Jika kita landing atau take off di Bandara Harun Tohir Pulau Bawean, dari balik awan langit Bawean akan kita lihat hamparan tanjung yang menjorok ke arah utara Laut Jawa.
Di sisi Timurnya adalah teluk yang membentangkan gugusan pasir pantai kampung Pajinggahan (Pajingge'en) hingga ke kampung Diponggo (Pangge). Di sisi Baratnya juga membentuk pesisir pantai kampung Labuhan (Labbuan) yang dikenal dengan Teluk Paroma'an (maksudnya kawasan historis teluk wilayah kampung Paroma'an).
Tanjung itu adalah gugusan daratan yang ujungnya membentuk sebuah bukit seperti piramida kecil yang tegak berdiri di bibir lautan, selanjutnya diberi nama: *Mantegi*.
Toponim nama-nama kampung dan wilayah pesisir Mantegi merupakan jejak kuno yang menyisakan segudang makna dan maksud sebagaimana telah diwariskan generasi lama bagi generasi yang datang kemudian.
Kampungku berdiri tegak di arah Barat Daya Mantegi.
Perahu-perahu nelayan tradisional, seperti Pencok'an, Ales-ales, Lete-lete, Cotek, hingga Jukong, selalu membentangkan layarnya menghiasi keperkasaan Mantegi.
Jika Mantegi terlihat ada di Gunong Pajung --nama Bukit berbentuk payung di sebelah selatan Mategi-- itu berati bentangan layar perahu melewati 5-7 Mil perjalanan laut.
Jika Mantegi melewati Gunong Sampan Nengngep--nama bukit di sebelah Selatan Gunong Pajung---layar pun semakin terbang ke arah Utara dan Timur Laut Jawa.
Kini pun, tak terkembang pula layar dari arah matahari terbit di balik Mantegi, atau kicau Kacep-kacep (nama sejenis burung) mengikuti layar perahu.
Tapi dengus burung besi telah terbang di langit Mantegi.
Matahari terbit dan muncul dari balik Mantegi, orang Bawean mengucapkannya:
*Are na La Ngomber e Mantegi*
Seperti judul lagu lama, La Ngomber, kugiran The Swallows.
La Ngomber , juga biasa diucapkan dalam konteks kalimat:
"Ereng-ereng panganten la ngomber deri laok" (Iringan pengantin muncul dari arah Selatan).
Dalam legenda Bawean, Mantegi adalah nama seorang petapa di kaki bukit berbentuk piramid itu.
Mantegi duduk bersila untuk hasrat kedigdayaannya.
Konon semua hasratnya terkabulkan. Ia menjadi orang sakti tiada tertandingi.
Ia pun akhirnya menjadi manusia yang bisa berjalan di atas air.
Satu hasrat dalam pertapaannya yang menjadi petaka bagi Mantegi, yakni: Ia berhasrat menghidupkan orang yang sudah mati.
Hasrat yang harus membuat dirinya dikutuk menjadi batu.
Sebuah batu berbentuk manusia bersila di kaki bukit berbentuk piramid itu, diabadikan sebagai legenda rakyat tentang seseorang bernama, Mantegi, sekaligus menjadi sebuah nama bukit piramid kecil yang saat ini menjadi landasan pacu Bandara Harun Tohir Pulau Bawean.
Mantegi tidak ubahnya simbol dari keperkasaan dan kepongahan.
Seperti kemajuan ilmu dan teknologi yang menghantarkan pada kejayaan, peradaban, budaya , dan kemanusiaan.
Sebaliknya , ia pun menjadi simbol keangkuhan dan kesombongan yang menghantarkan ke jurang kenistaan.
Bawean Musim Angin Barat, 6 Jumadil Akhir 1441 H.