Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Cita-Cita Riska

Cita-Cita Riska

Posted by Media Bawean on Jumat, 18 Mei 2012

Media Bawean, 18 Mei 2012 

Oleh : Sumiyati (Penulis Mingguan Media Bawean) 

Saat adzan maghrib berkumandang, Riska baru datang dari Supermarket Indah Jaya, milik pamannya sekaligus tempat dia bekerja. Sebenarnya hal itu sungguh tidak pantas dia lakukan, selain usianya yang baru mencapai enam belas tahun dia anaknya orang yang sangat berada. Tekadnya untuk bisa membeli komputer sendirilah yang mampu membuat kedua orang tuanya mengizinkan dia bekerja. Baginya, komputer adalah pendorong cita-citanya untuk menjadi seorang penulis.

“Riska, kamu tidak perlu bekerja kalau hanya ingin membeli komputer!. Ayah mampu membelikan. Berapa lusin komputer yang kamu mau akan ayah belikan asal kamu berhenti kerja. Ayah tidak mau kamu sakit gara-gara kurang istirahat apalagi kalau sampai nilaimu anjlok”, kata Pak Ridwan, ayahnya Riska.

“Ayah tenang saja!, Riska bisa membagi waktu. Semuanya sudah jadwalnya, kapan waktunya istirahat, sholat, makan dan belajar. Mengenai komputer, Riska maunya beli pakai uang Riska sendiri. Kata pak gurunya Riska “Sesuatu yang di dapat dari hasil kerja sendiri walau hasilnya tidak seperti yang kita harapkan akan lebih memuaskan daripada mendapatkan sesuatu seperti yang kita harapkan tapi bukan dari hasil kita sendiri”. Kata Riska antusias.

“Riska, ini ada surat untukmu”. Bu Halimah, ibunya Riska memberikan sebuah suratpada Riska dengan wajah masam. Bu Halimah yang sudah tahu isi surat itu tampak kecewa sekali, entah berapa ribu surat seperti itu yang di terimanya, isinya selalu sama, yaitu tentang penolakan cerpen yang Riska kirim ke media cetak. Entah berapa puluh api unggun yang bisa Riska ciptakan dari ribuan cerpen yang di tolak beserta surat penolakan dari media cetak. Meskipun demikian, cita-citanya untuk menjadi seorang penulis tidak pernah surut dan bahkan dia semakin sering menulis cerpen dan mengirimnya ke media cetak. Kalau cerpennya di tolak di media cetak A, dia mengirimnya ke media cetak B dan kalau masih tetap ditolak, baru dia membuat cerpen yang baru dan mengirimnya lagi dan begitulah seterusnya.

“Ibu harap kamu bisa melupakan cita-citamu untuk menjadi penulis , Riska. Ibu rasa cita-citamu itu sebuah hal yang konyol. Coba kamu pikir!, apa yang kamu dapatkan selama ini dari menulis cerpen itu? Tidak ada kan? Paling-paling hanya surat penolakan saja yang kamu dapatkan”. Kata Bu Halimah mulai memasang wajah tidak sukanya.

“Ibu, bagi Riska ingin jadi penulis adalah bukan sebuah cita yang konyol, melainkan cita-cita yang mulia”. Rika tampak kecewa dengan komentar ibunya mengenai cita-citanya.

“Benar, Bu. Ayah sependapat dengan apa yang Riska katakan. Menurut ayah, cita-cita itu adalah pondasi kehidupan. Banyak orang yang akhirnya bunuh diri karena sudah tidak punya cita-cita yang menjadi pondasi kehidupannya. Misalnya, cita-citanya untuk menjadi apa gitu tidak kesampaian sehingga merasa tidak ada gunanya lagi hidup di dunia ini dan bahkan cita-citanya untuk menjadi pendamping sang kekasih tidak menjadi kenyataan”. Kata pak Ridwan menimpali.

“Ibu tahu, ayah, yang Ibu takutkan nantinya Riska akan termasuk orang yang ayah katakan barusan”. Kata Bu Halimah.

“Ibu, jangan khawatir! Riska akan berusaha sekuat tenaga untuk mewujudkan cita-cita Riska. Kalau seumpama Riska juga tidak bisa mewujudkannya, Riska tidak akan kecewa. Mungkin Riska memang tidak pantas menjadi penulis”. Respon Riska terhadap komentar ibunya.

Tekad kuat Riska yang berpegang teguh pada cita-citanya lagi-lagi dapat meluluhkan hati ibunya. Maklumlah, Riska anak bungsunya dan hanya Riskalah anaknya yang perempuan dari keempat anaknya, di samping itu Riska juga pandai mengambil hati orang tuanya. Sehingga apapun yang Riska inginkan selama tidak bertentangan dengan norma dan hukum, pasti dituruti.

Dengan seiringnya waktu yang berjalan, akhirnya Riska mempunyai komputer juga. Sekarang dia tidak perlu lagi menulis di kertas, setiap ada yang mau dia tulis langsung di ketik di komputernya. Naskah-naskah cerpen yang sudah dia kirim dan tidak ada satupun yang diterima, dia masukkan kedalam koper-koper yang besar lalu di simpan di dalam gudang.

Hal yang membuat Riska sangat bahagia adalah ketika cerpennya yang berjudul ‘Air Mata Tengah Malam’ dimana isinya menceritakan tentang doa Riska pada Yang Maha Kuasa yang di sertai dengan air mata ternyata di muat di salah satu media cetak. “Ya Allah…. Jangan Engkau cabut dulu nyawaku, sebelum aku jadi seorang penulis yang sukses”. Begitulah doa yang selalu Riska panjatkan dan Alhamdulillah, Allah swt. mengabulkannya.

Cita-cita Riska untuk menjadi penulis mulai ada titik terang. Di suatu sore waktu Riska sedang asyik duduk di depan komputernya, terdengar bel di bunyikan. Riska bergegas menuju ke pintu depan, ternyata seorang Pak Pos tengah berdiri di depan pintu kemudian memberikan sebuah surat kepada Riska, lalu berlalu setelah meminta tanda terima kepada Riska.

Riska sangat bahagia setelah membaca surat itu yang ternyata dari salah satu penerbit majalah di Surabaya. Di dalam suratnya, penerbit majalah itu mengatakan mau menerima tulisan Riska baik berupa cerpen maupun artikel dengan harga Rp 200.000,00 per cerpen dan Rp. 220.000,00 per artikel yang di muat.

PERLU KITA TAHU: Tidak ada jalan pintas untuk menjadi seorang penulis hebat. Ibarat perjalanan, ia penuh dengan tikungan, lekukan, kerikil tajam, rintangan, tanjakan, turunan, darah dan air mata. Bagi yang tidak sabar dengan belenggu penderitaan semua itu akan memusnahkan cita-citanya untuk menjadi seorang penulis. Namun sebaliknya, bagi yang kokoh dengan keinginan, semua itu adalah pengalaman yang sangat berharga dan tidak ternilai.

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean