Oleh: Sugriyanto
Penyematan nama alun-alun sejak dahulu kala oleh warga Pulau Bawean disebutnya sebagai "alon-alon". Namun, saat ini nama tersebut mengalami pergeseran bunyi menjadi "alun-alun". Kedua sebutan tersebut sebagai bentuk reduplikasi semu karena tidak memiliki bentuk kata dasar yang diulang. Secara harfiah antara kata ulang "alon-alon" dan "alun-alun" sepintas memilki kemiripan bentuk dan makna. Akan tetapi, setelah dikaji dari tinjauan semantis, keduanya tetap berbeda maknanya. Antara vokal (u) dan (o) sebagai pembeda bunyi akan turut menentukan perubahan makna yang dikandungnya.
Kata "alun" bila dibentuk sebagai kata alunan dapat berarti ayunan ombak kecil, sedangkan kata "alon" nampak seperti diserap dari kata Bahasa Jawa yang artinya pelan-pelan. Sebagaimana idiom bahasa Jawa berbunyi "alon-alon waton klakon" artinya pelan-pelan asal terlaksana. Seperti pekerja pencabut rumput di alun-alun yang kekurangan tenaga. Belum selesai dicabut di bagian penjuru sudah rimbun lagi di bagian penjuru lainnya. Percuma mengerahkan petugas pencabut rumput serabutan yang tak kuasa menyelesaikan dengan tuntas satu pekerjaan dalam hitungan minggu, bulan, dan seterusnya. Keunikan penyebutan ini sebagai penanda bahwa warga Pulau Bawean bermaksud menggiring makna ke "pelan-pelan" karena padatnya lalu lintas di lingkar jalan seputar alun-alun, terutama di malam Minggu. Berbagai ragam keperluan masyarakat Pulau Bawean yang hadir ke alon-alon. Anak-anak muda hadir di malam itu sekadar nangkring untuk menghabiskan rasa letih dan lelahnya.
Secara umum, istilah alun-alun dapat diartikan sebidang tanah lapang yang berada di pusat kota sebagai tempat berbagai macam aktivitas warga. Di masa silam, peran alun-alun sebagai wahana kegiatan warga. Seorang wali yang belum dikenal identitasnya dalam kegiatan kesehariannya kerap kali menjala ikan di alun-alun. Tanah lapang dalam pandangan kaum awam merupakan lahan tak berair penuh dengan rerumputan dan tanaman perdu lainnya. Akan tetapi, bagi seorang ke kasih-Nya tanah lapan merupakan lautan biru dengan segala isinya. Setelah Belanda memasuki Pulau Bawean, alun-alun tersibak oleh jalan poros buatan Belanda menuju kampung Dayabata Desa Sawahmulya sebagai tempat penyimpanan minyak kompeni di masa silam. Tempat tersebut hingga kini dinamai "Gudeng", fonem {e} pada kata "Gudeng" dibunyikan pepet sebagaimana bunyi fonem {e} pada kata "telah".
Alun-alan Kota Sangkapura kemudian dijadikan lapangan sepakbola. Klub-klub jago sepak bola bertandingnya dulu di alun-alun Kota Sangkapura tanpa tribun. Penonton cukup duduk dan bersila mengelilingi alun-alun saat menyaksikan pertandingan sepak bola antarklub se-Kecamatan Sangkapura tanpa pengkarcisan. Di masa silam warga Pulau Bawean rupanya lebih makmur dibandingkan saat ini. Di mana ada turnamen selalu dikarciskan. Berarti saat ini semua sudah pada "ngangas" dengan pendapatan karena apa-apa wajib dikarciskan. Alun-alun Kota Sangkapura pernah menjadi lokasi konser Raja Dangdut Rhoma Irama bersama Nur Halimah asal Jombang. Grup Soneta besutan Raja Dangdut H. Rhoma Irama bikin heboh saat manggung di alun-alun kota Sangkapura. Kapal perang milik TNI-AL dikerahkan untuk membawa perangkat sound sistem yang diturunkan dengan beberapa truk besar. Sangkapura pada waktu itu, sekitar tahun 90-an semakin menuai keharuman atas peristiwa itu. KH. Abdurrahman Wahid alias Gusdur sebelum menjabat sebagai ketua PB NU pernah hadir di alun-alun Kota Sangkapura dalam bingkai acara pengajian akbar dan telaah kitab kuning. Pesawat helikopter pun di saat pejabat berkunjung ke Pulau Bawean selalu landing di alun-alun Kota Sangkapura. Banyak aktivitas berskala besar di helat di alun-alun Kota Sangkapura.
Di masa silam, alun-alun Sangkapura Kota memiliki multi fungsi. Sebuah pertunjukan akrobat yang mampu mengubah orang laki-laki menjadi perempuan pernah digelar di alun-alun Sangkapura Kota. Operasi dukun palsu berkedok kiai yakni Kiai Sayyin Syafi'i pernah melakukan aksi pengobatan sulap abal-abal dengan surban putih dan games kebesarannya menghepnotis warga Pulau Bawean. Warga Pulau Bawean langsung kepincut datang berobat ke alun-alun dengan bayaran berapapun dilawannya demi kesembuhan penyakitnya. Pulang dari alun-alun Sangkapura Kota penyakitnya seperti lagunya Dian Piesesa "Aku masih seperti yang dulu." Selain itu, kegiatan ujian praktik olahraga atletis dari sebuah sekolah terdekat dengan jantung kota juga dihelat di alun-alun. Kegiatan lomba-lomba atau pertandingan dalam kegiatan Agustusan digelar di alun-alun Sangkapura Kota juga. Gelar kampanye dan pengajian akbar atau istighatsah selalu mengambil tempat di alun-alun Sangkapura Kota. Intinya, alun-slun selalu menjadi sentra kegiatan publik di Kecamatan Sangkapura Pulau Bawean.
Di masa kekinian, separuh alun-alun bagian trotoar selatan dijadikan sentra kegiatan PKL (Pedagang Kali Lima,red) di malam hari. Menjelang matahari surup di ufuk barat para pedagang kaki lima pada mendorong rombongnya menuju sentra PKL. Berbagai macam kuliner dan jualan klinting-klinting hingga arumanis dan popcorn terjual di sana. Usai waktu isya', kendaraan roda dua mulai memadati alun-alun Kota Sangkapura. Alun-alun di malam Minggu menjelma menjadi pasar malam yang ramainya tak alang kepalang. Polisi beserta mobil patrolinya turut ambil bagian untuk mengamankan jalan lingkar alun-alun Kota Sangkapura dari kemacetan. Anak-anak muda gaul menggelar tikar dan perlak seperti hendak menyulap alun-alun Kota Sangkapura sebagai Malioboronya Kota Jogjakarta. Ramainya tak ketulungan dan minta ampun!