahwa aturan yang digunakan untuk menjalankan kekuasaan adalah yang dibuat oleh rakyat sendiri. Dari sebuah upaya menentang absolutisme kekuasaan, rakyat kemudian bersatu dan menggagas bahwa kekuasaan adalah dari, oleh dan untuk rakyat. Bahkan dalam sebuah konsepsi yang lebih kongkrit, demokrasi dijalankan sebagai kekuasaan dari, oleh dan bersama rakyat. Hal ini dapat diartikan bahwa kekuasaan itu pada prinsipnya berasal dari rakyat, sehingga rakyatlah yang sebenarnya menentukan dan memberi arah serta yang sesungguhnya meyelenggarakan kehidupan kenegaraan. 

Terkait dengan aplikasi demokrasi dalam pemerintahan, Presiden Amerika Serikat, Abraham Lincoln menyiratkan tiga elemen kunci demokrasi. Pertama, demokrasi itu bersumber “dari” rakyat bukan berarti sekedar diakui oleh rakyat tetapi mestilah memperoleh legitimasi yang bersumber dari komitmen kesetujuan penuh rakyat terhadapnya (pemerintah terbentuk atas persetujuan). Kedua, demokrasi adalah “oleh” rakyat bermakna bahwa rakyat berpartisipasi secara aktif dalam proses pemerintahan. Ketiga, demokrasi adalah “untuk” rakyat berarti bahwa rakyat berupaya mewujudkan kesejahteraan umum dan melindungi hak-hak individu rakyat.

Dari ketiga elemen tersebut, partisipasi rakyat dalam pembangunan adalah keharusan. Prinsip pembangunan yang paling baik adalah manakala bersumber daripada kepentingan rakyat dengan melibatkannya dalam proses pengambilan keputusan. Selama ini kecenderungan pelibatan rakyat dalam proses pembangunan masih dalam tataran wacana. Adapun ketika sampai pada proses aplikasinya, lebih sering diabaikan daripada dilibatkan dalam arti yang sesungguhnya.

Dalam sebuah Negara yang demokratis, idelanya kekuasaan diselenggarakan bersama-sama dengan rakyat, yaitu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada rakyat untuk terlibat dalam penyelenggaraan kekuasaan, sehingga peran rakyat sangatlah penting. Sebuah Negara yang demokratis menghendaki adanya pemaksimalan pelibatan peran masyarakat dalam proses penyelenggaraan Negara. Penciptaan berbagai model penerapan gagasan demokrasi menjadi salah satu upaya untuk mempercepat hal tersebut. Proses penyelenggaraan Negara harus tunduk pada produk yang dihasilkan oleh rakyat. Melalui perwakilannya di lembaga legislatif, rakyat menciptakan sebuah aturan yang pada nantinya akan dijadikan sebuah pedoman dalam penyelenggaraan Negara. Untuk itu, tentunya sistem demokrasi akan dapat bekerja dengan baik ketika masyarakat dapat terlibat secara aktif. Di lain sisi, juga terdapat instrument lain yang tak kalah penting dan dapat digunakan dengan mudah untuk melihat demokratisasi dalam sebuah Negara, yaitu penyelenggaran Pemilu secara berkala.

Teori demokrasi yang pada umumnya mengusung kata-kata kedaulatan rakyat dalam kenyataannya seringkali menjadi simbol semu dalam suatu penyelenggaraan pemerintahan. Sebab, partisipasi rakyat dalam kebanyakan negara demokrasi hanya dilakukan empat atau lima tahun sekali dalam bentuk pemilu. Sedangkan, kendali pemerintahan sesungguhnya berada di tangan sekelompok kecil penguasa yang menentukan seluruh kebijaksanaan dasar negara. Sekelompok penguasa tersebut bertindak atas nama rakyat, sekalipun kebijakan-kebijakan yang diambil bukan untuk kepentingan rakyat yang telah ’’dilelang’’ suaranya saat pemilu. Tetapi hanyalah untuk melestarikan kekuasaan yang dipegang dan mengamankan kedudukan mereka sendiri.

B. Kenapa Terjadi Golput

Dalam konteks penyelenggaraan pemilu di Indonesia, sering kali mendengar istilah gerakan golput (golongan putih). Fenomena golput bukan hal asing bagi proses berjalannya dinamika demokrasi di Republik ini. Di era Orde Baru, sebenarnya, gerakan ini pernah muncul sekitar 1970-an. Hal ini terjadi karena golput tidak saja diartikan sebagai para pemilih yang tak menggunakan hak pilihnya. Ketika itu, golput yang dimotori sejumlah kalangan intelektual, telah menjelma menjadi sebuah gerakan politik yang menyuarakan kritikan pedas terhadap rezim Orde Baru berikut pelaksanaan pemilu yang tidak demokratis. Para pencetusnya melakukan seruan agar para pemilih tidak menggunakan haknya pada pemilu. Mengikuti pemilu, dalam pandangan mereka, berarti mengabsahkan proses pemilu dan rezim yang berkuasa. Tetapi golput pada Era Orde baru ini tidak efektif menentang rezim dikarenakan angka partisipasi pemilih tetap tinggi (terlepas dari manipulasi data dan lain sebagainya).

Di era otonomi daerah saat ini, pemilu termasuk konteks pemilukadapun tidak lepas dari tingginya angka golput. Padahal, orientasi yang muncul dilaksanakannya pemilukada adalah untuk meningkatkan partisipasi publik atau masyarakat. Beberapa pemilukada yang pernah digelar menunjukkan angka partisipasi yang tidak memuaskan, pantaslah kalau kemudian fenomena golput ini tidak dapat dipandang enteng walaupun angka golput yang besar sekalipun tidak akan mampu menggugat legitimasi hasil pemilukada ataupun pemilu yang lainnya. Persoalan golput pada pemilupun tidak dapat disederhanakan pada aspek pemilih saja melainkan pada seluruh aspek yang berkitan erat dengan pelaksanaan pemilu yang berasaskan luberjurdil. Mengingat pemilukada bersifat lokal seyogyanya angka partisipasi pemilih dapat ditingkatkan, persoalan yang dihadapipun tidak sebegitu kompleks dengan pemilu legislatif maupun pemilu presiden sehingga hal tersebut harus menjadi pertanyaan bagi kita semua, mengapa angka partisipasi pemilu yang luberjurdil begitu sangat rendah.

Beberapa hal dapat dianalisis dari beberapa persoalan yang muncul mengapa angka partisipasi pemilu begitu sangat rendah. Bukan menjadi rahasia umum lagi jika masyarakat kini memiliki apatisme yang tinggi terhadap pemilu. Cobalah jumpai masyarakat di pasar, di pesisir, dan daerah-daerah pinggiran, kita akan menjumpai tanggapan dan pandangan masyarakat yang beragam tentang pemilu yang telah dianggap tidak membawa perubahan bagi kehidupan mereka. Artinya paradigma masyarakat yang terbentuk selama ini adalah “hal manfaat apa yang didapat dari pemilu”, sehingga dapat membentuk sikap apatis terhadap pemilu, dan penilaiannya tidak lain adalah pemilu sebagai permainan politik uang semata untuk memperebutkan kekuasaan. Tidak heran jika ada pandangan bahwa jika ada angka partisipasi yang tinggi pada pemilu itu disebabkan karena manipulasi regulasi uang.

Kultur dan tingkat pemahaman yang rendah masyarakat terhadap pemilu ditambah pragmatisme kolektif membuat angka partisipasi dalam pemilu menjadi sangat rendah. Selain itu, kejenuhan masyarakat juga merupakan penyebab makin rendahnya tingkat partisipasi masyarakat. Sejak adanya pemilihan langsung, rakyat semakin sering mengikuti berbagai pemilu, baik dari tingkat pilkades, pemilukada kabapaten/kota, pemilukada gubernur, pemilu legislatif, maupun pemilu presiden. Tingginya frekuensi keterlibatan masyarakat dalam pemilu itu membuat masyarakat menjadi jenuh. Jika dicoba menghitung keterlibatan masyarakat dalam pemilu secara langsung selama lima tahun, masyarakat akan mengikuti 5 kali pemilu dalam berbagai levelnya (Pilkades, Pilbup, Pilgub, Pileg dan Pilpres).

Telah diduga juga bahwa Penyelenggara Pemilu menjadi salah satu instrumen yang menyebabkan kenapa angka partisipasi pemilu rendah dan telah menjadi sorotan atas ketidaksuksesan penyelenggaraan. Kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu melemah seiring banyaknya persoalan yang muncul. Persepsi masyarakat tentang ketidaknetralan, kinerja yang buruk serta kredibilitas yang rendah membuat publik merasa bahwa pemilu hanya sebatas seremoni saja. Misalnya banyak yang mempertanyakan kinerja Penyelenggara Pemilu tentang pendataan pemilih yang seringkali tidak akurat alias carut marut, menambah kesan bahwa penyelenggaraan pemilu seakan hanya menjalankan amanah seremonial pesta demokrasi rakyat semata.

C. Pentingnya Partisipasi Masyarakat

Negara yang demokratis sering ditafsirkan sebagai negara yang melibatkan rakyatnya secara keseluruhan dalam pengambilan kebijakan. Definisi inilah yang menjadi landasan untuk mengadakan pemilu secara luberjurdil. Tujuannya untuk memperoleh pemimpin yang memiliki tingkat legitimasi tinggi dari warga negaranya. Dengan legitimasi yang tinggi itu, diharapkan pemimpin akan dapat memimpin roda pemerintahan yang asperatif rakyat. Dalam kenyataannya selama 15 tahun reformasi berjalan, dapat disaksikan bahwa arah demokrasi di negara kita belum mencapai cita-cita bangsa sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Indikator dari ketidakberhasilan ini cukup mudah menggambarkannya. Misalnya, secara nasional, ini tampak pada masih tingginya angka kemiskinan, pengangguran, dan tindak kriminal yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Maknanya adalah bahwa pemilu yang diselenggarakan secara luberjurdil yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam menentukan siapa yang menjadi pemimpin di negeri ini, ternyata tidak sejalan dengan upaya yang diperoleh untuk mencapai tujuan bangsa. Diantara faktor yang menyebabkan berlakukan perkara ini adalah karena partisipasi rakyat dalam pembangunan hanya diperlukan dalam pemilu saja. Setelah pemilu, partisipasi mereka tidak menjadi sesuatu yang dianggap penting oleh pemimpin atas berbagai argumentasi. Seyogiyanya pelibatan rakyat dalam membangun bangsa ini jangan hanya terbatas dalam pemilu semata. Warga negara mesti dilibatkan dalam segenap proses pembangunan nasional, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan pemanfaatan.

Dampak yang paling kongkrit dari minimnya partisipasi rakyat dalam pembangunan, adalah semakin berkurangnya persentase pengguna hak suara dalam pemilu. Dalam pemilu, misalnya, semakin banyak rakyat yang tidak paham dan tidak percaya terhadap kegiatan yang sering disebut sebagai pesta demokrasi rakyat yang menghabiskan anggaran puluhan triliyun ini. Rakyat lebih diperlukan untuk memuluskan perjalanan sebuah partai politik dan para elitenya untuk melanggengkan kekuasaan, daripada dipakai sebagai upaya mengartikulasikan kepentingan masyarakat.

Pemilu menjadi indikator yang paling mudah dalam menentukan sebuah Negara tersebut demokratis atau tidak, karena Pemilu memberikan sebuah momentum kepada masyarakat untuk menentukan arah perkembangan sebuah Negara. Pada Pemilu, masyarakat dapat memilih para wakilnya dan menentukan siapa yang akan memimpin sebuah Negara pada nantinya. Untuk itu, momentum Pemilu juga membutuhkan sebuah pemkasimalan keterlibatan masyarakat. Tanpa adanya pemaksimalan pelibatan masyarakat, maka Pemilu hanya akan menjadi instrumen formal dan indikator penilaian demorkasi saja, tanpa adanya substansi. Dengan demikian, partisipasi masyarakat dalam proses penyelenggaran Pemilu harus terus ditingkatkan.

Namun, kondisi yang terjadi tidaklah demikian, hasil evaluasi Pemilu sebelumnya menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemilu selalu menurun. Hal ini dapat diketahui dengan semakin meningkatnya angka pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya atau menjadi golongan putih (golput) dalam setiap penyelenggaraan Pemilu. Tingginya angka golput ini sungguh mengkhawatirkan, karena telah mencapai hampir 30% . Ke depan, potensi golput dikhawatirkan semakin tinggi. Hasil survei yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada tanggal 1-12 Februari 2012 terhadap 2.050 responden dengan metode acak bertingkat memperkuat dugaan tersebut. Survei menyatakan bahwa lebih dari 50 persen responden berpotensi tidak akan memilih pada Pemilu 2014. Hanya 49 persen responden yang sudah mantap menentukan pilihan. Sebanyak 25 persen belum menentukan pilihan dan 26 persen masih ragu-ragu dan belum mantap dengan pilihannya. Hal ini terjadi karena terdapat sebuah kejenuhan masyarakat terhadap sistem dalam Pemilu itu sendiri.

Sebagaimana diketahui, kini sistem pemerintahan telah menentukan banyaknya pelaksanaan Pemilu, dari Pemilu legislatif, Pemilu Presiden dan pemilihan Kepala Daerah. Selain itu, pola tingkah laku para wakil rakyat dan banyaknya kepala daerah yang tidak bisa menunjukkan kinerja lebih baik, sehingga masyarakat kurang mendapatkan manfaat langsung dari adanya Pemilu. Ditambah parah lagi, pencitraan tingkah laku para wakil rakyat kebanyakan sangatlah memprihatinkan, dari kinerja yang seringkali mangkir, aksi pornografi, korupsi yang meraja lela dan tindakan amoral lainnya. Realitas ini tentu saja bertentangan dengan apa yang diinginkan oleh sistem demokrasi yang telah dibentuk. Fakta demikian, disertai kondisi yang tak kunjung berubah dan aspirasi rakyat yang terabaikan, kemudian dapat dijadikan alasan pembenar bahwa rakyat berhak merasa jenuh dan tidak percaya lagi terhadap para pemimpin dan wakil yang telah dipilihnya.

Penyelenggaraan pemilu ke depan, partisipasi pemilih mutlak perlu untuk ditingkatkan, tanpa adanya partisipasi pemilih, Pemilu hanyalah menjadikan sebagai objek semata dan salah satu kritiknya adalah ketika masyarakat tidak merasa memiliki dan acuh tak acuh terhadap pemilu. Penempatan pemilih sebagai subjek pemilu mutlak diperlukan sehingga pemilih turut berperan aktif menudukung dalam perencanaan, pelaksanaan hingga monitoring dan evaluasi pelaksanaan Pemilu sesuai dengan peran mereka masing-masing.

D. Meningkatkan Partisipasi Masyarakat

Pertanyaan yang kemudian muncul, mengapa seseorang berpartisipasi atau kurang berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemilu?. Ada faktor-faktor yang diperkirakan mempengaruhi tinggi rendahnya partisipasi politik seseorang, ialah kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah. Yang dimaksud dengan kesadaran politik ialah kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara. Hal ini menyangkut pengetahuan seseorang tentang lingkungan masyarakat dan lingkungan politik, menyangkut minat serta perhatian seseorang terhadap lingkungan masyarakat dan politik tempat dia hidup. Sedangkan yang dimaksud dengan sikap dan kepercayaan kepada pemerintah ialah penilaian seseorang terhadap kinerja pemerintah apakah ia menilai pemerintah dapat dipercaya dan dapat dipengaruhi ataukah tidak.

Faktor tersebut merupakan modal dasar yang dapat dimanfaatkan dalam membangun kehidupan politik yang lebih berkualitas. Upaya meningkatkan kesadaran politik serta membangun kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah bukan hanya menjadi kewajiban pemerintah melainkan salah satu tugas yang harus dijalankan oleh partai politik sebagai organisasi berbasis masyarakat dan ikut bertanggung jawab dalam proses pembangunan politik bangsa. Salah satu pihak yang dapat memberikan pengaruh yang besar terhadap partisipasi politik masyarakat dalam pemilu adalah partai politik. Proses memasyarakatkan demokrasi dan pengembalian kepercayaan rakyat terhadap sistem dan perwakilannya merupakan salah satu hal penting untuk dilakukan. Secara sederhana, kita dapat melandaskan cara-cara tersebut pada ketentuan Pasal 246 Undang-Undang Nomor 08 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota Legilatif. Terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan instrument untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam Pemilu. Dalam ketentuan tersebut, dapat diketahui bahwa partisipasi masyarakat dapat dilakukan menjadi empat bentuk, yaitu sosialiasi, pendidikan bagi pemilih, survei atau jajak pendapat dan penghitungan cepat.

Adanya beberapa konsep dan sarana bagi partisipasi masyarakat tentu saja perlu untuk dimaksimalkan. Pertama, hal yang perlu dilakukan adalah memaksimalkan proses sosialisasi tentang pentingnya Pemilu dalam sebuah Negara yang demokratis, bukan hanya sosialisasi teknis penyelenggaraan Pemilu. Meskipun dalam ketentuan undang-undang menyatakan bahwa sosialisasi dilakukan terkait dengan teknis tahapan penyelenggaraan Pemilu, namun sosialisasi segala hal yang melatarbelakangi dan esensi tujuan diselenggarakannya Pemilu perlu untuk dilakukan. Hal ini menjadi penting karena penanaman pemahaman terkait dengan substansi dan kaidah-kaidah demokrasi merupakan inti penggerak semangat masyarakat untuk terus menjaga demokrasi dan penyelenggaraan Pemilu di Negara ini.

Kedua, pendidikan bagi pemilih perlu mendapatkan fokus yang jelas. Ini terkait dengan proses segmentasi pendidikan pemilih. Pemilih pemula merupakan segmentasi penting dalam upaya melakukan pendidikan bagi pemilih dan tentunya pendidikan bagi pemilih pemula ini tidak hanya dilakukan ketika masuk usia pilih. Namun lebih dari itu, pendidikan bagi pemula seyogyanya dilakukan sedini mungkin, sehingga pemahaman hakekat demokratisasi sudah terbangun dan ketika sudah mencapai usia pemilih, para pemilih pemula sudah siap menggunakan hak pilihnya secara cerdas. Pengetahuan tentang substansi dilakukannya pemilu sebagai bentuk kedaulatan rakyat dan peran masyarakat termasuk pemilih pemula menjadi penting untuk disampaikan dalam materi kegiatan pendidikan bagi pemilih, sehingga dapat berperan dalam mengambil bagian untuk berpartisipasi pada setiap penyelenggaraan pemilu.

Ketiga, survei atau jajak pendapat dan penghitungan cepat yang kini banyak mendapatkan sorotan publik terkait dengan integritas pelaksanaannya. Banyak anggapan bahwa survei atau jajak pendapat dan penghitungan cepat dilakukan hanya untuk kepentingan profit saja. Namun, di satu sisi, perlu diperhatikan bahwa keberadaan kegiatan survei atau jajak pendapat dan penghitungan cepat sangatlah penting. Kegiatan tersebut juga bisa dijadikan sebuah sarana untuk menyebarluaskan informasi terkait dengan penyelenggaraan Pemilu. Untuk itu, kegiatan survei atau jajak pendapat dan penghitungan cepat perlu mendapatkan dukungan, karena kegiatan tersebut merupakan sarana yang tentu saja bukan hanya ditujukan untuk menghitung atau profit saja, namun lebih dari itu, ada proses pendidikan bagi para pemilih serta informasi terkait dengan penyelenggaraan Pemilu.

Keempat, tentu saja terkait dengan peningkatan kinerja penyelenggara Pemilu, bukan hanya terkait dengan kinerja teknis penyelenggaraan, namun juga dalam hal penumbuhan kesadaran tentang pentingnya partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemilu, sehingga masyarakat bisa memahami partisipasi apa saja yang dapat dilakukan dan apa output dari partisipasi tersebut. Bentuk netralitas, transparansi dan tanggung jawab sebagai kepribadian utama dari penyelenggara pemilu perlu dikedepankan dalam mengawal suksesnya setiap tahapan penyelenggaraan pemilu. Jika sudah ditanamkan kepercayaan atas kometmen kejujuran dan ketidakberpihkan, maka masyarakat bisa antusias dalam ikut berpartisipasi dalam setiap penyelenggaraan pemilu.

E. Penutup

Sosialisasi yang tidak masif pada level masyarakat tentang pemilu dan cara memilihnya membuat masih banyak masyarakat yang belum tahu tentang adanya pemilu dan bagaimana cara memilihnya. Dalam konteks pemilu memang sangat jarang sekali dijumpai gerakan yang menyerukan golput, gerakan golput hanya akan muncul ketika semua instrumen dalam pemilu mengalami ketidakberesan. Walau bagaimanapun gerakan golput ini perlu mendapatkan perhatian, bukan tidak mungkin gerakan ini akan menguat menjelang pemilu mengingat banyak sekali celah yang memungkinkan untuk gerakan golput ini muncul.

Mengapa orang semakin enggan berpartisipasi dalam Pemilu, salah satu penyebabnya adalah bahwa mereka merasa tidak cukup melihat adanya tanda-tanda bahwa kalangan elite politik yang sudah menduduki jabatan menunjukan kinerjanya yang baik. Dari dahulu hingga sekarang, menurut penilaian konstituen, para elite Parpol dan atau kepala daerah hanya peduli pada konstituen jika hanya menjelang pemilu saja. Setiap kali menjelang Pemilu, para elite parpol dan kepala daerah banyak mengumbar janji manis kepada rakyat, akan tetapi setelah pemilu janji hanya tinggal janji, tidak pernah ditepati. Masyarakat merasa dimanfaatkan parpol dengan diiming-imingi janji kampanye melulu. Sekarang masyarakat sudah mulai tahu dan bisa menilai visi-misi dan kinerja para elite Parpol dan atau kepala daerah, dan bagi rakyat semua itu hanya janji-janji surga aja. Rakyat semakin malas, cuek, dan bosan ikut Pemilu. Beberapa kali pemilu tidak ada perubahan mendasar. Bagi mereka, buat apa ikut Pemilu. Sikap ini berlangsung terutama di perkotaan dan di kalangan orang-orang yang terdidik. Meski demikian, sikap itu hanya individual saja, tapi karena banyak dan masif, bisa saja akan menjadi signifikan.

Terlepas dari semua hal di atas, selama ini ditemukan banyak kasus penyelenggaraan pemilu yang berasaskan luberjurdil telah terjadi sengketa dan diselesaikan melalui mahkamah konstitusi, disamping itu tingginya angka golput tidaklah menjadi alasan untuk pemilu tidak legitimat. Sekalipun angka partisipasi masyarakat menunjukkan hanya sekitar 70 persen, hasil itu tetap sah dalam konteks demokrasi. Artinya gerakan dan pilihan untuk golput tidaklah menyelesaikan masalah. Hal terbaik yang harus dilakukan adalah memastikan semua syarat agar masyarakat tidak golput itu dipenuhi, kinerja semua Penyelenggara Pemilu (Dari KPU Pusat sampai dengan PPS) sebagai penyelenggara perlu ditingkatkan kinerjanya, masyarakat perlu dicerdaskan dan para calon serta partai pengusung menghindari cara-cara yang tidak bermartabat, dengan demikian dapat memastikan pemilu dapat diikuti oleh masyarakat dengan baik, dengan ditandai angka partisipasi masyarakat yang tinggi dalam setiap penyelenggaraan pemilu. Kepada penyelenggara pemilu, marilah menjadi pendekar sejati yang tidak mengenal lelah, lakukanlah sosialisasi atau penyuluhan untuk mengajak dan menyadarkan masyarakat agar mau untuk selalu berperan serta dalam setiap penyelenggaraan pemilu, demi tegaknya pemerintahan yang berlandaskan kedaulatan rakyat. 

Anda punya tulisan seputar Pulau Bawean, silahkan mail melalui : mediabawean@gmail.com
Informasi lengkap Media Bawean melalui Pin BB : 2654CFA2

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean