Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Doaku Yang Terkabul

Doaku Yang Terkabul

Posted by Media Bawean on Sabtu, 04 Februari 2012

Media Bawean, 4 Februari 2012

Oleh : Sumiyati*


Ujian nasional sudah di depan mata, tentunya ujian nasional kali ini memerlukan biaya. Biaya yang lumayan besar bagi siswa yang kurang mampu sepertiku. Tapi hal itu tidak begitu memberatkan, karena jauh-jauh hari bahkan sejak kelas VIII, aku sudah mulai menabung. Setiap uang jajan yang ibu beri selalu kusisihkan untuk dicemplungkan kedalam celengan rahasiaku. Dikatakan rahasia karena aku tidak mau umi dan ayahku tahu kalau aku punya celengan. Bukan takut diambil atau dipinjam, aku ingin membayar ujian tanpa harus meminta kepada orang tuaku. Aku ingin mandiri. Agar tidak ketahuan, celenganku dengan serahasia mungkin aku simpan. Disamping pemberian umi, beasiswa juga tidak ketinggalan aku cemplungkan. Tanggal 23 Desember 2011 nenekku sakit keras, mau tidak mau nenek harus dibawa kerumah sakit, padahal nenek dan orang tuaku tidak punya uang untuk berobat.. Mau minta bantuan paman, beliau jauh diseberang.

Akhirnya ayah angkat bicara “Masalah biaya rumah sakit, tidak usah dipikirkan. Aku bisa hutang”. Aku tercengang begitu melihat secarik kertas biaya nenek. Dikertas itu tertulis angka Rp. 470.000,-. timbul dibenakku untuk mengambil uang celenganku, tapi bagaimana dengan keinginanku membayar ujian nanti?. Ya Allah…. Apa yang harus aku lakukan?. Haruskah aku mengambil uang celenganku, ataukah sebaliknya?. Aku mondar-mandir. Bingung apa yang harus aku lakukan?. Kebingunganku semakin menjadi-jadi karena ayah yang mencari pinjaman tidak kunjung datang sejak tadi pagi. Aku jadi teringat kata-kata almarhum kakek “ Kalau orang tidak mampu mencari pinjaman, sangat susah, karena orang yang akan meminjamkan uang akan berfikir 1000 kali”. Meskipun aku tidak begitu paham apa maksudnya, sedikitnya aku tahu artinya.

Semua keluargaku tersenyum melihat ayah datang. Tapi aku bisa membaca apa yang terjadi pada ayah melalui wajah ayah yang murung. Aku yakin ayah tidak dapat pinjaman uang. Keinginanku untuk mengambil uang celengan semakin menjadi-jadi. Tanpa berpikir panjang lagi aku bergegas pulang dengan niat mengambil uang celengan. Dengan linangan air mata aku buka celenganku dan mengambil uang secukupnya, setelah itu kututup lagi dengan plaster sebagai perekat. Kembali kusimpan celenganku ditempat yang aman karena aku yakin uangnya masih ada meskipun tidak banyak. “Ini Mi, pakai uangku saja. Tidak usah diganti karena aku ikhlas memberikan pada nenek”. Aku memberikan sejumlah uang pada umi. “Kamu dapat darimana?”. “Uang yang selama ini umi beri selalu kukumpulkan”. Umi memasang wajah aneh. Ragu. Aku bisa membaca pikiran umi yang sedang dilanda keraguan. “Umi tidak usah khawatir, uang itu 100% terjamin kehalalannya. Uang jajanku sendiri”. Aku meyakinkan hati umi karena uang itu memang hasil celenganku. “ Umi tahu kamu pasti mempunyai niat tertentu dengan uang itu, nanti umi ganti uangmu itu”. Umi menghitung uang yang aku beri dengan air mata yang berlinang. Meskipun hanya Rp 470.000, - uang itu terlihat begitu menumpuk, maklumlah terdiri dari uang kertas seribuan, dua ribuan, lima ribuan dan sepuluh ribuan. Tapi yang paling banyak uang ribuan. Entah berapa ratus lembar, aku tidak tahu. 

“Bagaimana Mi, apa uangnya kurang?”. Tanyaku meyakinkan perasaanku yang mengakatan kalau tadi sudah pas. Tidak mungkin kurang. Tidak, malah uangnya lebih dua ribu”. “Masak Mi, mungkin umi keliru menghitungnya”. Umi kembali menghitungnya, tapi tetap lebih dua ribu. Aku sangat bersyukur ternyata uangku tidak kurang. Terima kasih ya Allah, akhirnya aku bisa membayar biaya rumah sakit nenek. Aku sangat senang melihat nenek pulang tanpa dipapah lagi seperti pertama kali masuk rumah sakit . 

“Pembayaran UN+UM+ mengambil ijazah mulai hari ini pembayarannya bisa dicicil”. Sudah kesekian kalinya kepsek mengingatkan padaku. Ya Allah …Apakah uang sisa celenganku cukup untuk membayarnya?. Aku semakin sering menabung, uang jajan tidak pernah aku bawa ke sekolah takut ingin jajan di sekolah. Tibalah waktu pembayaran itu. Mau tidak mau, cukup tidak cukup aku harus membuka celenganku kembali. Di depan ayah, umi, nenek dan adik aku buka celengan rahasiaku dengan harapan semoga cukup untuk bayar UN+UM+ngambil ijazah. Ayah, umi dan nenek heran melihat uang yang diikat dengan warna pink, merah dan putih. “Ini kok di ikat pakai benang, apa maksudnya?” umi bertanya.

Aku menjelaskan. “Yang di ikat pakai benang pink, besiswa dari H. Samri Barik SH sebesar Rp 300.000, yang warna merah dari sekolah, sebesar Rp 270.000 dan yang warna putih besiswa dari KPRI sebesar Rp 250.000 yang aku ambil tanggal 29 Januari 2012 kemarin itu Mi”. Setelah dihitung semuanya baik yang dari beasiswa maupun uang jajan berjumlah Rp 849.000, masih kurang seribu untuk mencapai Rp 850.000. tapi hal itu tidak begitu repot, segera kuambil uang seribu kembalian dari membeli pen tadi pagi. Dengan begitu, lengkaplah uang itu Rp 850.000. Akhirnya aku bisa membayar ujianku kali ini. Ya Allah….. Yang Maha Mengabulkan doa dan keinginan, terima kasih banyak telah mengabulkan keinginanku. Terima kasih untuk Bpk H Samri Barik SH, sekolahku MTs Hasan Jufri dan KPRI, Semoga berkah selalu. Amin ya Rabb.

Ketua Komunitas Anak Sangkapura. Kini duduk di kelas IX MTs Hasan Jufri. 

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean