Media Bawean, 13 Juli 2012
Oleh: Hasan Jali*

Bagi orang Bawean, merantau adalah tradisi dan telah berlangsung lama sehingga ke hari ini. Hampir setiap anggota keluarga sudah pernah menjejakkan kaki ke luar Bawean, baik di tanah Jawa atau ke luar negeri. Destinasi luar negeri tentu sudah bisa ditebak iaitu Singapura dan Malaysia. Maka tidak heran, jika di kedua Negara ini orang-orang Bawean merata-rata tinggal di banyak tempat. Di Malaysia, tempat-tempat orang Bawean ialah Gombak, Ampang, Keramat, Hulu Kelang, Sungai Buluh, Johor dan lain-lain. Kalaupun ada yang ke Negara lain, bilangannnya sangat kecil.
Saya tidak akan membincang kebaikan merantau secara umum, namun akan lebih memfokuskan kepada tradisi merantau orang Bawean dari aspek ekonomi, khususnya yang ke luar negeri dengan tujuan bekerja.
Pertama, kebaikan merantau. Yang ini kita tak boleh menafikan sedikitpun. Sebab mayoritas penduduk Bawean ‘disuapi’ ringgit/dolar setiap bulan. Isi dapur mereka adalah jerih payah ahli keluarga yang bekerja di luar negeri, baik untuk kebutuhan setiap hari atau keperluan jangka panjang. Sebab, duit kiriman ada yang dibelikan sawah untuk modal atau tabung di bank untuk di ambil bungannya setiap bulan. Ahli keluarga yang merantau, biasanya suami saja atau suami isteri dan anak-anaknya ditinggalkan di Bawean bersama neneknya.
Memang ada penghasilan dari sawah dan lautan, tapi sekedar cukup untuk di makan setiap hari. Untuk ‘jajan’ lebih, makanan yang lebih enak, pakaian yang lebih mahal, rumah yang lebih mewah dan pendidikan yang lebih tinggi, tentu perlu huluran kiriman dari luar negeri. Sebab, harga barang-barang di Bawean sangat mahal, bahkan lebih mahal dari ibu kota Jakarta. Karena itu, merantau mencari rizki memang tidak dapat dielakkan bagi sebagian orang Bawean, bahkan sampai sekarang, sebab sumber pekerjaan yang sangat minim.
Bukti lainnya ialah banyak anak-anak Bawean sekarang sudah mengenyam pendidikan lebih tinggi dibanding 10 tahun lalu. Kuliah ke Jawa, Jakarta bahkan ke luar negeri. Dan telah banyak yang Master dan Doktor. Kemajuan, ya luar biasa. Oleh karena itu, kita harus berterimakasih kepada orang-orang Bawean di pengasingan yang secara tidak langsung telah membangun Bawean melalui anak-anaknya.
Fasilitas jalan di kampung-kampung juga banyak bantuan dari luar negeri. Di Kampung saya Gunung Bukal, Pekalongan tidak pernah ada bantuan dari pemerintah sehingga sekarang. Dan akhirnya, orang di Malaysia juga yang turun tangan. Dan realitas seperti ini banyak di alami di beberapa tempat di Bawean. Selain itu, masjid-masjid dan musollah sudah banyak yang bagus, karena berkat ‘tangan-tangan pemurah’ di luar negeri.
Namun, sisi-sisi positif merantau ini juga mempunyai sekurang-kurangnya dua sisi gelap yang lain. Pertama, banyak perselingkuhan, perzinaan bahkan perceraian di Bawean, karena isteri ditinggal di kampung dan suami jarang pulang di perantauan. Bahkan, angka perceraian meningkat setiap tahun mengikut laporan dari KUA Sangkapura. Ini semakin valid, karena ada kawan Bawean sewaktu belajar di UIN Jakarta dulu pernah membuat Disertasi S 2 nya tentang ini.
Saya tidak mau menyalahkan mana-mana pihak tentang perkara ini, karena ini berkaitan dengan ‘isi dapur’ setiap orang. Dari sudut suami tentu saja baik dan dibenarkan, bahkan mencari nafkah adalah wajib bagi kepala rumah tangga. Dan saya yakin, karena keadaan lah mereka terpaksa ke luar negeri meninggalkan anak dan isteri. Saya yakin, tidak seorang suami pun yang mau secara sengaja meninggalkan ahli keluarganya tanpa keperluan yang mendesak. Tapi, pada sisi yang lain, keperluan biologis tentu juga kebutuhan bagi suami atau isteri. Namun, berzina tentu bukan solusi, bahkan menambah masalah.
Bagi suami di perantauan, dengan dalil agama mereka boleh kawin lagi. Bagaimana pula dengan perempuan? Mereka akan mengalami siksa batin yang hebat. Dan hanya isteri-isteri yang mempunyai iman yang kuat saja yang boleh bertahan dari godaan seperti ini.
Sisi gelap lainnya ialah anak yang ditinggalkan kurang kasih sayang dari orang tua. Terbukti kenakalan remaja merajalela di kampung-kampung Bawean. Ini karena salah satu dari orang tua merantau atau kedua-duanya. Tentu ada sebab lain. Namun tidak dinafikan bahawa anak yang kurang kasih sayang sewaktu kecil akan membesar dengan watak yang keras. Kalau ini terjadi, tentu sangat disayangkan sebab mereka adalah generasi masa depan yang akan membangun Bawean nanti.
Inilah pengamatan secara tak langsung yang saya amati selama ini. Secara peribadi, saya meminta maaf apabila ada yang kurang suka dengan ‘celotehan’ ini. Saya hanya berharap kita mengeliminasi dampak-dampak negatif sekecil mungkin dari tradisi merantau yang sangat baik ini demi diri kita sendiri, keluarga kita, anak-anak kita dan pulau Bawean kita. Saya yakin itu bisa dicarikan jalan keluar, kalau ini dibincang secara baik-baik antara ahli keluarga antara satu sama lain. Wassalam.
• Mahasiswa akhir sesi 2007-2012, S 2 di Universiti Malaya, Kuala Lumpur.