Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Apa Pabhukana?

Apa Pabhukana?

Posted by Media Bawean on Kamis, 18 Juni 2015

Media Bawean, 18 Juni 2015 

Oleh : Hassan Luthfi 
(warga Bawean, menetap di Yogyakarta)

Berbagai problematika yang muncul di Bawean belakangan ini merupakan potret global yang semakin mendegradasikan citra pulau Bawean. Masalah sampah yang mencemari lingkungan, kenakalan remaja, korupsi perangkat desa dan sebagainya. Sayangnya orang-orang yang sebenarnya berada dikapasitas untuk menuntun dan membenahi moral masyarakat, sejauh ini belum menunjukkan perannya yang signifikan. Bahkan seolah-olah tidak tahu menahu (“apek-apek ma tengel-tengel”). Jikapun ada tindak lanjut dalam upaya menyelesaikan persoalan tersebut, namun belum menyentuh ke akar permasalahan yang sebenarnyanya.

Beberapa waktu yang lalu Camat Sangkapura beserta jajarannya sempat melakukan aksi memungut sampah yang mencemari lingkungan. Bila dilihat dari sudut pandang kerja bakti kiranya perlu diapresiasi, akan tetapi gerakan seperti itu bukanlah solusi terbaik. Kegiatan tersebut lebih diibaratkan menggarami air laut, karena pokok permasalahan utamanya terletak pada kultur masyarakat Bawean yang masih membuang sampah ke tempat yang tidak semestinya. Untuk merubah kultur dalam masyarakat yang sudah terlanjur mendarah daging tersebut tentu tidak mudah. Disamping butuh prasarana dan penyuluhan yang intensif dari pemerintah daerah, dibutuhkan juga upaya lain yang agak radikal agar bisa meng-upgrade wawasan warga masyarakat.

Berbicara tentang sulitnya merubah suatu kultur di Bawean tidak lepas lingkungan masyarakat yang umumnya bersifat introvert, atau dengan kata lain kurang terbuka. Ketika ada pembahasan pada kultur atau budaya yang dianggap melenceng ke hal-hal yang tidak baik atau telah keluar dari esensi ajaran agama, tidak selalu direspon dengan open minded. Melainkan sekedar jawaban retoris dan bahkan mudah tersulut emosi. Fenomena posesif akan kehilangan budaya seperti ini telah berlangsung secara turun-temurun dan telah membentuk doktrin fanatisme. Sehingga sekalipun budaya itu bukan menyangkut pada hal-hal yang prinsip dan bahkan kadang tidak ada korelasinya dengan ajaran agama, selalu saja apatis untuk dikoreksi.

Realitas dari keadaan ini dapat dilihat seperti pada tradisi-tradisi yang dilakukan di bulan Ramadhan. Bulan yang semestinya diprioritaskan untuk beribadah tetapi masih banyak yang menitik beratkan pada tradisi acara abhuka (buka puasa). Rutinitas di bulan Ramadhan lebih banyak disisi dengan tema menu buka puasa, sehingga kata-kata yang akrab ditelinga adalah “apa pabhukana?” Aktifitas selama Ramadhan dihabiskan dengan belanja pabhuka, membuat pabhuka dan memposting pabhuka. Tradisi ini tentunya kontradiksi dengan makna dan nilai-nilai dalam ibadah puasa itu sendiri. Demikian pula pada saat sholat Tarawih, kebiasaan mengerjakan sholat yang menekankan pada kecepatan. Sementara pelajaran dari madrasah sampai kuliah dengan gamblang menjelaskan untuk sholat dengan khusuk, tuma’ninah dan dengan bacaan tajwid Qur’an yang benar.

Metode mengaji dengan tanpa mengkaji tentu tidak akan mudah menemukan substansi dari suatu ibadah yang sesuai tuntunan Rasulullah saw. Sehingga pengejawantahan suatu ibadah dari kanak-kanak hingga dewasa stagnan pada kisaran menggugurkan kewajiban. Dengan tidak memahami makna dan tujuan dari suatu ibadah, baik itu sholat ataupun puasa, sejatinya akan sukar untuk mengimplementasikan nilai-nilai ibadah tersebut secara hakiki. Beristiqamah menahan hawa nafsu hanya terlihat pada saat bulan Ramadhan. Pada bulan berikutnya yang tumbuh subur justru tradisi-tradisi konsumtif dan gaya hidup hedonis, yang pada akhirnya bermuara pada penyakit sosial di masyarakat seperti kenakalan remaja dan juga kenakalan orang tua yang makin sering terindikasi korupsi.

Mencegah dan meminimalisir kenakalaan remaja dengan hanya mengingatkan haram dan dosa sepertinya sudah kurang efektif pada saat ini, bahkan ketika dikatakan akan masuk neraka sekalipun reaksi anak-anak sekarang cuma a pesem-pesemman. Semestinya penerapan pengajaran yang selama ini implikasinya cenderung statis, secara gradual diarahkan ke metode yang lebih membuka ruang untuk menelaah dan berfikir kritis, agar mereka memperoleh pemahaman yang seutuhnya. Memahami bahwa sholat itu bukan hanya tentang berpeci dan bersarung yang bagus, tapi bagaimana memetik pelajaran dari ibadah sholat tentang disiplin waktu, tentang kebersihan, dsb. Berpuasa juga bukan hanya tentang menahan makan, namun bagaimana bisa mengambil hikmah dari makna ibadah puasa, tentang menjaga kesehatan, konsisitensi menjaga moralitas, dsb.

Segala permasahan sosial di Bawean memerlukan dukungan dari segenap elemen masyarakat, tak terkecuali dari kalangan akademisi. Eskalasi kwantitas sarjana di Bawean seharusnya diikuti dengan peningkatan aktualisasi ilmu dan intelektualitasnya dalam sendi-sendi kehidupan. Menggugah opini masyarakat untuk segera move on, baik itu dari cara memahami makna suatu ibadah maupun cara dalam menjaga lingkungan sekitar. Demikian pula dengan keberadaan warga Bawean yang banyak melalang buana ke luar negeri, semestinya bukan menyebarkan budaya materialistik atau meracuni otak warga Bawean dengan budaya luar lain yang destruktif. Melainkan berbagi pengalaman dan pengetahuannya yang bisa membawa kearah kamajuan.

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean