Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » , » Si Buta dari Bilik Suara "Pemilu"

Si Buta dari Bilik Suara "Pemilu"

Posted by Media Bawean on Rabu, 12 Maret 2014

Media Bawean, 13 Maret 2014 

Oleh : Hassan Luthfi (warga Pulau Bawean, tinggal di Yogyakarta) 

Tidak lama lagi pesta demokrasi akan segera digelar. Sebagaimana biasa setiap kali mendekati perhelatan pemilu, selalu ditandai dengan munculnya pahlawan-pahlawan kesiangan beserta para centengnya. Manusia-manusia berwatak demagogi yang bertopeng murah hati, berorasi menawarkan bantuan dan janji-janji hiperbolis sebagai strategi. Segala bentuk keberhasilan di Pulau Bawean dikupas tuntas dan diklaim sebagai hasil jerih payah partainya. Semua rekayasa itu merupakan bagian dari usaha mengelabui jati diri, yang berpura-pura tulus padahal dibalik itu hanya sebuah akal bulus.

Salah satu tujuan dilaksanakannya pemilu adalah untuk memilih wakil rakyat. Oleh sebab itu substansi yang perlu ditekankan adalah bagaimana memilih figur yang jujur, amanah, memiliki kapabilitas, rekam jejak yang baik, dan sebagainya. Seluruh calon anggota DPR dapil Pulau Bawean semuanya berbiodata agama Islam dan itu semestinya sudah tidak perlu diperdebatkan lagi. Pemilu bukan untuk memilih agama ataupun aliran dalam agama. Sulitnya membuka wawasan masyarakat guna merubah persepsi yang sudah terlanjur salah ini disebabkan oleh beberapa faktor. Diantaranya keterbatasan tingkat pendidikan dan pola pendidikan yang tradisional. Celah ini kemudian dimanfaatkan oleh sebagian besar politikus untuk menerapkan propaganda licik ala penjajah. Mendekati dan memanfaatkan ulama sebagai target utamanya untuk mempengaruhi masyarakat. Ulama diberi kain sarung, peci dan baju koko mahal agar mau memobilisasi massa. Akibatnya banyak orang tidak menggunakan hak pilihnya secara cerdas. Menentukan pilihan hanya karena ikut-ikutan, fanatisme, uang atau bentuk imbalan lainya.

Fenomena ini akhirnya berdampak pada implementasi ajaran agama Islam di Pulau Bawean, yang sudah semakin tampak berada dititik nadir. Hal ini dikarenakan ulama yang semestinya menjadi penuntun bagi masyarakat, telah terseret sedemikian jauh ke pusaran intrik politik. Spesialisasi kepandaian ilmu ulama itu sejatinya terletak di bidang ilmu agama. Tanpa bermaksud merendahkan keilmuan para ulama, yang pada realitasnya memang belum terlalu banyak faham tentang permainan politik. Sebagian besar ulama masih terlalu lugu untuk tahu bahwa tujuan seorang politikus mendekati ulama semata-mata demi kepentingan partai politiknya. Filosofi seorang politikus itu hanya berupa kepentingan. Jika sudah menyangkut kepentingan partai politiknya, para politikus bahkan tidak segan untuk menyembunyikan suatu kebenaran, apabila kebenaran itu dianggap akan menguntungkan lawan politiknya. Demikian pula sebaliknya, suatu keburukan berusaha disamarkan dengan berbagai alibi untuk melindungi kepentingan dirinya atau partai politiknya.

Peran ulama seyogyanya akan lebih arif bila dalam setiap Pemilu berfungsi sebagai tokoh yang meminimalisasi konflik, perseteruan dan perpecahan dalam masyarakat. Mengingatkan tentang larangan jual beli suara dalam pemilu yang berpotensi mengadu domba ummat, serta menjelaskan bahwa praktek sogok menyogok merupakan bentuk penistaan terhadap ajaran agama Islam itu sendiri. Dengan demikian kejadian ”oreng-oreng se tak bebu gara-gara pemilu” tidak akan terulang dan terbilang lagi. Unsur transaksional dalam Pemilu semestinya dilakukan dalam bentuk yang positif, memberi suara dengan imbalan memperoleh kemajuan pembangunan yang signifikan. Bukan menukar suara dengan mengambil uang persekot dari para kontestan yang tidak seberapa nominalnya. Karena tindakan seperti itu cuma akan melahirkan wakil rakyat yang hanya berfikir bagaimana mengembalikan modal kampanye, memperkaya diri pribadi dan kroninya. Serta wakil rakyat berkarakter “Malin Kundang”, yang lupa pada ibu pertiwi atau daerah yang telah memilihnya.

Berbagai stigma buruk yang selama ini melekat pada kinerja anggota DPR telah meruntuhkan kepercayaan rakyat. Oleh karena itu diperlukan fikiran yang jernih untuk memilah dan memilih bakal wakil kita yang akan duduk di DPR. Dengan memilih wakil rakyat yang terbaik tentunya besar harapan untuk bisa membawa kearah pintu gerbang yang lebih baik, yang akan mampu merealisasikan segenap aspirasi warga Pulau Bawean. Pemilu merupakan momentum untuk melakukan perubahan, kesempatan untuk merubah segala keluh kesah yang selama ini belum terpecahkan. Mahasiswa dan orang-orang terpelajar merupakan ujung tombak untuk membuka tabir apa yang belum diketahui oleh orang awam. Para cendikia sudah semestinya berada di garis terdepan dengan segala totalitas untuk menolak setiap bentuk konspirasi politik yang telah mendegradasi moral masyarakat. Mengungkap segala fakta bahwa apa yang telah dicapai di Pulau Bawean belumlah seberapa, tetapi telah dibayar mahal dengan kerusakan yang begitu besar. Merebaknya oligraki dalam instansi pemerintah daerah di Pulau Bawean merupakan suatu contoh, yang telah berdampak pada semakin menjamurnya korupsi berjamaah.

Saat ini sudah bukan rezim orde baru dimana Pemilu selalu identik dengan pembodohan. Era reformasi yang sudah pada melek informasi semestinya sudah tidak ada orang yang akan terkibuli kedua kali. Seekor keledai saja yang dibilang binatang dungu tidak akan mau terperosok ke dalam lubang yang sama. Bila saat Pemilu masih ada orang yang mencoblos sebatas partisipasi parokial, ikut-ikutan, fanatisme atau karena money politic, maka tak ubahnya ibarat si buta dari bilik suara. Bukan buta mata penglihatannya tetapi telah buta logika, hati nurani dan akhlaqnya.

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean