Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Membasuh Tanpa Keruh

Membasuh Tanpa Keruh

Posted by Media Bawean on Sabtu, 02 April 2016

Refleksi Haul ke-35 Wafatnya KH. Abdul Hamid Thobry

Oleh : Sugriyanto 


Atmosfer di langit bumi Dusun Pancur Selasa malam Rabu 29 Maret 2016 M atau bertepatan 21 Jumadil Akhir 1437 H terasa sejuk laksana mau turun hujan saja. Kerlip bintang di langit tertutup awan tidak banyak nampak. Malam penuh kesakralan itu merupakan ”Haul KH. Abdul Hamid Thobry ke-35. Sepanjang jalan sekitar Pondok Nurul Huda dan beberapa pekarangan luas di Dusun Pancur dipadati oleh parkir kendaraan bermotor. Sedikit pun tidak ada cela ruang yang senggang setelah dipadati para hadirin. Di depan panggung merapat barisan para santri dan para alumni sepuh. Mereka duduk bersila penuh dengan segala kekhusukannya. Kebisingan menjelma menjadi kesenyapan yang cukup permai. Malam penuh kemulian itu dihiasi dengan rentetan acara yang sambung-sinambung terkemas apik penuh hikmah. Para undangan terus berjubel memenuhi seluruh tempat yang telah disediakan oleh panitia haul. Keakraban di antara mereka seperti pertemuan saudara yang sudah lama saling tidak bertemu atas segala kesibukan hidupnya. Sungguh pertemuan yang amat mulia dan bersahaja.

Acara diawali dengan pembacaan burdah dan barzanji. Tak ada suara seorang wanita pun yang menggaung di pelantang suara Santika milik H.Judi Daun itu. Irama dan nada yang dibawakan benar-benar dapat membasuh jiwa dalam untaian salawat penuh getar wasilah. Tiba-tiba setelah bacaan burdah dan barzanji dibawakan, dilanjutkan dengan pembacaan surat maklumat berkop BSM (bukan: Bantuan Siswa Miskin, red) melainkan Bawean Serambi Madinah. Padahal di surat undangan VIP tak termaktub acara itu. Bagus juga pemunculan kabar-kabare itu. Namun, tidak perlu kupas tuntas karena silang pendapat itu rahmat. EGP ajalah dengan lembar surat tak sakti itu. Percis seperti R.A. kartini saja suka main surat-suratan. Bedanya kalau R.A. Kartini curhatnya ke Abendanon di Leiden Belanda. Kemudian surat-surat itu dikumpulkan oleh Armijn Pane menjadi sebuah buku ”Thrugh the darkness in to light” di sinonimkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi buku berisi kumpulan surat dengan judul ”Habis Gelap Terbitlah Terang”- yang sempat dilirikan dalam nyanyian Kak Rhoma. Sebagai orang yang tidak tahu apa-apa terhadap isi surat tersebut merasa geli saja mendengar surat itu terkirim ke segala penjuru mulai dari tingkat picisan paling bawah hingga ke induk semang di pusat. Gumam dalam hati ”Ini surat cinta anak muda atau surat merah dari orang tua?”. Percuma saja untuk dikumpulkan seperti surat-surat miliknya R.A. Kartini karena sudah menyebar ke segala arah. Kalau dipaksakan untuk dikumpulkan buang-buang energi saja. Kalau tidak kuasa seperti Armijn Pane judul bisa terbalik menjadi ”Habis terang terbitlah gelap”. Pasti Iwan Fals mengatakan dalam nyanyiannya itu masukkan tong sampah.

Setelah difatihai oleh MC acara, acara gema kalam ilahi kerapa kali mendapat sahutan ”Allah!”. Justru, yang sedikit menjadi ketertarikan dalam tahapan acara malam ”Haul” itu pemaparan riwayat silsilah tokoh Almaghfurlah KH. Abdul Hamid Thobri dalam jibul asal usulnya dengan bahasa yang sangat komunikatif. Perlu pula dipahami bahwa terkadang kata itu tidak bisa mewakili seluruh pikiran penutur. Kosa kata daerah tidak apalah dipakai sebagai konkretisasi maunya pikiran yang sebenarnya. Intinya, terpenting pemahaman bersama dalam bahasa yang nyambung dan komunikatif. Nada dan logat penutur dengan gaya dialek khas dan ideolek pribadinya memantik gelak tawa dapat mengendorkan ketegangan saraf sebagai pengusir rasa kantuk. Sesekali penutur memanfaatkan diksi daerah sebagai bumbu penyedapnya. Dari yang belum coplak bhujelnya (Indonesia: Belum lepas tali pusarnya) hingga yang ngolngol giginya (Indonesia: rumpang atau tanggal beberapa giginya) pada urunan tawa renyah dalam menikmati kisah jibul sejarah itu. Supaya sejarah itu tidak kehilangan tongkat keturunan yang sebenarnya sebisanya dicantumkan tahun dan para istrinya. Posisi pendengar seperti ini akan memberi penafsiran bebas bahwa kakek-kakek punya anak tanpa kehadiran nenek. Apalagi mengandung cerita lisan yang berakhir dengan kegelian berupa mission imposibel. Zaman cerita lisan sudah lewat rupanya. Mungkin bisa dilengkapi dengan buku-buku sejarah masuknya Islam ke Indonesia khususnya di Gresik daerah Leran bertuliskan 1082 ditemukannya makam Fatimah binti Maimun. Apalagi masa sejarah di bawah tahun itu mudah melacaknya. Di Sulaweai tepatnya daerah Bone masih bisa dilacaknya. Semua peristiwa itu dituturkan lewat buku sejarah tanpa harus dengan berbau klenik. Salah satu kisah pembuangan Joko Samudra di selat Bali dalam sebuah peti berukiran kerajaan Blambangan Banyuwangi Jawa Timur ada kemiripan dengan kisah pelarungan bayi Nabi Musa oleh Ibunya di bantaran sungai Nil. Hal ini dilakukan oleh Sang Ibu setelah Fir’aun mengeluarkan maklumat bahwa bagi siapa saja yang beranak laki-laki akan dibunuhnya. Ia takut tergantikan kedudukannya. Peti bayi Nabi Musa ditarik ke pinggir sungai bila ibunya hendak menyusuinya. Cukup rasional dan masuk akal kisahnya. Fungsi sebagai hiburan ditampik dulu sebiasanya.

Acara semakin membasuh hati dengan pembacaan surat Yasin dan Tahli. Penulis lebih suka membaca tulisan daripada harus menghafal. Kehati-hatian ini perlu dijaga agar dalam pembacaan surat Yasin tidak mengalami percik kesalahan walau amat sekonik. Ingat, manusia tempatnya khilaf dan salah. Lebih baik menjaga agar tidak terjadi kesalahan dengan selalu berdampingan dengan tulisan yang masih terang dalam kitab Yasin saku. Mustami’in tidak akan pernah menganggap para kiai itu tidak pintar karena memegang teks Surat Yasin. Bisa saja faktor grogi dan ketuan menyebabkan kelupaan ditambah sekeliling barisan para habaib pemicu munculnya rasa nerves itu. Lupa itu manusiawi namun menjaga agar tidak lupa itu lebih penting. Prestise kesampingkan dulu demi keamanan. Acara tahlil dengan amat tartil menggugah batin. Sebagaimana lirik lagu Ebit G.A.D. ”Bertanyalah pada rumput yang bergoyang”. Bukan rumput yang sebenarnya yang dimaksud melainkan para Kiai yang selalu berdzikir dengan menggeleng-gelengkan kepala yang penuh berisi ilmu. Salawat Nariyah cettar membahana membelah segala dinding penghalang. Derap bawaanya khas tidak membosankan karena variatif dalam penyampaian. Tetap merasa kurang telinga ini untuk menyimak kerancakan dan kekompakan para pelantun. Masukan demi kebaikan. Termasuk pelantunan barzanji dengan iringan tetabuan membawa ingatan ke zaman Rasulullah bersama kaum Muhajirin saat disambut kehadirannya oleh kaum Ansor. Siapa yang tak tergugah hati mendengar irama kegembiraan dalam kehadiran Rasulullah SAW. di tengah-tengah ummatnya.

Sampailah pada acara dinanti-nanti yakni penyampaian ceramah tunggal oleh Habib Idrus dari Pasuruan. Unik dan menarik dari sosok ulama muda penerus para ambiya’. Walau panitia menyediakan kursi kedudukan di atas panggung sama sekali tidak didudukinya. Bukan Habaib itu tidak menghargai penghormatan panitia, melainkan amanat tersembunyi sebagai pertanda seorang Habaib yang tidak suka dengan ”kursi” seperti anggota dewan yang royokan merebutnya. Secara tidak langsung Habaib memberi teladan dalam kerendahan hati di atas para kiai sepuh di bawah panggung. Paling menarik sebagai sango batin yang membekas berupa siraman rohani sebagai berikut.

Berilah nama anak dengan nama yang baik; Didiklah anak dalam rumah tangga dengan adab yang baik;

Doakan kedua orang tua dan kaum muslimin dan muslimat walau tiada sekalipun.

Intinya, penyampaian Habaib benar-benar membasuh jiwa kita semua para hadirin dari berbagai ragam paham sebagai undangan tanpa membuat keruh air bekas basuhannya dari berbagai kalangan yang mendengarnya. Doa itulah pamungkasnya.

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean