Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Bangunan Dhurung Khas Bawean

Bangunan Dhurung Khas Bawean

Posted by Media Bawean on Sabtu, 05 November 2011

Media Bawean, 5 November 2011
ARIS WAHYUDIANTO - Wartawan Radar Gresik


Sebagai Tempat Berkumpul, Bersosialisasi, dan Menyimpan Padi
Masing-masing daerah punya tradisi atau ciri khas yang biasa ditunjukkan pada makanan, kesenian, pakaian, maupun rumah adat mereka. Jika di Pulau Jawa, khususnya warga Jawa Timur dan Jawa Tengah, mereka memiliki rumah adat joglo lengkap dengan bayang atau tempat berkumpul, hal serupa juga ada di Pulau Bawean. Di Bawean, rumah adat mereka bisa diketahui dengan keberadaan Dhurung.

DHURUNG adalah nama dari sebuah gubuk tak berdinding yang terbuat dari kayu atau bambu. Atapnya berupa rumbai yang terbuat dari daun pohan yang dalam bahasa Bawean disebut pohon dheun. Dalam tradisi masyarakat Bawean, ‘dhurung’ ini digunakan sebagai tempat beristirahat, menghilangkan lelah sehabis pulang dari sawah atau ladang.

Seperti halnya ‘bayang’ dalam rumah adat Jawa, maka ‘dhurung’ ini juga menjadi tempat sosialisasi dengan tetangga sekitar atau tetangga kampung. Bahkan, tak jarang, digunakan sebagai tempat untuk mencari jodoh. Biasanya, tempat ini diletakkan di depan atau di samping rumah. Terkadang, jika ukurannya besar, dhurung ini berfungsi ganda. Selain fungsi di atas, separuhnya atau di bagian atasnya dibuat sebagai lumbung padi.

Di beberapa perkampungan lama di Pulau Bawean, baik yang ada di Kecamatan Sangkapura maupun Tambak, dhurung hampir pasti dibangun di setiap rumah. Hal ini juga menunjukkan identitas dan pergaulan sosial pemiliknya. Mereka membuat dhurung untuk melestarikan peninggalan nenek moyang, juga sebagai tempat mereka bersosialisasi.

Dhurung punya nilai seni ukir yang indah dan tidak bisa ditiru, serta berfungsi serba guna, yaitu sebagai ‘lumbung’ tempat penyimpanan padi dan tempat beristirahat. Ini disebabkan, bangunan ‘dhurung’ biasanya bersatu, antara tempat istirahat dan tempat penyimpanan padi.

Sebagai tempat penyimpanan padi, dhurung juga dilengkapi jhelepang -semacam jebakan yang tidak bisa dilewati tikus sebagai hama pengganggu tanaman padi. Hanya saja, saat ini keberadaan dhurung di Pulau Bawean sudah jarang terlihat. Terutama, di pemukiman yang baru dibuka dan penghuninya yang mayoritas pasangan muda. Mereka mulai meninggalkan tradisi membangun dhurung sebab tidak memiliki area sawah untuk menyimpan padi, serta lahan tempat tinggalnya yang terlalu sempit.

Menurut Azizi Rosyidi, warga desa Pudakit Timur, warga yang memiliki bangunan ‘dhurung’ tinggal 30 persennya saja. “Sebagian besar dibeli warga pendatang, dibawa keluar Pulau Bawean,” katanya. Ia menambahkan, hampir setiap rumah, dulu memiliki ‘dhurung’ yang diletakkan’di depan rumah. Namun, sebagian besar saat ini sudah menghilang. Bangunan itu sebenarnya tidak hilang, namun dijual seharga Rp 5 juta sampai Rp 6 juta kepada warga Bawean lainnya maupun warga pendatang.

“Kelangkaan dhurung di Pulau Bawean secara otomatis menaikkan harganya sampai Rp 35 juta. Tetapi, dhurung ini tak akan dijual sebab peninggalan nenek moyang kita,” jelas Azizi sambil menunjuk dhurung di depan rumahnya.

Selain dhurung, rumah kuno di Pulau Bawean sebagian besar sudah terjual kepada pembeli dari luar untuk dipasarkan ke mancanegara. Siswadi Aprilianto, Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olah Raga mengatakan, tradisi bangunan dhurung di Bawean memamg sudah jarang terlihat. Hal ini sejalan dengan makin sulitnya mendapatkan kayu untuk membuat dhurung. Belum lagi, ditambah dengan ketersediaan lahan untuk meletakkan dhurung yang membutuhkan area luas.

“Warga sekarang lebih memilih ringkas untuk membangun bangunan rumahnya,” kata Siswadi.(*)

Sumber : Radar Surabaya
Kiriman : Ajib Ghufron

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean