Media Bawean, 15 Juni 2012
Oleh : Hasan Jali
Cerita seputar menurunnya minat pemuda-pemudi Bawean menjadi santri sudah lama saya dengar, baik secara langsung, tuturan dari beberapa orang tua atau dari pengamatan sendiri ketika mudik ke kampung halaman. Namun, untuk sharing melalui tulisan belum sempat dilakukan dan baru sekarang baru bisa berbagi pengalaman dengan warga Bawean di mana saja setelah membuka Media Bawean dan membaca komentar seorang santri Sidogiri (11/6/12).
Tinggal di Kuala Lumpur dan
Pernah nyantri di PP. Nurul Jadid, Paiton Probolinggo
Pernah nyantri di PP. Nurul Jadid, Paiton Probolinggo
Cerita seputar menurunnya minat pemuda-pemudi Bawean menjadi santri sudah lama saya dengar, baik secara langsung, tuturan dari beberapa orang tua atau dari pengamatan sendiri ketika mudik ke kampung halaman. Namun, untuk sharing melalui tulisan belum sempat dilakukan dan baru sekarang baru bisa berbagi pengalaman dengan warga Bawean di mana saja setelah membuka Media Bawean dan membaca komentar seorang santri Sidogiri (11/6/12).
Fenomena di Kuala Lumpur juga hampir sama. Sudah jarang ada orang tua yang mengirimkan anaknya ke pondok di Indonesia atau di daerah Malaysia sendiri. Mereka lebih suka menyekolahkan anaknya di sekolah formal dan mengejar target; lulus cemerlang, sehingga mudah mencari kerja. Kerja menjadi ‘Tuhan baru’ kepada masyarakat kota dan orang-orang tua Bawean di mana-mana. Pendidikan akhlak sudah bukan nombor satu lagi.
Ironis, sejak lima tahun menetap di negeri Petronas ini, saya belum banyak mendengar cerita tentang kecemerlangan anak-anak Bawean secara akademik atau lainnnya. Kalau pun ada, tidak seberapa berbanding jumlah anak dan cucu orang-orang Bawean yang menyebar di seluruh semenanjung dari Serawak hingga Selangor, dan prestasi yang diukir pun, boleh dinilai ‘lumayan’, tapi belum dapat dibanggakan.
Namun, tidak dapat dinafikan bahwa masih ada beberapa yang masih meminati pembelajaran di Pondok Pesantren, baik di Bawean sendiri atau di Malaysia. Tapi, jumlahnya sedikit.
Di kampung saya di Bawean, Gunung Bukal, Pekalongan, Bawean, tidak satu pun pemuda-pemudi yang nyantri. Padahal lima tahun lalu, hampir setiap angota rumah tangga, ada santri yang belajar ke pondok berdekatan, seperti ke Sukaoneng, Lebak, dan mayoritasnya ke dataran tanah Jawa. Saya yakin, fenomena ini menyebar luas di seluruh kampung di Bawean dan kepada keturunan anak-anak Bawean yang tinggal dimana saja.
Melalui tulisan ini, saya tidak bermaksud mengkritik mereka yang tidak menjadikan pesantren sebagai alternatif pilihan pendidikan untuk anak-anaknya atau bahawa pendidikan formal di luar pondok adalah salah. Tujuan daripada saya ialah bahawa kita telah meninggalkan suatu budaya baik yang telah mengakar kuat di tanah Bawean sendiri dan tradisi NU khususnya. Kemudian menggantinnya dengan pilihan umum iaitu sekolah dengan mengejar ijazah, yang ujung-ujungnya untuk mendapatkan kerja.
Salahkah? Tentu tidak. Itu hak dan pilihan setiap orang tua.
Di sini, saya coba menggarisbawahi beberapa alasan, kenapa Pondok pesantren semakin kurang diminati.
Pertama, banyak alumni yang ‘gagal’. Gagal disini mengikut kriteria umum yang diberikan oleh masyarakat Bawean sendiri, yang artinya banyak alumni pesantren yang ‘nganggur’ dan ‘tidak jadi orang’. Imej negatif inilah yang kemudian mempengaruhi banyak minda warga Bawean bahwa pondok pesantren sudah tidak relevan. Bahkan, dalam banyak kasus, alumni pesantren menambah deret panjang tentang kenakalan remaja dengan fenomena track motor di jalanan, rambut dipanjangkan serta diwarnakan, pencurian dan lain-lain, sehingga timbul asumsi bahawa pondok tidak dapat diandalkan dalam menghadapi gelombang kenakalan remaja. Padahal, dari kisah-kisah orang tua yang mengirimkan anaknya ke pondok, tujuannya adalah supaya belajar agama selain menjadikan mereka anak yang mempunyai akhlak yang baik.
Kedua, ciri khas pesantren sudah hilang. Sekarang, banyak pesantren yang meninggalkan pelajaran kitab kuning. Kalaupun ada, kuantitasnya boleh dikira jari dalam sehari semalam. Padahal dengan cirilah itulah yang menjadikan pesantren bertahan sehingga sekarang. Karena kurangnya pembelajaran kitab kuning ini, santri pun kurang berminat untuk mendalaminya, sehingga mereka banyak berkutat kepada proses pembelajaran di sekolah formal. Fenomena ini, saya lihat terjadi di banyak pesantren yang mengamalkan sistem pendidikan formal, seperti PP. Nurul Jadid, PP. Sukorejo, Wonorejo, dll. Pada waktu saya berhenti tahun 2001, gejala ini sudah nampak dan merata. Santri hanya belajar kitab kuning pagi dan sore di masjid bersama kiai. Tapi, malam mereka kurang aktifitas yang berkaitan dengan kitab kuning. Jarang sekali dijumpai kelompok studi yang membincang kandungan kitab kuning, membahas, menelaah, berdebat dan lain-lain. Tradisi bahsul masail yang ada waktu saya masih di pondok, terasa gersang dan kurang berisi, karena santri tidak dapat membaca referensi dari kitab kuning. Namun, tidak dinafikan tradisi pembelajaran kitab kuning masih berlangsung baik di pondok-pondok salaf.
Ketiga, era reformasi tahun 1998 membawa impak negatif kepada pesantren iaitu dengan banyaknya kiai yang menceburkan diri dalam politik. Pilihan ini memang tidak salah, toh Nabi Muhammad juga berpolitik. Namun, karena sibuk berpolitik inilah, mereka kurang fokus mengurus pesantren dan urusan sehari-hari pondok diuruskan oleh para pengurus pesantren, yang nota bena santri sendiri. Saya tidak menyalahkan keberpolitikan kiai, tetapi dibanding maslahatnya, saya melihat mudaratnya lebih banyak. Bagi saya, tugas kiai secara umum ialah penjaga moral bangsa, dan secara spesifik itu diterjemahkan dalam peranannya di pondok pesantren. Seperti pemain sepak bola, tugas kiai adalah penjaga gol. Meraka lah benteng terakhir, supaya gawang tidak dibolosi lawan. Kalau mereka keluar dari area permainannya, apa jadi dengan tugas yang sepatutnya dilakukan dengan baik. Akibat kemudian ialah akan terjadi gol-gol yang akan merusak karakter permainan atau dalam bahasa agama, akan banyak virus-virus negatif seginhgga merusak moral anak bangsa. Bukankah kita sudah ada tugas masing-masing? Ada yang jadi penyerang, pertahanan, sayap dan lain-lain. Jadi, kita tidak perlu tamak dengan mengambil alih tugas yang sepatutnya diperankan orang lain. Oleh karena itu, saranan saya kepada kiai yang berpolitik untuk mundur secara baik-baik dan kembali ke habitatnya semula. Toh, dalam pemerhatian saya, kiai-kiai yang masuk parlimen ini hanya bertugas banyak mambaca doa kalau sidang akan dimulai dan kurang memberikan peranan maksimum secara luas. Bahawa mereka memberikan ‘warna’ dalam politik, itu ya, tapi warnanya belum begitu kelihatan terang, sehingga belum dinikmati orang lain. Karena itu, habitat kiai bukan di sana, tapi di pondok. Namun, jika ada kiai yang merasa peranannya diperlukan dalam politik, sila diteruskan, tapi jangan melupakan tugas utama dipesantren. Karena itu, kepada para kiai yang terhormat, muhasabahlah kepada tugas-tugas anda dalam politik sekarang ini.
Daripada tiga sebab yang diamati penulis ini, kemudian muncul beberapa akibat yang itu menjadikan pesantren semakin merosot popularitasnya. Kalau boleh dikatakan, pesantren sudah mulai hilang taringnya. Dan jika ini tidak diantisipasi dengan serius, mungkin 30 tahun akan datang, pondok pesantren akan kahilangan magnetnya, yang kemudian akan ditutup, karena tidak ada santri yang belajar. Oleh karenanya, kurangnya minatnya anak-anak Bawean nyantri tidak semata-mata kesalahan santri sendiri, tapi ada sebab yang juga datang dari kepengurusan pondok sendiri.