Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Bawean dan (Fiksi) Kota yang Ideal

Bawean dan (Fiksi) Kota yang Ideal

Posted by Media Bawean on Selasa, 15 September 2015

Media Bawean, 15 September 2015

Oleh :ZEN R.S.


”APAKAH ada kota yang ideal di Indonesia?”

Pertanyaan itu saya sodorkan kepada Seno Gumira Ajidarma, pengarang yang sering menulis perihal kehidupan urban. Saya sudah siap mendengar jawaban yang negatif. Tapi, ternyata Seno menyodorkan jawaban yang positif ”Untungnya ada,” jawab Seno mantap.

Kota ideal di Indonesia versi Seno itu nyaris tidak pernah diduga siapa pun yang hadir dalam diskusi buku Tiada Ojek di Paris, buku terbarunya, yang berlangsung di Kineruku, Bandung. Jangankan berkunjung ke kota tersebut, mayoritas peserta diskusi bahkan tidak tahu persis ada di mana kota ideal versi Seno itu.

Seno menyebut Bawean sebagai kota ideal di Indonesia. Saya yang didapuk sebagai moderator diskusi mendesak Seno untuk menjelaskan atau mengisahkan Bawean yang dikenal dan diingatnya. Lalu, meluncurlah cerita singkat yang bagi hampir semua orang yang hadir terasa menakjubkan:

”Satu waktu saya pergi ke Bawean. Saya menginap di hotel tak jauh dari pelabuhan. Ternyata tak ada resepsionis. Kunci-kunci kamar bergelantungan begitu saja di meja resepsionis. Jika masih ada kunci, berarti masih ada kamar. Saya ambil kunci dan masuk ke kamar begitu saja. Paginya sarapan sudah tersedia. Saat hendak check out, saya bahkan tidak tahu harus membayar ke mana. Lalu, ada orang memberi tahu ada di mana si pemilik hotel. Saya menemuinya. Saya menyebutkan nomor kamar yang saya tempati. Ia menyebutkan harga. Lalu, saya membayar. Begitu saja.”

Beberapa orang masih tak percaya. Pengarang yang menciptakan karakter Sukab itu mengaku bahwa pengalamannya di Bawean terjadi pada 2000-an. Karena itulah, Seno mempersilakan peserta diskusi yang meragukan ceritanya untuk datang langsung ke Bawean. Siapa tahu kondisi memang sudah berubah.

Dalam obrolan santai seusai diskusi, seorang teman menyebut kisah Seno sudah seperti fiksi saja. Ia juga menganggap kisah Seno berlebihan karena status Bawean sebagai sebuah kota masih meragukan. ”Cuma pulau kecil gitu, kok. Belum terlalu ngurban, lah,” kata teman tadi.

Urban (kota) atau rural (desa) dalam kasus Indonesia, saya kira, sering kali tidak terlalu jelas batasnya. Bahkan di Jakarta atau Surabaya sekalipun, batas kota dan desa itu acap kali taksa.

Pada setiap kota di Indonesia sering kali menyelinap begitu saja wajah desa. Begitu juga sebaliknya. Desa dan kota saling menyusup, kemegahan dan kemiskinan saling berpapasan, perencanaan dan perubahan saling menikam, keruwetan dan kesederhanaan.

Di Jakarta, dengan gampang kita mendengar logat-logat ngapak dan medok yang gagal disembunyikan. Juga, watak baik yang kerap distereotipekan dengan desa, katakanlah gotong royong (setidaknya sebulan sekali), masih bisa kok terlihat. Bahkan di perumahan-perumahan kelas menengah di tengah kota sekalipun. Di Bandung, misalnya. Juga saya yakin di kota-kota lain pun ada.

Di desa-desa, sudah sangat biasa kata ”elu” atau ”gue” menyelinap di sesela pembicaraan. Di pelosok Cirebon, kampung halaman saya, penyiar radio amatir dengan enteng ngoceh dengan lagak Jakarta.

Agaknya banyak yang menganggap kota dan desa sebagai sesuatu yang solid, utuh, generik, pukul rata. Seakan-akan ada batas yang tegas lagi kontras antara kota dan desa. Kota itu begini, desa itu begitu. Orang kota itu begini, orang desa itu begitu.

Orang kemudian cenderung menjadi utopis tiap berbicara mengenai masa depan kota: penuh harapan dan mimpi-mimpi karena kota-kota hari ini telanjur centangperenang dan berkembang ke arah yang mengerikan –kemacetan yang tak tertangani, angka krimi- nalitas yang menanjak, egoisme orang kota yang kian kental.

Sementara itu, saat berbicara mengenai masa depan desa, banyak yang mendadak menjadi nostalgis: membayangkan desa di masa lalu, yang tenteram, aman, dan sejahtera karena banyak desa yang dianggap telah bergerak ke arah menjadi kota –sesuatu yang disayangkan dengan nada sentimental seperti mengenang masa kecil yang raib.

Dalam ketegangan antara yangutopis dan yang-nostalgis itulah, setiap orang yang hidup di kotakota mencoba bertahan. Sesekali merayakan nostalgia, termasuk saat mudik Lebaran. Sisanya terus merawat utopianya masing-masing sembari pasrah dan nerimo kemacetan yang memabukkan dan sesekali memaki-maki sesama pengendara jalan yang ugal-ugalan.

Saya jadi mengerti kenapa ada teman menganggap cerita Seno tentang Bawean sebagai fiksi. Teman itu bukannya tak mau percaya. Namun, ruang imajinasinya sudah sesak dengan pengalaman urban yang centang-perenang sehingga tak menyisakan tempat lagi untuk sesuatu yang lain –bahkan walaupun ia sangat menginginkannya sekalipun. (*)

Esais, bisa ditemui di @zen.rs

Sumber : Jawa Pos

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean