Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Karena Leukimia

Karena Leukimia

Posted by Media Bawean on Jumat, 08 Juni 2012

Media Bawean, 8 Juni 2012 

Oleh : Sumiyati
(Penulis Mingguan Media Bawean)

Malam yang indah, sang dewi malam hadir menemani bintang-bintang yang bertaburan. Angin malam menyapa dengan ramah tapi terasa menusuk ketulang. Suara jangkrik mengerik mencoba menepis keheningan malam, entah berada dicelah mana. Maklumlah, rumah Rafika MeWah, mepet sawah maksudnya. Rafika menyandarkan tubuhnya disebuah pohon jati samping rumahnya sambil menatap tajam ke langit. Dia melihat awan putih yang bergerak perlahan dibawa angin.

Dia sadar hidup ini hanyalah satu putaran, malam-pagi-siang-sore kembali kemalam lagi, bagitulah hidup ini yang hanya berputar ditempatnya tanpa merasa lelah dan bosan. Allah SWT. menciptakan bulan untuk menemani malam dan matahari untuk menemani siang. Keduanya tidak mungkin bersatu. Air mata Rafika jatuh, teringat kesatu hal yang tidak mungkin dia satukan dalam hidupnya. Ya, hanya satu. “Kamu ibarat kencur yang mau menggapai langit, Ika. Pikir dong pakai otak”. Kata Angga, kakaknya Rafika. Ika sendiri tidak mengerti mengapa kakaknya selalu menganggap konyol cita-citanya yang ingin menjadi sekretaris?. Menjadi sekretaris bukanlah suatu masalah bagi Ika yang terkenal dengan kejujurannya, kepandaiannya dan kedisiplinannya. Tapi mengapa kakaknya selalu mengatakan semua cita-cita Ika akan sia-sia belaka?. “Ya Muhaimin….. berdosakah kalau aku bercita-cita? Bukankah setiap orang yang berakal sehat pasti mempunyai cita-cita?”. Ika terus mencoba menerka-nerka ada apa sebenarnya pada dirinya sambil menerawang langit yang diterangi sang rembulan tapi dia tak mendapatkan satupun jawaban.

Rembulan terus merangkak. Makin malam semakin tinggi. Cahayanya yang keperakan n menerangi mayapada. Suara gong-gongan anjing dan binatang malam lainnya ramai seperti sedang berpesta merayakan indahnya malam yang dihiasi oleh kerlap kerlip bintang. Bagi seorang pelaut zaman dahulu bintang adalah pemandu arah ketika pandangan terbatasi cakrawala. Jika langit tertutup mendung tebal, arah tak lagi bisa ditentukan. Maju tanpa arah tak tentu, diampun bukan pilihan. Hidup tanpa harapan dan cita, tentu juga bagai pelaut dimalam gelap saat langit menghitam. Dan Rafika, haruskah dia menjadi pelaut dimalam gelap gulita itu?.

Rafika terus mencari-cari jawaban tentang ada apa sebenarnya pada dirinya. “Allah menciptakan semesta dan isinya semua itu ada manfaatnya dan Allah tidak akan menciptakan sesuatu sia-sia, termasuk cita-citaku”. Kata Rafika seperti kepada dirinya sendiri. “Ya, aku tidak boleh menyerah begitu saja. Biarpun seisi rumahku mengatakan cita-citaku konyol dan sia-sia, aku akan tetap berpegang pada cita-citaku”. Rafika menengadah kedua tangannya di depan dadanya. “Ya Robbku, ku mohon pada-Mu ridhoilah cita-citaku.”. Saat hati Rafika asyik melihat bintang dan hatinya mulai terhibur tiba-tiba, “Kadangkala kita bisa membuat rencana dan cita-cita, tapi akhirnya bisa juga kandas karena keadaan” dan wus……. Suara itu menghilang. Suara itu membuat Rafika merinding karena tidak seorangpun ada di situ kecuali dirinya. Mungkin karena suara itu tiba-tiba matanya kini berat dan tak bisa diajak kompromi lagi. Rafika segera masuk ke kamarnya lewat jendela. Setelah berdoa, dia langsung menjatuhkan dirinya diatas kasur. Begitu kepalanya menyentuh bantal, terlelaplah dia dalam jiwanya yang resah. Dalam tidurnya, Rafika bermimpi bertemu dengan seorang kakek yang sedang berteduh dibawah pohon yang sangat rindang.

“Siang kek”. Sapa Rafika dengan begitu ramahnya dan terdengar merdu ditelinga sang kakek.

“Siang juga, nak”. Jawab sang kakek. Rafika yang pandai bergaul dengan cepatnya bisa kenal dengan kakek itu dan entah darimana mulanya sang kakek berkata “Nak, setiap orang pasti mempunyai keinginan, akan tetapi, manusia itu tergantung usia”. Lalu kreng….. kreng….. alarm berbunyi, membuat Rafika kaget dan terbangun. Dia menyesal karena sholat tahajjudnya bolong malam itu. Setelah rasa menyesalnya sedikit berkurang , iapun bergegas mandi dan bersiap-siap untuk sholat subuh.

Berhari-hari Rafika berfikir apa maksud dari ucapan si kakek hingga terkadang otaknya tersita konsentrasinya pada tugas sekolahnya. Hal yang sangat membuat Rafika heran adalah kasih sayang orang tuanya yang dianggapnya berlebihan. Entah mengapa akhir-akhir ini ibunya selalu ada di dekatnya. Saat mau tidur, Rafika selalu ditemani dan dielus rambutnya sampai dia terlelap. Rafika sangat heran dengan orang tuanya yang memperlakukannya seperti anak kecil, padahal dia sendiri sudah delapan belas tahun. Dan yang sangat membuat Rafika bingung, dia semakin sering pusing, badannya cepat lelah.

Berminggu-minggu Rafika mencoba mencari jawaban, namun tak pernah mendapatkannya. Hingga disuatu hari dia menemukan selembar surat keterangan dari dokter mengenai penyakit leukemia.

“Bu, ini surat keterangan penyakit siapa?”. Tanya Rafika pada ibunya.

“A….. a…anu, itu miliknya almarhum pamanmu”. Jawab ibunya sengaja berbohong pada Rafika karena surat itu sebenarnya adalah miliknya.

“Lalu mengapa ayah dan ibu menyayangi Ika berlebihan sekali?”. Selidik Rafika membuat ibunya jadi bingung. Ibunya yang sudah mengira akan pertanyaan anaknya itu mencoba tidak setenang mungkin karena kalau tidak, Rafika akan curiga.

“Apakah kami selaku orang tuamu tidak boleh menyayangimu?”.

Rafika masih belum percaya dengan jawaban ibunya. Setahu Rafika dulu pamannya meninggal karena sebuah kecelakaan lalu lintas, bukan karena penyakit leukemia. Entah mengapa disuatu sore sepulang dari les dia tidak sengaja mendengar pembicaraan ayah dan ibunya.

“Mau tidak mau kita harus segera membawanya berobat, Ma, walaupun kemungkinannya sangat kecil”. Kata ayahnya Rafika bersungut-sungut. “Yang penting kita sudah berusaha, Ma. Seumpama takdirnya sudah sampai disitu, ya kita harus pasrah pada kehendak-Nya”.

“Tapi Pa, Mama tidak mau kehilangan Rafika”. Kata ibunya Rafika.

“Papa juga tidak mau, Ma. Tapi apa boleh buat kalau sudah takdirnya. Sudahlah, jangan menangis terus!. Takut ketahuan Rafika pokoknya dia tidak boleh sampai tahu mengenai penyakitnya”. Tapi terlambat. Dibalik pintu depan ada sosok Rafika yang sedari tadi mendengarkannya.”Ya Allah…. Ternyata inilah yang menyebabkan kedua orang tuaku mengatakan cita-citaku konyol”. Air matanya mengalir dipipinya yang putih. Lengkap sudah penderitaannya. “Pantas saja akhir-akhir ini orang tuaku berlebihan padaku, rupanya usiaku tidak akan lama lagi. Ah….. tidak. Aku tidak boleh begitu, bukankah hidup dan mati itu hanya Allah yang tahu? Ya Muhaimin…. Benarkah usiaku tinggal seujung rambut?”. Rafika berlari ketaman belakang rumahnya dengan perasaan yang tidak menentu. Antara cita-cita dan kematiannya sedang berkecamuk dalam benaknya.

“Hidup dan mati hanya Allah yang tahu”. Ya, begitulah kata Rafika yang selama ini jadi pedoman. Tapi, siapa yang tahu Rafika akan menghadap-Nya dua bulan setelah kalimat itu diucapkan?. ‘sesungguhnya kita milik Allah, dan hanya kepada-Nyalah kita semua akan kembali’.

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean