Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Relevansi Guru
Dalam Pembentukan Karakter Siswa

Relevansi Guru
Dalam Pembentukan Karakter Siswa

Posted by Media Bawean on Senin, 12 Maret 2012

Media Bawean, 12 Maret 2012

Oleh : JAMALUDDIN, S.Si, M.Pd.I 
(Kepala MA Hasan Jufri Lebak)

(Sebuah bentuk keperihatinan terhadap krisis etika dan moral)

A. ESENSI PENDIDIKAN KARAKTER
Krisis multidemensi yang terjadi di negeri ini seakan sudah akut dan menjadi persolan pelik yang perlu untuk segera dicari solusinya. Setiap kita mengakses media informasi, selalu disuguhkan berita berupa tindakan kriminal dan amoral yang terjadi di seantro negeri ini. Budaya KKN (korupsi, kolusi, nepotisme), penyuapan, kenakalan remaja, seks bebas/kejahatan seksual, kekerasan, penggunaan zat psikotropika dan masih banyak lagi seabrek perbuatan asusila dan amoral lainnya yang seakan-akan belum ada tanda-tanda ke arah yang lebih baik. Belum lagi ditambah watak perinoid masyarakat lainnya yang sudah menjadi pola kehidupan, seperti: kehidupan ekonomi yang hedonisme-konsumtif, kehidupan politik yang tidak produktif dan kehidupan sosial yang tidak kondusif. Krisis etika dan moral ini telah memporakporandakan sendi agama dan masyarakat di lini kehidupan berbangsa. Etika dan tata karma bangsa yang dijungjung tinggi telah mengalamai pergeseran menjadi retorika belaka. Fenomena ini menandakan sebagai cerminan dari rendahnya mutu pendidikan dan kegagalan suatu bangsa dalam mencapai tujuan pendidikan nasionalnya serta sebagai bukti dari bentuk penanaman karakter terhadap anak bangsa yang masih sangat lemah, barangkali karena pelaksanaan pendidikan di negeri ini masih lebih mengedepankan kecerdasan kognetif semata dan hanya terjebak pada pencapaian prestasi yang diukur dari penilaian kecerdasan berpikir saja. 

Hasil evaluasi praktisi pendidikan sehingga memunculkan gagasan aplikasi sistem pendidikan berkarakter yang perlu diintegrasikan dalam setiap pembelajaran dengan tujuan mencetak peserta didik yang cerdas sekaligus memiliki karakter mulia yang kuat, harus direspon oleh semua pelaku pendidikan, terutama guru untuk segera melakukan intropeksi diri dan membenahi diri untuk mencari dan menciptakan formulasi karakter yang tepat dan melekat, memiliki daya tahan dan dampak yang kuat di masyarakat sebagai jati diri bangsa dalam menyambut penerapan pendidikan berkarakter ini. 

Rumusan kualitas manusia Indonesia sudah jelas dalam Undang-Undang Sisdiknas 20/2003 (pasal 3), fungsi dari pendidikan adalah berupaya mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dengan tujuan berkembangya potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Yang harus mengawal dan menjadi ujung tombak pelaku dari fungsi dan tujuan pendidikan ini tidak lain adalah guru, karena yang mampu berinteraksi langsung, mempengaruhi dan membentuk watak peserta didik. Prinsip pendidikan karkater adalah bagaimana upaya penanaman seprangkat nilai-nilai mulia kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-niai mulia tersebut. Karakter dapat terbentuk dari hasil internalisasi melalui pembiasaan berbagai amal/perilaku kebajikan (virtues) yang diyakini sehingga dapat digunakan sebagai landasan berkehidupan, seperti cara pandang/berpikir dan bertindak/bersikap, dan watak ini terus melekat dan diwariskan kepada generasi selanjutnya dengan harapan dapat terwujudnya kualitas kehidupan masyarakat dan bangsa yang mandiri dan madani di masa yang akan datang.

Pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif semata, tetapi harus menyentuh pada internalisasi dan pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan normatif pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplesitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Ada 18 (delapan belas) indikator pendidikan budaya karakter bangsa yang diharapkan pemerintah kepada semua guru untuk dapatnya diintegrasikan pada setiap mata pelajaran, yaitu: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial dan tanggung jawab. Dengan tujuan, dari aplikasi 18 indikator ini, dapat terwujud peserta didik yang cerdas intelektual, cerdas emosional, cerdas spiritual dan cerdas sosial, seperti: terwujudnya peserta didik yang mampu mengembangkan potensi dirinya, mampu melakukan proses internalisasi dan mampu menghayati dan mengamalkan nilai-nilai tersebut sehingga menjadi kepribadian mereka dalam bergaul di masyarakat.

B. POTRET BURAM MUTU GURU
Beberapa hasil risert praktisi pendidikan membuktikan banyak temuan tentang rendahnya mutu guru, seperti: masih dominannya guru yang tidak memenuhi kualifikasi akademik, tidak liniernya jenjang pendidikan guru dengan mata pelajaran yang diampunya, bahkan dalam mengajar masih banyak guru yang belum kompeten di bidangnya. Temuan ini harus menjadikan barometer intropeksi, jika rendahnya mutu guru sebagai faktor utama penyebab terpuruknya mutu pendidikan di negeri ini.

I Wayan Artika (kompas, 06/08/07) mengemukakan rendahnya mutu guru yang berakibat pada rendahnya mutu pendidikan disebabkan tertinggalnya guru-guru dalam mengikuti perkembangan zaman. Banyak guru yang gagap teknologi sehingga berimbas pada ketertinggalan informasi mutakhir dalam bidangnya dan tertinggal teknologi. Celakanya, segala ketertinggalan itu diwariskan kepada murid-murid di kelasnya. Peserta didikpun dididik di tengah iklim panjang ketertinggalan. Banyak guru yang tidak mau belajar lagi, membaca, dan berfikir. Guru tidak lagi belajar untuk dirinya sendiri, yang berkontribusi besar bagi peserta didiknya. Dalam kata lain, masih banyak guru yang setengah-setengah menajalani profesinya dengan nyambi kesibukan lain yang barangkali lebih menjanjikan finansialnya, sehingga enggan belajar, dan tidak punya kemauan keras dalam menekuni profesinya.

Selain tidak menguasai materi pembelajaran dengan baik, seringkali kita disodorkan kenyataan oleh banyaknya guru yang berprilaku asusila dan amoral. Berbagai kasus kekerasan terhadap siswa, pelecehan seksual, pelakasanaan ujian yang sekedar formalitas, pemalsuan/rekayasa nilai, manipulasi dokumen/data, pembuatan perangkat mengajar yang fotocopi paste, sering meninggalkan jam mengajar, dan seabrek tindakan tidak terpuji lainnya seringkali dilakukan oleh guru.

Serangkaian potret buaram guru di atas, tentu tidak mencerminkan sosok guru yang bermutu dan layak digugu dan ditiru. Intelektual, emosional, sosial dan spiritual guru terbilang rendah, ditambah lagi amoralnya juga parah. Lalu apa yang pantas dibanggakan dari sosok guru. Barangkali ini adalah salah satu jawaban mengapa banyak siswa bertindak amoral dan asusila. Ini juga merupakan jawaban mengapa mutu pendidikan terpuruk dan terjadi kesenjangan/krisis multidemensi disegala lini kehidupan berbangsa di negeri ini. Semuanya berawal dari guru. Guru telah kehilangan jati diri sebagai teladan sejati yang harus digugu dan ditiru baik di lingkungan sekolah maupun di masyarakat. Guru harus pandai menempatkan diri, mengerti pada hakikat profesi guru, harus memahami sematan gelar bahwa guru adalah pahlawan tanpa jasa, yang dituntut lebih mengedepankan niat ikhlasnya dibandingkan kesejahteraannya. Guru yang bermutu pastilah akan menghasilkan pendidikan yang bermutu dan output peserta didik yang berkarakter.

Bersambung..........

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean