Media Bawean, 3 Agustus 2014
Oleh : Matnadi (Guru SDN Patar Selamat)
Bercerita tentang padang pasir tentu pikiran terpaut pada kawasan Timur Tengah di Semenanjung Jazirah Arab. Sama halnya dengan bercerita tentang Dusun Cokel juga memiliki hamparan bahkan berbukit-bukit pasir dengan berjuta kubik terkandung di perut buminya. Perlu kiranya sedikit divalidasi mengenai nama dusun mungil yang termasuk ke dalam wilayah kedesaan (analog kelurahan) Patar Selamat Sangkapura Bawean Gresik. Fonim [e] pada nama dusun “Cokel” dilafalkan taling seperti pada kata /nenek/ bukan dibunyikan pepet
seperti fonim [e] pada kata /belum/, tambah keliru lagi jika ditulis “Cukil” karena nama dusun itu bersifat arbitrer-konvensional setakat bagi pemilikinya. (penduduk setempat). Jadi, tidak perlu diubah-ubah dari aslinya. Apalagi fonem [e]-nya terlafalkan pepet menjadi nama Dusun Cokel akan mengerikan maknanya karena kata “cokel” itu menjambak leher atau kepala seseorang dari belakang atau dari samping kemudian ditekan hingga menekuk ke bawah dan terjungkal. Wow… seram…!
Dusun dengan segudang potensi baik alam maupun tradisinya memiliki nama asli atau nama historisnya yakni Dusun Karang Reja. Cukup beralasan mengapa dusun Cokel itu sebelumnya bernama dusun Karang Reja karena pada zaman dahulu (Bawean-tapongkor atau enje’enna,Red) kawasan dusun Cokel berupa hamparan batu karang yang mengonggok sepanjang areal dusun tersebut. Tinjauan secara histori geologis berjuta tahun silam dusun Cokel berupa lautan. Terbukti, adanya karang yang menghampar di permukaan wilayah Dusun Cokel sebagai tengara bahwa dulunya adalah berupa lautan dengan onggokan pasir sebagai peninggalannya. Di sinilah perlunya menghadirkan geolog yang mumpuni untuk melakukan kajian lebih dalam dan komprehensip.
Dusun Cokel mulai termasyhur atau kesohor namanya setelah pasirnya banyak diangkut para supplier bahan bangunan. Hampir seluruh bangunan mewah dan mentereng yang berdiri kokoh di antero Pulau Bawean bahan pasirnya didatangkan dari Dusun Cokel. Dengan menggunakan pola keseimbangan alam tempat penggalian atau penambangan pasir berjalan dengan aman dan lancar. Tentu, tetap memperhatikan Amdal terpadu. Pasir yang sudah ditambang sekian meter ke bawah tidak sampai sedalam galian sumur kebanyakan sudah diurug kembali dengan tanah datang atau tanah perkebunan dan persawahan. Sehingga yang dulunya bekas penambangan berupa ceruk (red: jhurgheng) menjadi rata kembali dengan tanah pemukiman penduduk. Bahkan, bekas penambangan yang sudah diratakan kembali berdiri beberapa rumah penduduk. Hal ini benar-benar membawa berkah bagi warga setempat baik pemilik areal pasir dan para pekerjanya. Hitung-hitung mengais rezeki di Dusun Cokel mudah sekali.
Banyak orang penasaran terhadap keberadaan Dusun Cokel , Ada apa sebenarnya di sana? Sebelum kepenasaranan itu terjawab alangkah gamblangnya penulis paparkan terlebih dahulu letak Dusun Cokel. Bila titik gerak di mulai dari pusat kota Sangkapura tepatnya dari jantung alun-alun Sangkapura menuju arah barat memasuki jalan protocol kabupaten Dusun Bengkosobung. Lepas itu, terus lurus ke arah barat menuju petilasan Cokro. Tidak sampai menikung ke kiri jalan yang menuju kantor Polisi Sektor Sangkapura terus lurus memasuki jalan makadam dusun Tellok. Dari Gapura Cokro lurus ke arah barat sampai pertelon dekat tower PT. Excel Comindo Pratama membelok ke kanan melintasi jalan makadam Tellok utara. Akses dari jalan ini tembus ke Dusun Pamasaran (red: bukan Penasaran). Melintasi jalan beton penuh liku menerus melewati jalan Dusun Pamasaran akan melintasi jalan utama di tengah persawahan. Habis jalan perasawahan itulah berujung atau berakhir pada Dusun Cokel. Sebelah barat berbatasan dengan Dusun Bungaran dan sebelah utara Dusun Gunung Malang. Kendaraan roda dua, tiga, dan roda empat pun mudah untuk menuju lokasi sebagai ujung jalan penghabisan. Tentu tanpa terminal atau areal parkir (bebas parkir).
Jumlah bangunan rumah di Dusun Cokel sekitar 45 rumah yang sudah permanen. Dari bangunan rumah yang ada bisa dijadikan barometer kemajuan kehidupan warganya di bandingngkan zaman lampau yang serba sederhana. Hampir setiap rumah saat ini memiliki kulkas dan televisi dengan berbagai tingkatan kelasnya. Untuk menangkap siaran, warga Dusun Cokel menggunakan piranti berupa antena parabola yang disambungkan ke receiver digital. Informasi-informasi teraktual dapat warga ikuti dengan sempurna. Tentu hal ini berkat masuknya jaringan PLN prabayar. Lebih irit…rit…rit.
Penduduk Dusun Cokel mayoritas merantau ke Malaysia untuk memperlekas dalam meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraannya. Tidak heran jika ada acara selamatan atau acara kenduri kehadiran kaum laki-lakinya dapat dihitung dengan jari karena tinggal belasan saja. Sebagian kecil saja yang bercocok tanam sebagai petani dan peladang atau pekebun. Hasilnya cukup untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari. Terkadang masih ada sisa hasil usaha untuk di bawa ke pasar sebagai berkah dalam menuai hasil panennya. Kaum muda yang masih usia pelajar juga banyak yang masuk penjara suci di pondok pesantren dan tempat pendidikan umum lainnya. Mulai dari tingkat menengah, hingga perguruan Tinggi di tanah Jawa dan antero nusantara. Bahkan dari Dusun Cokel pulalah terlahir seorang pakar Bahasa Asing khususnya Bahasa Inggris yakni Bapak Aziz Minwari, S.Ag. Beliau sebagai jebolan pondok pesantren modern Gontor Ponorogo benar-benar mumpuni dan menguasai betul tentang bahasanya Mak Sale (Red: sebutan Bule oleh warga Malaysia). Di era tujuh puluhan, di Pulau Bawean beliau adalah salah satunya warga yang kerap kali dimintai sebagai guide oleh para turis atau pelancong manca negara. Hingga sekarang pun beliau masih aktif menjadi tenaga pengajar sebagai dosen di beberapa perguruan tingga di Pulau Bawean. Sulit untuk mencari tandingan beliau dalam berbahasa Inggris hingga saat ini karena gaya bertuturnya dalam Bahasa Inggris hampir sempurna mirip native speaker-nya.
Tidak hanya itu, dari Dusun Cokel pula mengorbit seorang kyai kondang dan karismatik yakni Kyai Salamet. Hampir setiap ada acara keagamaan semacam hajatan atau pengantenan, Maulid Nabi, kenduri atau selamatan lainnya kerap kali mengundang beliau karena kemahirannya membawa suasana dakwah yang nyambung dengan tradisi warga Bawean. Apalagi, saat berceramah dengan kental logat Maduranya membikin mustamiin kesemsem pada isi dan performa ceramahnya. Tambah pula kebolehan beliau membumbuhi ceramah atau pidatonya dengan joke-joke segar yang mampu menarik perhatian para hadirin. Intinya tidak membosankan karena selalu up-todate.Selain itu pula beliau bergerak dalam bidang pendidikan Madrasah Diniyah Ula di Dusun Cokel. Masih banyak kiprah beliau dalam membangun sumber daya manusia menuju insan kamil yang diidamkan bersama.
Mengenai tradisi yang pernah dilakoni warga Cokel secara turun-temurun yakni kebiasaan dan kepiawaiannya membuat anyaman bambu atau ori menjadi bakul. Biasanya, setiap tahun menjelang peringatan Maulid Nabi orderan bakul membajiri Dusun Cokel. Satu-satunya dusun yang mendapat kepercayaan sepenuhnya untuk mendesain bakul Maulid Nabi adalah warga Cokel. Termasuk jenis kerajinan berupa saring-saring sebagai tempat masakan yang dientas dari gorengan atau rebusan juga buatan asli kerajinan tangan dari Dusun Cokel. Setelah mengalami masa transisi memasuki era timba atau baldi maka memudar pula kerajinan membuat bakul atau saring-saring. Semua tergerus oleh kemajuan zaman. Namun, satu tradisi yang masih bertahan hingga saat ini di Dusun Cokel yakni terkenal dengan masakan kulinernya berupa Dodol (Bawean-Dhudhul, Red) yang berasa lezat selangit tiada taranya. Penikmat merasa kurang terus bila menyantapnya karena dodol produk Cokel tidak mem-blenek-kan. Banyak warga Sangkapura dan sekitarnya pada hari-hari istimewa memesan dodol buatan Mak Siksik atau Mak Siya dari Cokel. Entah apa yang menyebabkan bedanya rasa dengan dodol-dodol buatan atau olahan dusun lainnya. Bahkan, beberapa warga Bawean yang menetap di negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Brunai Darussalam, Taiwan, Hongkong, Tiongkok, bahkan Australia pun banyak memesan Dodol buatan Mak Sik-sik dari Dusun Cokel. Terkuak sudah potensi Dusun yang terpendam. Meminjam istilah sastrawan gaek Suripan Sadi Hutomo, inilah yang disebut “Mutiara Yang Terlupakan..”